Tampilkan postingan dengan label Lukman Sardi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lukman Sardi. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KAMU TIDAK SENDIRI

Lahir dari cerita gagasan Lukman Sardi, kemudian ditulis naskahnya oleh Titien Wattimena, Kamu Tidak Sendiri memiliki bentuk menarik. Berlatar di tengah gempa dahsyat, ini bukan tentang hancurnya seisi kota akibat bencana, tapi bagaimana bencana itu berdampak pada segelintir individu. 

Ada dua tokoh sentral, yakni Mira (Adinia Wirasti), bos yang dikenal galak oleh anak buahnya, dan Adrian (Rio Dewanto), mantan anggota SAR yang kini menjadi sekuriti gedung kantor Mira. Suatu malam setelah lembur, Mira berada satu lift dengan Mika (Ganindra Bimo), yang sudah lama menjadi pengagum rahasianya. Mendadak lift tersebut macet, mengurung Mira bersama pria yang baru dikenalnya.

Saya mempertanyakan fungsi Mika di narasinya. Jika diniati sebagai pemicu kesediaan Mira membuka diri pada orang lain (selama ini dia menutup diri, baik dari keluarga maupun rekan kerja), rasanya kurang sesuai. Pertama, karena tutur kata Mika memberi kesan creepy, yang ada di garis batas antara pengagum dan penguntit. Kedua, peran itu sudah diemban Adrian, begitu ia berkomunikasi dengan Mira melalui interkom. 

Dimulainya interaksi Mira-Adrian turut mengawali titik balik Kamu Tidak Sendiri, dari thriller satu lokasi biasa, menjadi tuturan yang berorientasi psikis. Saya yakin, banyak penonton juga mengira Adrian bakal melakoni peran ala jagoan dalam film bencana, yang dengan heroik muncul selaku penyelamat. Rupanya tidak. Kita justru hampir tidak pernah melihat wajah Adrian, dan lebih banyak mendengar suaranya.

Inilah daya tarik terbesar filmnya. Bukan sebuah upaya bertahan hidup sarat aksi, melainkan soal kekuatan kata-kata dalam interaksi manusia. Adrian memberi pertolongan pertama, yang bukan (hanya) menyasar fisik, pula psikis. Naskahnya secara bertahap membangun hubungan kedua tokoh, menjadikan ikatan keduanya terasa masuk akal, ketika pelan-pelan mereka (khususnya Mira) mulai membuka diri. 

Obrolan Mira dan Adrian pun tersaji menghibur berkat sentuhan humor. Ketika banyak thriller kita justru melelahkan akibat menganggap dirinya terlampau serius, Kamu Tidak Sendiri tampil sebaliknya. Materi humornya memang cenderung hit-and-miss, namun kehadirannya tidak dipaksakan, bukan sebatas "ayo melucu" demi pemanis, tapi substansial membangun dinamika karakternya. 

Arwin T Wardhana selaku sutradara, dibantu Yadi Sugandi sebagai penata kamera, banyak memakai close-up, yang selain langkah cerdik menutupi sebuah twist, juga bentuk kepercayaan terhadap talenta Adinia Wirasti.  Seperti biasa, penampilannya kuat. Adinia tahu kapan harus meredam diri, kapan waktunya meledakkan emosi. Dialah pondasi yang menjaga film ini berdiri kokoh, biarpun acap kali Arwin bak terbuai akan performa sang aktris, sehingga terlalu lama menghabiskan waktu di satu titik (terutama tiap Adinia bercucuran air mata). Pacing penuturannya pun jadi terganggu.

Kamu Tidak Sendiri juga masih belum lepas dari masalah film berlokasi tunggal, yakni kurangnya variasi peristiwa. Ada kalanya timbul kesan monoton, apalagi saat momen-momen halusinasi tampil lebih banyak dari seharusnya, termasuk "pertemuan khayal" antara Mira dan Adrian, yang daripada menyentuh, malah berakhir cheesy. 

(JAFF 2021)

REVIEW - PENYALIN CAHAYA

"Kita cuma punya cerita". Teriris hati saya mendengar kalimat tersebut, yang muncul di paruh akhir Penyalin Cahaya. Berkedok praduga tak bersalah, masyarakat kita masih demikian sulit memercayai cerita korban pelecehan seksual. Benar bahwa cerita dapat dipalsukan, namun bukankah bukti pun sama, baik keberadaan maupun ketiadaannya? Mengapa sesulit itu memegang prinsip "percaya korban lebih dulu"? Minimal dengan tidak menghakiminya, menuduhnya berbohong, bahkan menyudutkannya lewat pernyataan, "Salah siapa perilakumu/pakaianmu begitu!". 

Sur (Shenina Cinnamon) mengalami hal-hal di atas. Pasca sebuah pesta perayaan kemenangan kelompok teater tempatnya menjadi pembuat situs web, hidup Sur runtuh dalam semalam. Swafoto yang ia ambil saat mabuk dianggap perbuatan tak bermoral sehingga beasiswanya dicabut. Dia pun diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di tempat Amin (Chicco Kurniawan), sahabat sekaligus tukang fotokopi di kampusnya.

"Moralmu buruk". "Harusnya kamu tidak mabuk". "Jangan sampai masalah ini diketahui pihak luar. Reputasi kampus dan teater bisa terancam". "Mari selesaikan masalah ini secara kekeluargaan". Deretan kalimat andalan para enabler pelecehan seksual negeri kita tercinta ini secara bergantian membombardir telinga si protagonis. Sur yakin ia dijebak, tapi hampir semua pihak menolak percaya terhadap ceritanya. Cuma Amin dan Anggun (Dea Panendra) si sutradara teater yang bersedia mengulurkan bantuan. 

Di sekuen pembuka, kelompok teater Sur mementaskan cerita Medusa, yang sosoknya identik dengan kebengisan. Tapi jika menilik detail mitologinya, Medusa merupakan korban pemerkosaan Poseidon, yang lalu diantagonisasi, dicap sebagai pendosa. Sur, dan para korban pelecehan lain terutama wanita, tak ubahnya Medusa. 

Wujud kreativitas eksplorasi naskah buatan sang sutradara, Wregas Bhanuteja, dan Henricus Pria, terlihat kala Sur menyelidiki kebenaran peristiwa malam itu. Investigasi Sur menggiring Penyalin Cahaya bergerak ke ranah misteri, di mana penonton dibuat bertanya "siapa" dan "apa". Kecurigaan mengarah ke Tariq (Jerome Kurnia) yang digambarkan sebagai "si brengsek dalam tim". Tapi benarkah? Atau justru ada musuh dalam selimut? 

Muncul banyak kejutan sepanjang 129 menit durasinya, namun bukan bersifat gimmick belaka. Utamanya, kejutan-kejutan itu memfasilitasi tuturan tentang topeng yang manusia kenakan guna mengikuti tuntutan-tuntutan sosial, juga perihal privilege. Mengingat mayoritas pelaku pelecehan seksual adalah pria, dan bagaimana kultur negeri ini cenderung menguntungkan pria apalagi jika memiliki harta serta kuasa, poin terkait privilege tadi menekankan kenapa memercayai cerita korban itu penting. 

Tapi Penyalin Cahaya tidak menutup mata bahwa pria bisa jadi korban. Persoalan itu turut disinggung, bersama setumpuk isu lain yang tetap terhubung pada kasus pelecehan seksual, dari kesehatan mental hingga kesenjangan kelas serta ekonomi. Jadilah film ini suguhan kaya, ramai, rapi juga padat. Sangat rapi, anda bakal lupa bahwa sutradara dan penulis naskahnya baru menjalani debut film panjang mereka. 

Satu unsur penceritaan yang paling membekas, tajam, sekaligus berani adalah mengenai seni. Seni kerap jadi kedok para pelaku. "Semua atas nama seni", begitu kiranya kata-kata seniman untuk menutupi kebiadaban mereka. Seni yang mestinya jadi sarana menghidupkan jiwa, malah sering mematikan jiwa. Kebebasan berekspresi disalahartikan. Berani, karena tak semua sineas bersedia menyentil ekosistem mereka sendiri. Saya menaruh hormat pada segenap tim Penyalin Cahaya atas keberanian tersebut.

