TITUS: MYSTERY OF THE ENYGMA (2020)
Rasyidharry
Januari 12, 2020
Animated
,
Arbani Yasiz
,
Cukup
,
Dineshkumar Subashchandra
,
Doug Sinclair
,
Indonesian Film
,
Liliana Tanoesoedibjo
,
Lukman Sardi
,
Ranty Maria
,
REVIEW
,
Robby Purba
3 komentar
Konon Titus: Mystery of The Enygma juga dipersiapkan untuk pasar
internasional. Tapi ketimbang karya lokal yang akan diekspor,
film ini malah terasa bak produk impor. Bukan. Bukan karena kualitasnya setara
animasi Hollywood. Kesan tersebut ditimbulkan oleh kecanggungan alih Bahasa dialognya,
serta elemen-elemen lain (nama karakter, lokasi, latar kultural, dll.) yang
terkesan “sangat Barat”. Kenyataannya, naskah film ini, yang dibuat berdasarkan
cerita dari Liliana Tanoesoedibjo, memang ditulis oleh Doug Sinclair yang
selama ini eksis di skena animasi layar lebar dan televisi Kanada.
Apakah itu kekurangan besar? Sejujurnya
cukup mengganggu. Aneh rasanya mendapati seluruh tulisannya dalam Bahasa
Inggris tatkala dialognya 100% memakai Bahasa Indonesia. Dialog pun jadi
terdengar kaku akibat asal diterjemahkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan
dalam struktur kalimat kedua Bahasa. Contohnya pernyataan “Kota di mana yang
udaranya bersih”, jelas merupakan terjemahan mentah dari “A city where the air is clean”. Risiko lebih besarnya adalah, Titus: Mystery of The Enygma diperuntukkan
bagi anak kecil.
Jangankan bocah, penonton dewasa
pun akan sering kesulitan mengolah kalimat-kalimatnya. Belum lagi kentalnya
budaya Barat (bahkan latarnya merupakan kota industrial bernama Steamburg)
mungkin bakal menciptakan jarak. Tapi di luar permasalahan alih bahasa serta
budaya itu, ditinjau dari statusnya sebagai murni film anak, Titus: Mystery of The Enygma memang pada
dasarnya merupakan produk mixed bag.
Narasi pembukanya langsung
memberondong kita dengan kalimat-kalimat eksposisi soal bagaimana kota
Steanburg diselimuti polusi akibat bisnis licik Bulpan (Robby Purba) si mafia
kota hingga legenda soal mesin penghasil energi murni bernama Enygma. Apakah
anak-anak bisa memahami paparan sebanyak itu yang dipadatkan secara paksa?
Rasanya tidak. Apakah mereka memedulikan voice
over yang terdengar buru-buru seolah ada ketidaksinkronan antara pembuatan
animasi dengan proses pengisian suara? Sepertinya tidak juga.
Karena mereka pasti terhibur oleh
deretan karakter bertubuh hewan yang berperilaku layaknya manusia yang memiliki
desain cukup menarik. Titus (Arbani Yasiz) si tikus detektif dengan segala
kecerdikannya tentu mudah disukai selaku protagonis. Begitu pula beberapa karakter
sampingan seperti Fyra (Ranty Maria) si pilot sekaligus mekanik bertubuh kadal
dan Bobit (Lukman Sardi) si kelinci pesulap yang berulang kali mampu
mengeluarkan Titus dan kawan-kawan dari bahaya menggunakan alat-alat magisnya.
Bersama-sama, mereka harus menyelidiki kebenaran di balik Enygma guna
memperbaiki kondisi Steamburg.
Animasinya pun solid. Setidaknya di
tengah kelangkaan produk animasi layar lebar, Titus: Mystery of The Enygma masuk kategori layak tayang, biarpun
kalau membahas perihal pemaksimalan potensi, tidak semua pengadeganan Dineshkumar
Subashchandra, yang kentara mempunyai visi terkait melahirkan petualangan seru
di dunia imajinatif. Tapi kembali, bagi anak-anak, saya yakin film ini
menyimpan cukup amunisi adegan aksi, ditambah alur dengan pernak-pernik misteri
ringan yang efektif menjaga atensi mereka.
Apabila anda ingin mengajak adik,
anak, atau keponakan menyaksikan film ini, bersiaplah menghadapi lubang-lubang penceritaan
seperti inkonsistensi tindakan karakter dan naskah yang kelabakan menangani
kerumitannya sendiri, sehingga meninggalkan ketidakjelasan seputar “siapa” dan “kenapa”.
Mungkin kekesalan bahkan kebosanan bakal sesekali mengisi, namun paling tidak
itu bisa sedikit terobati kala anak-anak yang anda ajak, tertawa atau merasakan
ketegangan saat tokoh-tokohnya terancam bahaya. Tontonan medioker bagi kita ini
mungkin saja cinematic experience yang
lengkap untuk mereka. Walau sejatinya, memungkinkan untuk memuaskan kedua belah pihak.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:"Kota di mana yang udaranya bersih", sampe separah itu terjemahannya. Lihat trailer di tv aja berasa banget gimmick bahasa Inggris yg kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia malah jadi berasa aneh.
Sayang ya, masa kalah sama terjemahan dialog film animasi luar yg tayang di TV yg sangat rapi. Dan satu lagi, kenapa dubber2 lokal jarang diberi "panggung" walau minimal hanya dg cara disebutkan namanya di poster, ya? Spt di film Si Juki, ada bbrp dubber lokal sprti mas Bima Sakti (dubber Giant) dan Santosa Amin (dubber Suneo), tp yg ditonjolkan hanya sosok2 dubber selebritinya. **sori agak OOT
Bagusan mana dari "Kris"
Film animasinya Dedy Corbuzier
Posting Komentar