IP MAN 4: THE FINALE (2019)
Rasyidharry
Januari 01, 2020
Action
,
Chinese Movie
,
Donnie Yen
,
Edmond Wong
,
Kenji Kawai
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Scott Adkins
,
Tai-lee Chan
,
Vanda Margraf
,
Vanness Wu
,
Wilson Yip
,
Wu Yue
,
Ye He
3 komentar
Sejak film perdananya pada 2008
lalu hingga Ip Man 4: The Finale selaku
penutup, Ip Man (Donnie Yen) bak manusia sempurna. Tidak terkalahkan dalam
pertarungan, berhati mulia, sosoknya pun mendekati deus ex machina yang kehadirannya bagai jaminan terselesaikannya
masalah apa saja. Tapi dalam film seri garapan Wilson Yip ini, elemen yang
biasanya dianggap kekurangan tersebut malah disulap jadi keunggulan. Ip Man
adalah jagoan yang mampu membuat penonton berdiri di belakangnya, sebab
perjuangannya selalu didasari kepedulian, baik kepada orang-orang terdekat yang
ia cintai maupun para korban ketidakadilan.
Semenjak kematian sang istri yang
selalu jadi alasan perjuangannya, Ip Man didiagnosis menderita kanker
tenggorokan. Di tengah keterbatasan waktunya, Ip masih harus mengurusi putera
keduanya, Ip Ching (Ye He), yang memberontak, dikeluarkan dari sekolah, dan
melawan segala perintah sang ayah. Dia menolak bersekolah, ingin total menekuni
martial arts. Ip Man menentang itu,
lalu memilih mencarikan sekolah baru di San Francisco, Amerika Serikat, dengan
bantuan Bruce Lee (Danny Chan), muridnya yang mempopulerkan Wing Chun di sana.
Sejak menampilkan Mike Tyson di Ip Man 3, kita tahu seri ini sudah
semakin gamblang menanggalkan sampul biografi untuk berkonsentrasi menyajikan
laga-laga bela diri segila mungkin. Pola itu dilanjutkan, di mana film
keempatnya bahkan berani menyentuh ranah fan
service guna memuaskan ekspektasi penonton, dengan memberi porsi lebih
besar kepada Bruce Lee. Danny Chan mampu mereproduksi berbagai ciri sang
legenda, mulai dari arogansi, teriakan khas, hingga gestur sewaktu beradu jurus,
termasuk one inch punch yang terlihat
meyakinkan.
Ditulis naskahnya oleh empat nama,
termasuk Edmond Wong dan Tai-lee Chan yang terlibat sejak film perdana, Ip Man 4: The Finale sejatinya memiliki
alur sarat simplifikasi, bahkan cenderung konyol yang mengingatkan akan
film-film kelas b. Agar puteranya bisa bersekolah di San Francisco, Ip mesti
mendapat surat rekomendasi dari ketua Chinese Consolidated Benevolent
Association (CCBA), Wan Zong Hua (Wu Yue). Wan bersedia, dengan syarat Ip bisa
membuat Bruce menutup sekolah Wing Chun yang ia dirikan. Menurut Wan dan
anggota CCBA lain, tidak seharusnya Bruce mengajarkan seni bela diri Cina
kepada orang Amerika yang telah berlaku rasis terhadap mereka.
Menyusul berikutnya adalah rangkaian
konflik yang melibatkan masalah puteri Wan, Yonah (Vanda Margraf), di sekolah,
yang memicu perseteruan CCBA dengan pihak imigrasi, sampai usaha Hartman Wu
(Vanness Wu), anggota marinir sekaligus murid Bruce Lee, menerapkan Wing Chun
sebagai kurikulum pelatihan yang memancing perselisihan dengan Barton Geddes
(Scott Adkins), atasannya yang rasis.
Seluruh elemen di atas nantinya
saling bersinggungan secara begitu menggelikan. Fokus naskahnya cuma
mempertemukan satu petarung dengan petarung lain, melupakan benih masalah rumit
seputar rasisme yang ditabur di awal. Masyarakat Amerika memang merendahkan
masyarakat Cina, namun bukankah sakit hati Wan dan kawan-kawan berujung
melahirkan sikap serupa, termasuk saat melarang Bruce mengajarkan Wing Chun? Tiada
resolusi pasti atas hal ini, meski Ip Man
4: The Finale jelas menggambarkan masyarakat Cina lebih terhormat ketimbang
Amerika.
Di satu titik, tangan kiri Ip
mengalami cedera. Mengetahui itu, di tengah pertarungan keduanya, Wan memilih
hanya memakai satu tangan. Sebaliknya, Barton malah sengaja mengeksploitasi
kelemahan tersebut. Apalagi jajaran aktor Baratnya memberikan performa
menyedihkan layaknya pemain-pemain amatir dalam film-film pelajar. Hanya Scott
Adkins yang sanggup meninggalkan kesan. Bukan lewat aktingnya tentu saja,
melainkan fisik prima serta kemampuan bela diri luar biasa, yang menjadikan
Barton salah satu musuh paling berbahaya di franchise
ini, yang bisa membuat si master Wing Chun berdarah-darah.
Lain cerita kalau membicarakan
adegan laga. Wilson Yip sudah khatam urusan mengkreasi baku hantam over-the-top beroktan tinggi yang mampu
menangkap keseluruhan detail koreografi. Bahkan aksi saling dorong meja kaca
bundar saja menciptakan pemandangan menegangkan. Saya dibuat menahan napas
menyaksikannya, apalagi ketika musik bombastis gubahan Kenji Kawai yang telah
menduduki posisi composer sejak film pertama, memperkuat intensitas
masing-masing adegan, ditambah lagi efek suara pukulan dan tendangan yang
membuat dampak dari tiap serangan terasa nyata.
Ip Man 4: The Finale merupakan perpisahan yang layak terhadap peran paling
ikonik Donnie Yen, yang berbekal kharisma luar biasa, dapat memancing gemuruh
seisi studio hanya dengan menampakkan diri di tengah medan pertempuran. Yen
tidak pernah kehilangan wibawa, sekalipun saat menerima pukulan. Satu kelebihan
Donnie Yen yang jarang dimiliki aktor laga lain adalah aura hangat dan
kelembutan yang menjadikan sosok Ip Man bukan hanya soal otot, tapi juga hati.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Ip Man sudah menjadi superhero seperti Superman, Batman, Spiderman, Iron Man
Sejatinya Ip Man versi Donnie Yen ini sudah melenceng ceritanya dari kisah Ip Man itu sendiri, namun bila dinikmati sebagai film martial art biasa film ini memang mengasyikan.
Ip Man versi Herman Yau di The Legend is Born (2010) dan Final Fight (2013) lebih real menceritakan kisah Master Ip berdasarkan cerita Ip Chun putra Ip Man, bahkan Ip Chun tampil cameo di dua film tsb.
Gpp deh banyak fan service nya dengan menampilkan Bruce Lee, yang penting 1 bioskop tepuk tangan pas final fight nya, hehe...
Btw, malah saya pikir akan ada adegan yang menampilkan Ip Man dan Bruce Lee berantem bareng lawan banyak orang, bakalan lebih rame dan seru tuh di bioskop :D
Kasi review singkat di kolom komen ini aja dong bang. Review buat film wuxia: Shadow
Posting Komentar