Dibarengi tata artistik mumpuni, khususnya konsistensi luar biasa dalam dominasi warna hijau di berbagai departemen (properti, kostum, cahaya), Wregas membawa sinema alternatif ke titik maksimal, sebagai medium di mana presentasi rasa dipercantik, bukan dilebih-lebihkan atau ditahan. Jijik, sedih, dan marah, adalah emosi-emosi yang menguasai. Jijik melihat korban dipersalahkan, sedih melihatnya merana, marah mendapati korban disudutkan seisi dunia. 

Kekuatan emosi Penyalin Cahaya tentu tidak terlepas dari jajaran pemain, yang merupakan salah satu ensemble cast film Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Ruth Marini sebagai ibu Sur bakal menguras air mata anda di adegan "sepeda motor", Lukman Sardi sebagai ayah Sur menyulut amarah kita melalui letupan-letupannya, Jerome Kurnia yang menyuguhkan kompleksitas, Dea Panendra dengan perangai "peduli setan" miliknya, Giulio Parengkuan yang sempat membuat saya membeku di salah satu momen, Chicco Kurniawan yang bukan lagi si pemuda lembut nan canggung sebagaimana kerap ia perankan, sampai Lutesha sebagai Farah dengan sisi misteriusnya.

Memimpin ensemble cast di atas adalah Shenina. Teriakannya, tangisnya, keterkejutan serta kebingungan yang berkembang jadi keputusasaan, segala hal darinya mencabik-cabik perasaan. Wregas tahu betul kehebatan sang aktris, sehingga beberapa kali close-up diterapkan. Tubuh saya bergetar kala Shenina menatap lurus ke arah kamera. 

Lalu tibalah babak konklusi. Tidak seperti para pelaku power abuse di film ini, Wregas memanfaatkan kuasanya sebagai seniman. Figur "pencipta" yang bisa melahirkan dunia versinya. Apabila dunia nyata belum juga memihak korban, maka "dunia Wregas" memberi mereka ruang bersuara, memberi mereka kekuatan, memberi mereka sebersit cahaya untuk disalin, dibagikan, kemudian dipancarkan sebagai wujud harapan. 

(JAFF 2021)

REVIEW - PARANOIA

Saya menghabiskan 20 menit menatap layar kosong, bingung harus mulai menulis dari mana. Ada perasaan tidak percaya, bahwa kolaborasi trio Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto, yang pernah melahirkan Petualangan Sherina (1999) serta Ada Apa dengan Cinta? (2001), pula keberadaan Nirina Zubir, Lukman Sardi, dan Nicholas Saputra di depan kamera, berujung film seburuk Paranoia. Seburuk-buruknya thriller adalah saat ketegangan digantikan oleh tawa akibat kekonyolan. 

Alurnya mengisahkan tentang Dina (Nirina Zubir), yang setelah berkali-kali pindah guna menghindari kejaran sang suami, Gion (Lukman Sardi), kini akhirnya menetap di Bali bersama puterinya, Laura (Caitlin North-Lewis). Dina kabur akibat tidak tahan lagi dengan perilaku abusive Gion. Biarpun sudah berpisah, pun Gion sekarang tengah mendekam di penjara, Dina tak pernah bisa lepas dari kecemasan. Apalagi ia membawa barang yang amat berharga bagi Gion. 

Pasca Gion dibebaskan karena pandemi, kecemasan itu datang lagi. Dina percaya, di mana pun ia bersembunyi, Gion dapat menemukannya. Alhasil, saat muncul pria tak dikenal bernama Raka (Nicholas Saputra), kepalanya dipenuhi pertanyaan. Apakah Raka cuma kebetulan berada di dekatnya, ataukah ia orang suruhan Gion? 

Ada begitu banyak potensi penceritaan, sebutlah perihal kecurigaan Dina kepada Raka, trauma KDRT yang tak pernah benar-benar lenyap, hingga paralel antara ketakutan protagonis dan ketakutan massa semasa wabah COVID-19 (poin terakhir mungkin memang bukan tujuan filmnya). Semua cocok sebagai pondasi thriller psikologis. Tinggal mana yang mau dijadikan sorotan utama oleh Riri, Mira, dan Jujur selaku penulis naskahnya.

Tapi di antara semua potensi itu, tak satu pun mampu diolah dengan baik. Presentasi sikap paranoid Dina bak pemenuhan kewajiban semata. Bukan bentuk pendalaman cerita, bukan pula elemen penambah ketegangan. Tidak berlebihan menyebut Paranoia sebagai "thriller nihil ketegangan".

Rangkaian peristiwanya cuma numpang lewat. Misal ketika Dina menaruh kecurigaan pada Raka. Diungkapkannya itu ke Laura (karena sang puteri terus mengunjungi Raka), kemudian ia lakukan pencarian via Google, lalu selesai. Penonton tidak dibuat ikut menduga-duga, misalnya lewat tindak-tanduk misterius Raka. Filmnya ingin membuat penonton memedulikan Dina dan Laura, tetapi saya malah berharap ada hal buruk menimpa keduanya, agar minimal terjadi sesuatu yang signifikan. 

Daripada invenstigasi, Paranoia lebih tertarik mengeksploitasi obsesi publik terhadap Nicholas Saputra. Betapa menawan dia, sampai bisa memikat hati ibu dan anak (Laura "mengklarifikasi" bahwa ia melihat figur ayah dalam sosok Raka, tapi saya yakin bukan kesan itu yang penonton dapat). Jumlah adegan flirting lebih banyak dari ketegangannya, hingga di titik terasa bagai fan fiction murahan. 

Implementasi era pandemi, khususnya terkait penggambaran karakternya memakai masker juga menggelikan (kerap tampak seperti iklan layanan masyarakat), namun bagian terkonyol tentu klimaksnya. Aksi perkelahian yang harusnya jadi puncak intensitas malah tersaji luar biasa canggung. Pengarahan, pilihan shot, penyuntingan, semua canggung. 

Kemudian konklusinya.....astaga. Baik naskah maupun penyutradaraan sama-sama bertanggung jawab di sini. Bagaimana mungkin konklusi seburuk ini, sekonyol ini, sebodoh ini, dicetuskan oleh sosok-sosok sehebat Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto? Bagaimana mungkin setelah gambar diambil, mereka melihatnya, lalu berkata, "Ya, ini bagus"? Andai Paranoia dibuat oleh Nayato atau Baginda KKD, saya bakal maklum. 

Akibat keterbatasan? Rasanya tidak, dan itu bukan alasan masuk akal, mengingat para pembuatnya pernah membidani Kuldesak (1997), yang dibuat diam-diam dengan segala keterbatasan di bawah represi rezim. Entahlah. Sungguh menyedihkan.

Setidaknya departemen akting memberi hasil positif. Nirina amat kuat, berkat totalitas melakoni momen-momen penguras emosi, sementara Lukman Sardi meyakinkan sebagai suami menjijikkan sekaligus kriminal intimidatif. Caitlin North-Lewis pun menampakkan potensi menjanjikan, selama di masa depan nanti, pilihan film dan perannya tepat. Nicholas Saputra? Tidak buruk, hanya saja, sang aktor tak diberi materi memadai, dan seolah cuma ada untuk memancing teriakan histeris penggemarnya. Saya juga berteriak. Teriakan saat meratapi kualitas Paranoia. 

TITUS: MYSTERY OF THE ENYGMA (2020)

Konon Titus: Mystery of The Enygma juga dipersiapkan untuk pasar internasional. Tapi ketimbang karya lokal yang akan diekspor, film ini malah terasa bak produk impor. Bukan. Bukan karena kualitasnya setara animasi Hollywood. Kesan tersebut ditimbulkan oleh kecanggungan alih Bahasa dialognya, serta elemen-elemen lain (nama karakter, lokasi, latar kultural, dll.) yang terkesan “sangat Barat”. Kenyataannya, naskah film ini, yang dibuat berdasarkan cerita dari Liliana Tanoesoedibjo, memang ditulis oleh Doug Sinclair yang selama ini eksis di skena animasi layar lebar dan televisi Kanada.

Apakah itu kekurangan besar? Sejujurnya cukup mengganggu. Aneh rasanya mendapati seluruh tulisannya dalam Bahasa Inggris tatkala dialognya 100% memakai Bahasa Indonesia. Dialog pun jadi terdengar kaku akibat asal diterjemahkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan dalam struktur kalimat kedua Bahasa. Contohnya pernyataan “Kota di mana yang udaranya bersih”, jelas merupakan terjemahan mentah dari “A city where the air is clean”. Risiko lebih besarnya adalah, Titus: Mystery of The Enygma diperuntukkan bagi anak kecil.

Jangankan bocah, penonton dewasa pun akan sering kesulitan mengolah kalimat-kalimatnya. Belum lagi kentalnya budaya Barat (bahkan latarnya merupakan kota industrial bernama Steamburg) mungkin bakal menciptakan jarak. Tapi di luar permasalahan alih bahasa serta budaya itu, ditinjau dari statusnya sebagai murni film anak, Titus: Mystery of The Enygma memang pada dasarnya merupakan produk mixed bag.

Narasi pembukanya langsung memberondong kita dengan kalimat-kalimat eksposisi soal bagaimana kota Steanburg diselimuti polusi akibat bisnis licik Bulpan (Robby Purba) si mafia kota hingga legenda soal mesin penghasil energi murni bernama Enygma. Apakah anak-anak bisa memahami paparan sebanyak itu yang dipadatkan secara paksa? Rasanya tidak. Apakah mereka memedulikan voice over yang terdengar buru-buru seolah ada ketidaksinkronan antara pembuatan animasi dengan proses pengisian suara? Sepertinya tidak juga.

Karena mereka pasti terhibur oleh deretan karakter bertubuh hewan yang berperilaku layaknya manusia yang memiliki desain cukup menarik. Titus (Arbani Yasiz) si tikus detektif dengan segala kecerdikannya tentu mudah disukai selaku protagonis. Begitu pula beberapa karakter sampingan seperti Fyra (Ranty Maria) si pilot sekaligus mekanik bertubuh kadal dan Bobit (Lukman Sardi) si kelinci pesulap yang berulang kali mampu mengeluarkan Titus dan kawan-kawan dari bahaya menggunakan alat-alat magisnya. Bersama-sama, mereka harus menyelidiki kebenaran di balik Enygma guna memperbaiki kondisi Steamburg.

Animasinya pun solid. Setidaknya di tengah kelangkaan produk animasi layar lebar, Titus: Mystery of The Enygma masuk kategori layak tayang, biarpun kalau membahas perihal pemaksimalan potensi, tidak semua pengadeganan Dineshkumar Subashchandra, yang kentara mempunyai visi terkait melahirkan petualangan seru di dunia imajinatif. Tapi kembali, bagi anak-anak, saya yakin film ini menyimpan cukup amunisi adegan aksi, ditambah alur dengan pernak-pernik misteri ringan yang efektif menjaga atensi mereka.

Apabila anda ingin mengajak adik, anak, atau keponakan menyaksikan film ini, bersiaplah menghadapi lubang-lubang penceritaan seperti inkonsistensi tindakan karakter dan naskah yang kelabakan menangani kerumitannya sendiri, sehingga meninggalkan ketidakjelasan seputar “siapa” dan “kenapa”. Mungkin kekesalan bahkan kebosanan bakal sesekali mengisi, namun paling tidak itu bisa sedikit terobati kala anak-anak yang anda ajak, tertawa atau merasakan ketegangan saat tokoh-tokohnya terancam bahaya. Tontonan medioker bagi kita ini mungkin saja cinematic experience yang lengkap untuk mereka. Walau sejatinya, memungkinkan untuk memuaskan kedua belah pihak. 

27 STEPS OF MAY (2019)

Ada istilah twelve-step program, sebuah tahap-tahap panduan pemulihan masalah perilaku (behavioral problem). Di sini, karakter utamanya melalui 27 langkah, dalam film Indonesia langka—bahkan di antara jajaran judul arus alternatif—yang benar-benar memanfaatkan penceritaan bertempo lambat, yang diterapkan sutradara Ravi Bharwani (Jermal, The Rainmaker) bukan sekedar demi “gaya-gayaan”, melainkan diperlukan agar presentasi dramanya meyakinkan sekaligus efektif.

27 Steps of May dibuka melalui pemandangan mengganggu, bukan saja akibat pemerkosaan terhadap karakter utamanya, juga karena, tidak peduli seberapa memikat aktingnya, memaksa Raihaanun memerankan gadis SMP berambut kepang (trik paling klise guna memudakan usia) adalah keputusan yang dipaksakan. Beruntung kita cuma melihat itu selama beberapa menit sebelum filmnya melakukan lompatan waktu.

Delapan tahun berselang, May masih terguncang, menolak keluar kamar, mengidap kelainan perilaku komplusif. Rutinitasnya selalu sama: bangun, lompat tali, menghitung boneka yang tersusun di lemari, menyetrika baju secara hati-hati, mengatur rapi rambutnya dengan jepit, lalu membuka pintu kamar di mana sang ayah (Lukman Sardi) telah menanti untuk mengeluarkan boneka-boneka buatan May yang dijual lewat bantuan seorang teman (Verdi Solaiman).

Setahu saya, stres takkan menyebabkan OCD (Obsessive Compulsive Disorder), tapi peristiwa traumatis bisa memicu bila seseorang memang menyimpan kecenderungan. Kita urung melihat banyak kehidupan May sebelum pemerkosaan, sehingga sulit memastikan akurasi unsur psikologisnya. Tapi pastinya, bukan dia semata yang menderita. Pula sang ayah, yang merasa gagal melindungi puterinya seperti ia melindungi sebutir telur agar tak menggelinding jatuh dari meja. Dia dikuasai amarah termasuk pada diri sendiri akibat rasa bersalah, mendorongnya bertingkah liar di arena (Dia seorang petinju). Muncul dorongan menghajar orang lain, walau mungkin saja, ia pun ingin dihajar sebagai bentuk hukuman bagi diri sendiri

Rutinitas May dan Ayah dipaparkan bergantian, menghadirkan studi kasus perihal dampak peristiwa traumatis, baik terhadap korban maupun keluarga. Hingga suatu hari keanehan terjadi. Kebakaran kecil meninggalkan lubang pemberi ruang untuk secercah cahaya menyinari kamar May. Sang gadis belum siap melangkah keluar dari kegelapan, memilih menjauh bahkan menutup akses cahaya, namun seiring waktu, rasa penasarannya tersulut. Apalagi setelah May mengintip aksi sesosok pesulap (Ario Bayu) melalui lubang itu.

Naskah buatan Rayya Makarim (Banyu Biru, Jermal, Buffalo Boys) cukup cerdik memposisikan ketertarikan May akan trik-trik si pesulap selaku simbolisasi teruntuk terapi yang May lalui demi mengalahkan depresi. 27 Steps of May pun berjalan layaknya terapi, ketika Ravi dengan penuh kesabaran menyuguhkan satu per satu fase secara mendetail. Pertemuan May dengan sang pesulap mungkin tampak aneh, tapi membawa pesan nyata. Bukan saja soal konflik batin May, pula mengenai bagaimana seharusnya cinta bersemi yang melibatkan tahap-tahap saling kenal, saling pikat, bukan sekadar penyaluran nafsu sepihak (Dengarkan wahai para lelaki).

27 Steps of May juga sebuah kenikmatan visual berkat sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur) yang sempurna menangkap keindahan dalam kesederhanaan milik kamar May, yang artistiknya ditata oleh Vida Sylvia (Sweet 20, Critical Eleven). Tiada banyak barang, hanya kasur, lemari boneka, dan tentunya lubang di dinding sebagai perlambang perjalanan May keluar dari kurungan mentalnya.

Walau mengusung tema kelam, proses karakternya mencari kedamaian terasa magis nan memuaskan, salah satunya berkat akting mengagumkan Raihaanun. Di awal kita melihat sorot kosong di matanya yang secara bertahap (bukan perubahan dadakan) makin “bernyawa”. Sang aktris memberi sentuhan-sentuhan kecil, dari mata yang mulai bercahaya sekilas senyum simpul, atau gerakan tergesa-gesa menutup rok sebagai perwujudan kondisi psikis May. Raihaanun menghadirkan akting subtil yang hanya bisa diimpikan banyak pelakon seni peran.

Sebagaimana telah disebut, 27 Steps of May bukan sekadar soal korban, juga betapa rasa bersalah turut menguasai keluarga. Perasaan yang acap kali justru sama sekali tak membantu korban. Ayah May terjebak dalam kesakitan luar biasa, berusaha mencari pelampiasan, berujung menelantarkan sang puteri yang butuh uluran tangan. Dinamika dua manusia terluka itu bertambah kompleks, sewaktu May pelan-pelan membaik, sedangkan sang ayah sebaliknya, seolah betah mendekam dalam penderitaan.

Tatkala perilaku komplusif May berkurang, sang ayah justru menganggap ada kesalahan. 27 Steps of May mengingatkan jika kesedihan tersebut manusiawi, meski tak semestinya kita menemukan kenyamanan dari menghukum diri. Apalagi sewaktu membantu korban semestinya jadi prioritas. Saya memakai kata “mengingatkan”, sebab film ini tidak melontarkan kritik pedas, melainkan “tepukan lembut di pundak”. Sebuah kasih hangat yang diwakili konklusi menyentuh, di mana Raihaanun menyulap sebaris kalimat sederhana menjadi ungkapan mengharukan.


ORANG KAYA BARU (2019)

Orang Kaya Baru disutradarai oleh Ody C. Harahap (Kapan Kawin?, Sweet 20, Me vs Mami) yang sekali lagi membuktikan kapasitasnya menggarap tontonan berdaya hibur tinggi. Tapi sebenarnya film ini lebih terasa sebagai pengingat tentang betapa bagusnya penulisan komedi seorang Joko Anwar. Saya tertawa lepas sepanjang durasi, karena selain kreatif, humornya begitu nyata. Joko merangkai absurditas berdasarkan realita yang teramat dekat.

Kisahnya menampilkan sebuah keluarga yang (harus) makan bersama tiap malam demi penghematan. Penghasilan Bapak (Lukman Sardi) di bengkel tak seberapa, demikian pula hasil dagangan kue Ibu (Cut Mini). Ketiga anak mereka pun mesti pontang-panting. Tika (Raline Shah) dituntut mengerjakan tugas kuliah arsitekturnya memakai barang bekas, Duta (Derby Romero) hanya bisa bermimpi membuat pementasan teater megah, sedangkan si bungsu Dodi (Fatih Unru) sering jadi bahan olok-olok di sekolah akibat sepatu bututnya.

Di tengah kondisi ekonomi serba kekurangan tersebut, mereka justru memperoleh hal yang lebih bernilai ketimbang uang: kebersamaan dan kehangatan keluarga. Selepas Bapak meninggal, kondisi berbalik. Rupanya ia berasal dari keluarga kaya yang menyembunyikan hartanya karena ingin keluarganya menghargai hasil kerja keras. Kini seluruh tabungan tersebut diwariskan kepada istri serta anak-anaknya.

Seperti jamaknya stereotip orang kaya baru yang kita kenal, mereka “kaget” dan menghambur-hamburkan uang tersebut. Secepat kilat mereka mendapatkan apa yang selama ini tak dimiliki, walau tanpa sadar, di saat bersamaan mereka pun kehilangan hal penting yang dimiliki. Sekarang mereka sibuk berbelanja sendiri-sendiri, mampu makan di luar rumah, dan jalan-jalan sesuka hati. Tidak perlu lagi ada penghematan dengan cara makan bersama.

Joko memposisikan meja makan selaku hati film ini. Hampir seluruh momen emosional Orang Kaya Baru bertempat di sana, sebutlah “pertemuan keluarga mendadak” pasca penguburan Bapak, lamunan Dodi kala duduk sendirian merindukan kehangatan keluarga, hingga saat si bungsu itu menumpahkan segala keluh kesahnya. Fatih Unru melanjutkan pencapaian gemilangnya di Petualangan Menangkap Petir tahun lalu sebagai salah satu aktor cilik paling menjanjikan di negeri ini.

Babak kedua film ini sejatinya sebatas kompilasi momen komedik yang menyoroti kekonyolan perilaku para orang kaya baru. Pilihan ini berisiko membuat alurnya jalan di tempat dan monoton, tapi beruntung, humor tulisan Joko selalu segar, timing pengadeganan Ody sempurna, dan performa jajaran pemain senantiasa menyuntikkan energi, khususnya kedua pelakon wanita utama. Di luar glamoritas yang membuatnya layak memperoleh peran di sekuel Crazy Rich Asians, Raline Shah memamerkan sisi lain sekaligus penampilan terbaik sepanjang karir, kala mulus melakoni tingkah norak Tika. Begitu pula Cut Mini dengan gaya histerikal yang tak pernah gagal mengocok perut. Hampir setiap baris kalimat maupun kelakuan sang aktris berujung momen komedi emas.

Naskahnya memperhatikan pengembangan cerita serta karakter. Gesekan konfliknya jelas: Walau para orang kaya baru tahu cara berfoya-foya, mereka belum siap menghadapi hal-hal yang datang seiring bertambahnya isi tabungan. Tika dan kehidupan sosial ditambah romansanya dengan Banyu (Refal Hady), Duta dengan tanggung jawab menangani pertunjukan berskala besar, Ibu dengan hal-hal berbau hukum dan legalitas. Semuanya asing bagi mereka. Alhasil, alasan di balik kesulitan tokoh-tokohnya bisa dipahami, termasuk saat mereka jatuh ke titik terendah masing-masing. Orang Kaya Baru punya presentasi elemen sebab-akibat mumpuni yang mana kerap dilupakan penulis naskah kita.

Sayang, naskahnya sedikit tersandung di paruh konklusi yang berpotensi membingungkan bagi sebagian penonton, akibat dituturkan secara terburu-buru, datang dan pergi begitu saja sehingga melemahkan dampak dramatik yang semestinya muncul guna mengakhiri cerita. Tapi toh berbekal segala kekuatannya, Orang Kaya Baru bakal berdiri tegak sebagai salah satu hiburan terkuat  tahun ini.

SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA (2018)

Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta menempatkan penonton di posisi sebagaimana kita sehari-hari, sebagai rakyat, menyikapi seorang pemimpin. Coba pikirkan, seberapa sering anda meragukan Camat, Bupati, Gubernur, sampai Presiden? Kita cenderung—dan merupakan hal wajar—menghakimi mereka berdasarkan apa yang terlihat kini. Karena kita pun tidak tahu menahu soal pertimbangan di belakang. Apalagi saat suatu keputusan lebih berorientasi jangka panjang. Masalahnya, walau film ini berhasil menghadirkan pemahaman soal proses di balik layar itu, hal paling esensial, yakni hasil, urung ditampilkan.

Pembicaraan terkait politik beserta filosofi di belakangnya memang rumit, namun satu jam pertama Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta tampil lebih sederhana, yang mana merupakan paruh terbaiknya. Wajah bila sederhana, sebab inilah masa di mana Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang (Marthino Lio) masih muda dan berguru pada Ki Jejer (Deddy Sutomo) di padepokan. Menimba ilmu, baik fisik maupun batin, jadi konsentrasi utama, yang tentu saja diselingi romantika. Raden Mas Rangsang memadu kasih dengan Lembayung (Putri Marino), seorang rakyat biasa.

Romansanya hidup, selain berkat selipan interaksi keseharian santai kaya selipan humor, juga perpaduan apik Marthino-Marino. Putri Marino memudahkan siapa saja mencintai Lembayung, si gadis dengan kekuatan fisik pula batin. Ya, batinnya tergoncang kala Raden Mas Rangsang didapuk sebagai Raja sehingga mesti pulang ke Kraton sekaligus menikahi wanita lain yang ditentukan mendiang ayahnya. Tapi seiring kemampuan Putri mengguncang hati penonton lewat luapan emosi, turut ditegaskan bahwa ia ikhlas, memahami jika tiada pilihan. Jadilah elemen romansanya tak menyentuh ranah dramatisasi opera sabun. Ini tentang sepasang muda-mudi kuat yang mendahulukan kepentingan negeri.

Di antaranya, beberapa adegan laga yang disusun solid oleh Hanung Bramantyo sesekali mengisi, menghasilkan adu jurus menghibur khas kisah pendekar masa lampau. Fase masa muda Sultan Agung ditutup perebutan kekuasaan sarat intrik serta pertumpahan darah yang mana tak pernah lepas dari sejarah kerajaan mana pun. Kemudian kisahnya melompat beberapa tahun, beranjak menyelami konflik politis kompleks dan peperangan kolosal yang mengetengahkan perlawanan Kerajaan Mataram terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie alias VOC.

Dari Marthino Lio, Sultan Agung dewasa anti diperankan Ario Bayu. Anda akan sadar betapa cerdik casting film ini begitu melihat kemiripan paras kedua aktor. Ario memerankan Sultan Agung yang telah tumbuh jadi Raja berkepribadian keras yang menolak berkompromi kala VOC berusaha menundukkan Mataram melalui kedok kerja sama dagang dengan aturan mencekik. Lembayung dewasa diperankan Adinia Wirasti, yang bukan saja jago mengolah rasa, juga meyakinkan melakoni porsi aksi. Sementara Ario, lewat wibawanya, mulus memerankan Raja yang mantap menyerukan teriakan perang “Mukti utawa mati!”.

Sultan Agung memutuskan menabuh genderang perang, mengerahkan ribuan rakyat termasuk sekumpulan petani guna menyerbu VOC di Batavia, meski menurut beberapa pihak termasuk sang paman, Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi), itu bak misi bunuh diri. Tapi Sultan tidak bergeming. Mengapa harus mengalah kalau ujungnya kehilangan harga diri sebagai budak penjajah? Di sini kompleksitas muncul, ketika mereka yang menaruh kepercayaan sekalipun, pasti akan bertanya-tanya, “Apakah Sultan sudah dibutakan harga diri sampai membiarkan ribuan rakyat meregang nyawa?”.

Korban berjatuhan, pasukan Mataram tersudut, kian mudah baik bagi rakyat dan penonton meragukan Sultan. Sepanjang pertempuran, jarang kita melihat Sultan, apalagi memperoleh detail soal pendorong keputusan kontroversialnya. Naskah karya BRA Mooryati Soedibyo (juga produser dan produser eksekutif), Ifan Ismail (The Gift, Ayat-Ayat Cinta 2), dan Bagas Pudjilaksono memang sengaja meninggalkan penonton dalam ketidaktahuan, serupa yang dialami pasukan Mataram di medan perang, yang lebih sering kita tengok kondisinya. Kita sama-sama ada dalam “ruang gelap”, menduga-duga maksud Sultan sebagaimana pada umumnya rakyat mempertanyakan sikap sang pemimpin.

Sekuen peperangan di benteng Batavia tampil problematik. Benar tata artistik, semisal kostum dan properti persenjataan tampak solid. CGI yang dipakai menggambarkan ribuan manusia di medan laga pun nyaman dilihat. Poin mengganjal justru ketiadaan paparan taktik. Apa taktik Mataram, hingga Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker) kaget, mempertanyakan dari mana mereka paham cara mengepung benteng? Kita hanya akan melihat serbuan acak yang terkesan asal gempur. Lalu apa sebab VOC berbalik unggul? Tidak ada perubahan taktik, kecuali mendadak beberapa orang, termasuk J.P. Coen, menembakkan senapan (yang anehnya, merupakan pengulangan adegan flashback sebelumnya). Atau karena menang jumlah? Sulit dipastikan, mengingat sepanjang sekuen, pasukan Mataram justru terlihat unggul kuantitas.

Setelah lokasi pindah ke hutan, baru peperangan lebih menarik. Satu-satunya momen berisi taktik jitu hadir di sini, sewaktu prajurit Mataram menggunakan otak, memanfaatkan alam guna memberi pukulan terbesar bagi VOC. Pada fase ini, ada tata kamera menarik berupa siluet berlatar belakang warna jingga dari nyala obor. Faozan Rizal memang ahli bermain bayangan. Contoh lain eksplorasi bayangan dalam sinematografi tersaji ketika ibunda Sultan Agung, Gusti Ratu Banowati (Christine Hakim) memberi petuah kepada sang anak. Suasana ruang remang-remang, sebagian wajah Christine maupun Marthino gelap, memunculkan keintiman nan khidmat.  

Kembali menuju keputusan kontroversial Sultan. Pernyataan jika perang ini bakal terasa dampaknya 100 tahun ke depan merupakan kunci. Saat itulah asumsi saya menjadi fakta, didukung oleh sekuen berikutnya, yang menegaskan mengapa kebesaran Sultan Agung perlu kita ketahui. Sultan memikirkan masa depan. Dia memupuk bibit generasi mendatang agar kelak dapat menuai perjuangan generasi kini, yang dengan terpaksa harus berkorban bertaruh nyawa. Masalahnya, hasil nyata siasat Sultan Ahanya ditaruh di teks sebelum credit akhir. Kita tak pernah melihatnya divisualisasikan. Itu kenapa, setelah 148 menit, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta terasa baru melaju separuh jalan. Tidak peduli seberapa mumpuni, separuh jalan tetaplah kurang utuh.

JAILANGKUNG 2 (2018)

Jailangkung 2 diawali dengan meyakinkan, memberi penyegaran dengan membawa kisahnya mundur jauh ke belakang, tepatnya pada 1947 untuk mengaitkan Matianak dengan legenda SS Ourang Medan, kapal yang konon karam akibat kecelakaan misterius berbau mistis. Sekuen—yang sayangnya terlampau singkat—itu bukan cuma menghadirkan suasana berbeda, pula berpotensi melebarkan mitologi cerita, di mana Matianak dikurung dalam kargo SS Ourang Medan. Untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan logika serupa terulang berkali-kali, tapi tanya yang lebih besar adalah “kenapa sekuel ini dibuat jika orang-orang yang terlibat tampak setengah hati?”. Demi uang tentu saja. Bodohnya saya bertanya.

Padahal menengok konsepnya, Jailangkung 2 jelas sekuel ambisius. Lebih mahal, lebih besar, punya lingkup lebih luas. Dimulai di tengah samudera, kisahnya berlanjut menceritakan nasib tokoh-tokohnya pasca film pertama. Bella (Amanda Rawles) mendapati keluarganya masih diteror Matianak. Ayahnya, Ferdi (Lukman Sardi) tetap dihinggapi rasa tidak tenang, sementara sang kakak, Angel (Hannah Al Rashid) berada di bawah pengaruh Matianak dalam wujud bayi yang ia lahirkan di film sebelumnya. Kedua mata bayi itu berwarna putih, menyeramkan, tapi entah bagaimana pihak rumah sakit seolah tak merasa ada kejanggalan.

Si puteri bungsu, Tasya (Gabriella Quinlyn), secara tak sengaja menyaksikan video ayahnya bermain jailangkung, lalu terinspirasi membuat jailangkung sendiri guna berkomunikasi dengan mendiang sang ibu. Tindakan inilah awal segala teror yang memicu Bella, bersama Rama (Jefri Nichol), melakukan perjalanan mencari jimat Kurungsukmo yang dipercaya bisa membendung kekuatan Matianak, setelah memperoleh informasi dari Bram (Naufal Samudra) si mahasiswa baru. Perjalanan ini diisi ragam tindakan karakter yang terjadi semata sebagai pembuka jalan menyelipkan jump scare alih-alih didasari motivasi logis. Bella misalnya, mendadak bergegas ke WC untuk cuci tangan. Bisa jadi dia menjunjung tinggi kebersihan, meski saya yakin ini sekedar cara malas Ve Handoyo dan Baskoro Adi Wuryanto (Gasing Tengkorak, Ruqyah: The Exorcism) dari departemen penulisan naskah supaya Bella seorang diri di ruangan gelap. Begitu lampu WC padam, daripada kabur, ia justru nekat menyelidiki.

Di saat bersamaan Ferdi tinggal di rumah, berusaha mencari Tasya yang hilang setelah bermain jailangkung. Selaras dengan tema kekeluargaan yang diusung, Ferdi pun coba digambarkan sebagai seorang ayah dengan kepedulian tinggi pada ketiga puterinya, walau tatkala Bella pamit ingin mencari jimat,—yang jelas sebuah perjalanan berbahaya—Ferdi tak merasa perlu menanyakan destinasinya. Benar saja, gangguan makhluk halus setia mengintai Bella dan kawan-kawan. Bram berkata, bahwa semakin tinggi niat mereka menyingkirkan Matianak, semakin banyak pula setan mengganggu demi menggagalkan usaha itu. Satu momen singkat sempat memperlihatkan para hantu merangkak di depan Matianak layaknya rakyat jelata memuja sang raja. Setidaknya poin itu cukup sebagai “rules”, penjabaran mengapa hantu-hantu selain Matianak ikut meneror.

Samudera ganas baik di permukaan maupun kedalaman hingga Keraton gaib Alas Ketonggo jadi contoh lokasi yang disinggahi petualangan Jailangkung 2. Cenderung nampak seperti ajang unjuk gigi bujet besar ketimbang parade kengerian, untungnya variasi lokasi serta cukup baiknya kualitas CGI menjadikan film ini tidak semelelahkan mayoritas horor lokal buruk yang hanya bertahan di lokasi tunggal nan monoton. Petualangan berskala besar ini sayangnya berakhir ala kadarnya, sewaktu jimat Kurungsukmo yang telah tersembunyi selama puluhan tahun dalam reruntuhan kapal di dasar laut jauh lebih mudah ditemukan ketimbang remote televisi yang hilang.

Setelah berpetualang sedemikian jauh bersama karakternya, tentu saya mengharapkan puncak yang sepadan, bukannya konfrontasi canggung yang bak dikemas tanpa perencanaan, tanpa koreografi matang, tanpa totalitas. Beberapa horor terakhir karya duo sutradaranya, Jose Purnomo (Alas Pati, Ruqyah: The Exorcism, Gasing Tengkorak) dan Rizal Mantovani (Kuntilanak, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati) memang buruk, tapi setidaknya ada energi. Jump scare-nya memiliki tenaga meski berhenti di taraf trik mengagetkan murahan. Jailangkung 2 bagai anak kurang gizi yang dipaksa berlari. Begitu pula jajaran pemainnya. Menyaksikan Amanda Rawles-Jefir Nichol bersama di layar lebar tak pernah sedatar dan semembosankan ini. 

GERBANG NERAKA (2017)

Saya selalu mendukung keberanian sineas Indonesia mengeksplorasi genre yang jarang dijamah asal menggarapnya secara sungguh-sungguh dan hasilnya layak tonton. Kekurangan khususnya terkait teknologi tentu wajar mengingat kita masih merangkak. Justru karena itu dukungan perlu diberikan alih-alih bersikap apatis, menyatakan "tidak perlu coba-coba, kita belum setingkat Hollywood". Inferiority complex demikian adalah penghalang besar kemajuan industri perfilman, yang lucunya, sempat dibahas sekilas dalam Gerbang Neraka (sebelumnya berjudul Firegate), salah satu inovasi film tanah air paling sukses.

Robert Ronny selaku penulis naskah sekaligus produser memanfaatkan misteri situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat untuk mengembangkan jalinan petualangan dengan kesadaran penuh bahwa mengingat kulturnya, sains dan klenik bakal tetap beriringan eksistensinya. Maka masing-masing pihak punya perwakilan di sini. Arni Kumalasari (Julie Estelle) termasuk satu dari tim arkeolog yang ditugaskan Presiden meneliti situs Gunung Padang. Guntur Samudra (Dwi Sasono) adalah paranormal yang terkenal berkat acara televisi. Sementara Tomo Gunadi (Reza Rahadian) berada di tengah, mantan wartawan kritis yang sekarang bekerja di tabloid mistis namun enggan mempercayai liputannya. 
Awalnya, mereka bertiga saling berseberangan, sebelum rentetan kematian tidak wajar menghampiri Gunung Padang, memaksa ketiganya menyatukan ilmu masing-masing. Upaya Robert membaurkan dua sisi bertolak belakang memang kurang mulus saat seiring waktu, presentasi scientific mulai keteteran, menyederhanakan unsur misteri yang berkaitan erat dengan sejarah. Untungnya Gerbang Neraka enggan memaksakan tampil sok pintar, dan ancaman utamanya memang berasal dari sisi mistis, sehingga keputusan memberi bobot lebih ke sana merupakan kewajaran. 

Pun mudah merasakan kesungguhan bahkan mungkin kecintaan besar Robert terhadap kisah petualangan berbau arkeologi. Terpancar jelas ketika serupa karakternya, Robert menggabungkan sekumpulan materi sejarah nyata dengan fiksi imajinatif, menghadirkan proses cocok-mencocokkan yang meski kadang dilakukan seadanya, memberi modal penelusuran menarik bagi penonton, juga menghasilkan pembicaraan yang jauh dari kesan monoton. Serahkan pada Reza Rahadian untuk membuat tiap kalimat punya magnet, serta "menjual" momen sesederhana apapun berkat karisma luar biasa. Dwi Sasono lagi-lagi bisa menyeimbangkan ketenangan tutur dengan sisipan humor, meski sayangnya masih banyak penonton terpancing tawa di waktu yang keliru. 
Memasuki paruh kedua, jalinan alur agak melemah, terjebak dalam pola repetitif: penampakan berujung kematian tokoh di malam hari-penemuan mayat di pagi hari-terjadi kehebohan. Di pertengahan durasi naskahnya bagai kehabisan ide eksplorasi walau tensi tak sampai menghilang ketika Rizal Mantovani mampu merangkai beberapa jump scare penggedor jantung. Ditambah lagi desain sosok Badurakh yang jauh meninggalkan kualitas tampilan hantu horor kebanyakan yang biasanya mengandalkan riasan pucat atau lensa kontak semata. Badurakh merupakan iblis yang layak ditakuti, dan Rizal Mantovani pun menciptakan karya terbaiknya selama beberapa tahun terakhir.

Third act-nya gagal mencapai titik klimaks tertinggi tatkala ancaman justru menurun akibat rintangan ala kadarnya dalam piramid, pun beberapa jalinan janggal antar adegan. Obrolan Reza Rahadian dan Lukman Sardi sejatinya diisi konten yang berpotensi memprovokasi, tapi bagai kurang berani menyentuh tingkatan lebih tinggi. Di sinilah tata artistik penyusun set interior piramid memikat dan CGI meyakinkan buatan OrangeRoomCs (Demona, Jagoan Instan) menyelamatkan Gerbang Neraka. Mungkin salah satu pemanfaatan CGI paling efektif di film Indonesia sejauh ini, satu lagi alasan penting mengapa Gerbang Neraka perlu ditonton. 

SURAT KECIL UNTUK TUHAN (2017)

Berbeda dengan Surat Kecil untuk Tuhan (2011), karya Fajar Bustomi (From London to Bali, Jagoan Instan, Modus) ini tak mengadaptasi cerita novel Agnes Davonar kecuali saat Angel kecil (Izzati Khanza) menulis surat untuk Tuhan. Persamaan lain tentu terkait tujuan mengucurkan air mata penonton sederas plus sesering mungkin. Begitu keras usahanya, sampai paruh pertama tak ubahnya penyatuan keping-keping momen penderitaan ketimbang alur kohesif. Naskah tulisan Upi selalu mencari cara menyusupkan kesedihan dalam hidup Angel dan kakaknya, Anton (Bima Azriel), yang setelah kabur dari siksaan paman mereka, terpaksa mengemis di jalan di bawah komando Oom Rudi (Lukman Sardi).

Oom Rudi yang mengumpulkan anak-anak sebagai pengemis dengan kedok penampungan tak ragu bertindak keras  memukul dengan kayu, membenamkan kepala dalam air, menempelkan setrika panas  pada mereka bila gagal mengumpulkan uang sesuai target. Tapi di tangan Fajar Bustomi, kegiatan macam dua anak bermain ayunan bersama pun jadi situasi dramatis, lengkap dengan gerak lambat, juga lagu anak-anak versi megah buatan Andhika Triyadi. Hanya ada satu emosi berusaha dicuatkan: sedih. Hanya ada satu kondisi: penderitaan. Menjadikannya sekedar tearjerker, bukan observasi mendalam terhadap kehidupan anak jalanan. 
Kemudian terjadi peristiwa yang memisahkan Angel dan Anton. Beberapa tahun berselang, Angel (Bunga Citra Lestari) hidup mapan di Australia bersama orang tua asuh, bekerja sebagai pengacara pembela korban kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Menjelang pernikahan dengan seorang dokter bernama Martin (Joe Taslim), timbul keinginan pada Angel kembali ke Indonesia guna mencari Anton. Mulai titik ini alur mulai menyusup masuk. Setidaknya ada proses investigasi pemancing rasa ingin tahu mengenai keberadaan Anton dan rahasia milik Oom Rudi, meski kelemahan narasi tetap bertebaran, seperti pengundang tanya tentang keabsahan fakta hukum kala polisi membebaskan buronan akibat kurang bukti. Pun adanya kemiripan dengan Lion berupa kisah anak jalanan yang terpisah dengan keluarga diikuti proses mencari, lokasi di Australia, sampai kemiripan fisik Bima Azriel dan Sunny Pawar.
Sinematografi Yud Datau membungkus Lokasi outdoor kala malam dengan warna-warni lampu jalanan dan gemerlap neon yang memanjakan mata, namun beberapa coloring memancing nuansa tidak natural ditambah lens flare yang sesekali menyinari. Hendak memudahkan penonton menangkap emosi cast-nya, close-up acap diterapkan, bahkan di sebuah kesempatan, Angel bicara ke arah kamera seolah tengah menatap penonton tajam. Kepiawaian Bunga Citra Lestari menuangkan rasa termasuk "bicara" melalui sorot mata mendukung pilihan teknis di atas. Tapi Joe Taslim tidak, di mana ketidaktepatan ekspresi kerap melemahkan momentum. Sementara rambut gondrong dan jenggot tebal memudahkan Lukman Sardi menghidupkan seorang pria keji. 

Surat Kecil untuk Tuhan bisa lebih dari tearjerker biasa. Walau bukan observasi solid seputar human trafficking, film ini dapat menjadi luapan amarah terhadap para pelaku, menghukum mereka melalui cerita fiksi. Semua diawali shocking revelation pengguncang rasa sekaligus pemberi dosa departemen marketing yang mengarah pangsa pasar anak kala terdapat momen disturbing traumatik. Tapi ini cerita lain. Momen itu mengarah ke courtroom drama yang patut disayangkan, bukan jadi puncak emosi atau resolusi. Setelah rentetan dramatisasi, merupakan kerugian ketika Fajar mengeksekusi sidang dengan intensitas tanggung. Naskahnya justru memilih konklusi berbentuk twist yang memaksa kaitan beberapa peristiwa. Keputusan tidak perlu yang menghalangi filmnya naik kelas, tertahan di status penguras air mata ketimbang curahan hati serta harapan positif atas suatu isu.

JAILANGKUNG (2017)

Salah besar menganggap horor tak memerlukan naskah mumpuni. Meski bukan mengedepankan alur kompleks, dialog cerdas, atau penokohan solid naskah horor berguna menyediakan layout, khususnya apabila penulis dan sutradara tidak dipegang satu orang. Deskripsi bagaimana sebuah kengerian muncul amat membantu pengadeganan sutradara. Dan satu poin yang kerap tertinggal (baik sengaja maupun tidak) adalah "rule" alias aturan. Poin ini penting apalagi bagi horor mistis dengan mitologi mengenai hantu, apa pemancing kehadirannya, kemampuan, sampai cara mengusir. Aturan ini merupakan logika tersendiri yang wajib dipegang dalam film horor kala ketiadaan common sense bersifat lumrah.

Jailangkung jelas berambisi mengulang fenomena Jelangkung 16 tahun lalu. Duet Rizal Mantovani dan Jose Purnomo kembali di kursi sutradara, sedangkan naskah dipegang Baskoro Adi Wuryanto (Bulan Terbelah di Langit Amerika 2, Sawadikap, Ghost Diary) menggantikan Adi Nugroho (Kuldesak, Ruang, Strawberry Surprise). Kisahnya memakai template umum, tentang perjalanan tiga kakak beradik, Bella (Amanda Rawles), Angel (Hannah Al Rashid), dan Tasya (Gabriella Quinlyn) menuju pulau Alas Keramat, tempat di mana sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) berada terakhir kali sebelum koma. Dibantu Rama (Jefri Nichol) si pemuda ahli ilmu kejawen, mereka menemukan rahasia mengerikan yang bertahun-tahun disimpan Ferdi.
Walau adegan pembukanya tak lebih dari eksposisi buru-buru, awal Jailangkung cukup menjanjikan berkat penanaman misteri terkait mitos Jawa. Mitologi klenik daerah kita memang berpotensi dieksplorasi karena memberi bekal misteri untuk ditelusuri. Walau teori seputar jiwa dan raga menurut kepercayaan Jawa yang dipresentasikan Rama nyata didasari riset seadanya, rasa ingin tahu masih mampu disulut. Ritual apa yang Ferdi lakukan? Siapa sosok Mati Anak yang mengganggunya? Ada modal kuat guna menggulirkan alur menarik. Ditambah lagi, Jailangkung enggan mengumbar penampakan sebanyak dan sedini mungkin. Sampai akhirnya, semakin jauh perjalanan, semakin buruk filmnya.

Penyebabnya naskah buatan Baskoro gemar menyalahi logika umum hingga rule khusus sebagaimana tersebut tadi. Kakak gila mana yang membawa adik kecilnya ke pulau terpencil kemudian meninggalkannya sendiri di kamar sebuah rumah kosong menyeramkan? Remaja gila mana pula yang bisa duduk santai tersenyum menonton rekaman pernikahan orang tua mereka di sana pada tengah malam? Lalu apa tujuan Ferdi merekam aktivitasnya selain sebagai cara filmnya mengakali flashback? Banyak juga sudut peletakan kamera terlampau sinematik untuk footage amatir. Tapi dosa lebih besar adalah ketika Baskoro mengesampingkan aturan buatannya sendiri mengenai hantu dan jailangkung, contohnya ketika dampak gangguan hantu untuk seorang tokoh berbeda dari tokoh lain (what's the deal with Angel's absurd hallucination?). Hantu memang tak butuh aturan main, tapi untuk apa membangun mitologi kalau berujung seenaknya sendiri? Saat penulisnya menolak peduli, bagaimana penonton mau mempedulikan filmnya?
Buruknya naskah tidak membantu Rizal Mantovani dan Jose Purnomo yang sama-sama dikenal akan kemampuan menangkap gambar indah namun kurang pandai bercerita. Didukung biaya 10 miliar rupiah, Jailangkung serupa produksi Screenplay Films lain, terlihat mahal, enak dilihat, tapi nihil substansi, seperti ditunjukkan tata artistik setting rumah tempat ritual dengan beragam ornamen aneh. Sinematografi Jose Purnomo pun menyajikan kemegahan dramatis (shot pemakaman dari atas misalnya) yang urung mendukung tingkat kengerian. Setelah irit di awal, begitu jump scare mulai menerjang, kita dihadapkan pada rutinits biasa berupa kejutan berisik asal masuk. Kombinasi lemahnya naskah dan penyutradaraan berpuncak di third act. Berniat membangun nuansa chaotic, kekacauan sesungguhnya justru tercipta. Saking kacaunya, bila anda ajukan pertanyaan memakai rumus 5W+1H tentang klimaksnya, jawaban bakal sulit didapat.

Eksekusi teror mencapai paruh akhir tak hanya meniadakan kengerian, bahkan memunculkan geli. Saya bersama mayoritas penonton lain tertawa menyaksikan Lukman Sardi menggendong hantu di depan cermin. Bukan seluruhnya salah sutradara, karena Lukman sendiri (bukan di adegan ini saja) bagai berakting di film horor-komedi lewat ekspresi dibuat-buat. Jarang melihat Lukman Sardi sebagai salah satu aspek terlemah film. It's unusual to see Lukman Sardi became one of a movie's weakest aspect, but there you go. Penampilan Lukman diikuti Jefri Nichol yang pasca penuh karisma di Dear Nathan, kini salah mengartikan "quirky, introvert guy" dengan wooden acting. Karakter Rama si ahli ilmu mistis tidak berguna, malah beberapa kali jadi penyebab peristiwa buruk. Beruntung ada Hannah Al Rashid yang seorang diri menciptakan momen paling mencekam berkat ekspresi believable. Kita bisa merasa pun percaya atas rasa takut serta penderitaannya. She's that good, but the rest is just a big waste of money and many potentials.

SWEET 20 (2017)

Lebaran bukan melulu soal agama, juga momen berharga di mana bagi sebagian orang jadi kesempatan langka bertemu keluarga besar. Mereka bercengkerama, bertukar cerita, tertawa bahagia. Lebaran adalah liburan. Liburan yang (semestinya) hangat dan menyenangkan. Sehingga "film lebaran" menjadi sempurna apabila mampu menimbulkan rasa-rasa tersebut sekaligus bisa ditonton bersama orang-orang tercinta. Sambutlah Sweet 20, satu dari lima remake (ada tiga lagi sedang dipersiapkan) drama-komedi asal Korea Selatan, Miss Granny, yang niscaya bakal melambungkan Tatjana Saphira ke jajaran lead actress papan atas.

Adaptasi naskah oleh Upi tak sekedar melakukan alih bahasa, juga budaya termasuk menempatkan adat sungkeman keluarga kala lebaran yang dilakukan tokoh Fatmawati (Niniek L. Karim) beserta anak tunggal kesayangannya yang kini sukses menjadi dosen, Aditya (Lukman Sardi), Salma (Cut Mini) si menantu yang gemar ia kritisi, juga kedua cucunya, Juna (Kevin Julio) dan Luna (Alexa Key). Kecerewetan Fatmawati rupanya acap menghadirkan kesulitan, yang akhirnya menyulut wacana memasukkan sang nenek ke panti jompo.
First act mengenai ujian terhadap ikatan kasih keluarga kemudian berpindah menyinggung ranah fantasi (genre yang sulit dieksekusi baik dalam perfilman kita) pada second act ketika Fatmawati yang terpukul mendengar niat anak-cucunya tadi menemukan studio foto milik seorang pria tua (Henky Solaiman). Harapan mendapat foto cantik untuk pemakaman malah memberi keajaiban. Fatmawati kembali bak gadis berusia 20 tahun (diperankan Tatjana Saphira). Mengadopsi nama aktris favoritnya (Mieke Wijaya), Fatmawati berharap menggapai mimpi masa mudanya yang dahulu urung tercapai akibat jerat kemiskinan.

Jujur saja, sebelum ini saya cenderung meragukan kapasitas Tatjana akibat ekspresi maupun luapan emosi tanggung dalam berakting. Peran sebagai Fatmawati/Mieke membawanya naik kelas, dari aktris muda berparas ayu menuju pemeran utama kompeten. Aksinya penuh semangat, jago menangani momen komedik entah melalui raut wajah menggelitik sampai gaya bicara bagai wanita tua sembari tetap solid melakoni porsi dramatik. Tatjana tidak terjebak untuk berlebihan tampil konyol supaya nampak lucu. Sebaliknya, kelincahan berenergi miliknya menguatkan penokohan selaku tingkah wajar Fatmawati kala mendapat lagi gelora dan tenaga yang telah lama hilang. Fatmawati is excited to chase her old dream and we can easily feel that excitement.
Bukan sang aktris saja, sutradara Ody C. Harahap (Me vs. Mami, Kapan Kawin?, Skakmat) dan Upi sebagai penulis naskah pun saling melengkapi, berujung pencapaian terbaik sepanjang karir masing-masing. Ramuan komedi Upi sempurna divisualisasikan oleh Ody melalui pendekatan “makin kacau makin baik” semisal saat Hamzah (Slamet Rahardjo), si kakek yang terpikat pada Fatmawati berteriak ketakutan setengah mati menaiki wahana Dunia Fantasi, hingga gemasnya Hamzah bersama Mieke menonton sinetron di televisi. Demikian pula paparan drama. Upi konsisten memberi latar (kenangan, kasih sayang keluarga, persahabatan tak terucapkan) dalam tiap kesedihan atau haru, bukan dramatisasi asal guna memaksa mengucurkan air mata penonton.

Di sinilah Ody melakukan hal yang sutradara kelas satu pun belum tentu sanggup: memuluskan perpindahan tone. Lompatannya tak tergesa-gesa berkat keberadaan transisi memadahi, pandai juga ia mengatur dinamika melalui kecermatan menaikturunkan intensitas rasa. Sang sutradara paham kapan pembangunan emosi dilakukan, kapan hook dilemparkan, kapan mesti menetap di satu momen, kapan waktunya berpindah ke momen lain. Alhasil baik tawa atau tangis tersaji total, urung terkikis kekuatannya.
Kembali ke naskah, Upi berhasil memaksimalkan karakter pendukung yang tidak sedikit. Secara natural semua diberi porsi mencuri perhatian berkat penempatan tepat di mana seorang tokoh mendapat fokus karena memang sudah tiba waktunya hadir mengisi sentral. Kelebihan ini mendukung fakta Sweet 20 diisi ensemble cast yang bermain apik. Slamet Rahardjo terlihat bersenang-senang menjadi kakek centil sambil mempertahankan bobot akting, Widyawati Sophiaan yang “menggila” dan tidak kalah centil, Lukman Sardi yang menyentuh hati dalam klimaks emosi film, sampai sejumlah memorable cameo sebutlah Joe P Project dan Karina Nadila. Bakal terlampau panjang membahas kualitas para penampil sebab nama-nama seperti Cut Mini, Morgan Oey, Kevin Julio, hingga Tika Panggabean tak kalah memikat.

Sisi artistik Sweet 20 juga ikut melengkapi, memuaskan mata dan telinga melalui nuansa retro yang cakap ditunjukkan lewat kostum serta tata rias yang dikenakan Tatjana, pemilihan warna-warni indoor setting, juga penggunaan lagu-lagu klasik macam Payung Fantasi dan Bing. Memikat luar-dalam di segala aspek, Sweet 20 akan mengobrak-abrik tembok perasaan anda, jadi apabila sepanjang liburan lebaran hanya satu film sempat ditonton, pastikan pilihan jatuh pada film ini. The best Indonesian movie of the year by far