REVIEW - KAMU TIDAK SENDIRI
Lahir dari cerita gagasan Lukman Sardi, kemudian ditulis naskahnya oleh Titien Wattimena, Kamu Tidak Sendiri memiliki bentuk menarik. Berlatar di tengah gempa dahsyat, ini bukan tentang hancurnya seisi kota akibat bencana, tapi bagaimana bencana itu berdampak pada segelintir individu.
Ada dua tokoh sentral, yakni Mira (Adinia Wirasti), bos yang dikenal galak oleh anak buahnya, dan Adrian (Rio Dewanto), mantan anggota SAR yang kini menjadi sekuriti gedung kantor Mira. Suatu malam setelah lembur, Mira berada satu lift dengan Mika (Ganindra Bimo), yang sudah lama menjadi pengagum rahasianya. Mendadak lift tersebut macet, mengurung Mira bersama pria yang baru dikenalnya.
Saya mempertanyakan fungsi Mika di narasinya. Jika diniati sebagai pemicu kesediaan Mira membuka diri pada orang lain (selama ini dia menutup diri, baik dari keluarga maupun rekan kerja), rasanya kurang sesuai. Pertama, karena tutur kata Mika memberi kesan creepy, yang ada di garis batas antara pengagum dan penguntit. Kedua, peran itu sudah diemban Adrian, begitu ia berkomunikasi dengan Mira melalui interkom.
Dimulainya interaksi Mira-Adrian turut mengawali titik balik Kamu Tidak Sendiri, dari thriller satu lokasi biasa, menjadi tuturan yang berorientasi psikis. Saya yakin, banyak penonton juga mengira Adrian bakal melakoni peran ala jagoan dalam film bencana, yang dengan heroik muncul selaku penyelamat. Rupanya tidak. Kita justru hampir tidak pernah melihat wajah Adrian, dan lebih banyak mendengar suaranya.
Inilah daya tarik terbesar filmnya. Bukan sebuah upaya bertahan hidup sarat aksi, melainkan soal kekuatan kata-kata dalam interaksi manusia. Adrian memberi pertolongan pertama, yang bukan (hanya) menyasar fisik, pula psikis. Naskahnya secara bertahap membangun hubungan kedua tokoh, menjadikan ikatan keduanya terasa masuk akal, ketika pelan-pelan mereka (khususnya Mira) mulai membuka diri.
Obrolan Mira dan Adrian pun tersaji menghibur berkat sentuhan humor. Ketika banyak thriller kita justru melelahkan akibat menganggap dirinya terlampau serius, Kamu Tidak Sendiri tampil sebaliknya. Materi humornya memang cenderung hit-and-miss, namun kehadirannya tidak dipaksakan, bukan sebatas "ayo melucu" demi pemanis, tapi substansial membangun dinamika karakternya.
Arwin T Wardhana selaku sutradara, dibantu Yadi Sugandi sebagai penata kamera, banyak memakai close-up, yang selain langkah cerdik menutupi sebuah twist, juga bentuk kepercayaan terhadap talenta Adinia Wirasti. Seperti biasa, penampilannya kuat. Adinia tahu kapan harus meredam diri, kapan waktunya meledakkan emosi. Dialah pondasi yang menjaga film ini berdiri kokoh, biarpun acap kali Arwin bak terbuai akan performa sang aktris, sehingga terlalu lama menghabiskan waktu di satu titik (terutama tiap Adinia bercucuran air mata). Pacing penuturannya pun jadi terganggu.
Kamu Tidak Sendiri juga masih belum lepas dari masalah film berlokasi tunggal, yakni kurangnya variasi peristiwa. Ada kalanya timbul kesan monoton, apalagi saat momen-momen halusinasi tampil lebih banyak dari seharusnya, termasuk "pertemuan khayal" antara Mira dan Adrian, yang daripada menyentuh, malah berakhir cheesy.
(JAFF 2021)
REVIEW - PENYALIN CAHAYA
"Kita cuma punya cerita". Teriris hati saya mendengar kalimat tersebut, yang muncul di paruh akhir Penyalin Cahaya. Berkedok praduga tak bersalah, masyarakat kita masih demikian sulit memercayai cerita korban pelecehan seksual. Benar bahwa cerita dapat dipalsukan, namun bukankah bukti pun sama, baik keberadaan maupun ketiadaannya? Mengapa sesulit itu memegang prinsip "percaya korban lebih dulu"? Minimal dengan tidak menghakiminya, menuduhnya berbohong, bahkan menyudutkannya lewat pernyataan, "Salah siapa perilakumu/pakaianmu begitu!".
Sur (Shenina Cinnamon) mengalami hal-hal di atas. Pasca sebuah pesta perayaan kemenangan kelompok teater tempatnya menjadi pembuat situs web, hidup Sur runtuh dalam semalam. Swafoto yang ia ambil saat mabuk dianggap perbuatan tak bermoral sehingga beasiswanya dicabut. Dia pun diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di tempat Amin (Chicco Kurniawan), sahabat sekaligus tukang fotokopi di kampusnya.
"Moralmu buruk". "Harusnya kamu tidak mabuk". "Jangan sampai masalah ini diketahui pihak luar. Reputasi kampus dan teater bisa terancam". "Mari selesaikan masalah ini secara kekeluargaan". Deretan kalimat andalan para enabler pelecehan seksual negeri kita tercinta ini secara bergantian membombardir telinga si protagonis. Sur yakin ia dijebak, tapi hampir semua pihak menolak percaya terhadap ceritanya. Cuma Amin dan Anggun (Dea Panendra) si sutradara teater yang bersedia mengulurkan bantuan.
Di sekuen pembuka, kelompok teater Sur mementaskan cerita Medusa, yang sosoknya identik dengan kebengisan. Tapi jika menilik detail mitologinya, Medusa merupakan korban pemerkosaan Poseidon, yang lalu diantagonisasi, dicap sebagai pendosa. Sur, dan para korban pelecehan lain terutama wanita, tak ubahnya Medusa.
Wujud kreativitas eksplorasi naskah buatan sang sutradara, Wregas Bhanuteja, dan Henricus Pria, terlihat kala Sur menyelidiki kebenaran peristiwa malam itu. Investigasi Sur menggiring Penyalin Cahaya bergerak ke ranah misteri, di mana penonton dibuat bertanya "siapa" dan "apa". Kecurigaan mengarah ke Tariq (Jerome Kurnia) yang digambarkan sebagai "si brengsek dalam tim". Tapi benarkah? Atau justru ada musuh dalam selimut?
Muncul banyak kejutan sepanjang 129 menit durasinya, namun bukan bersifat gimmick belaka. Utamanya, kejutan-kejutan itu memfasilitasi tuturan tentang topeng yang manusia kenakan guna mengikuti tuntutan-tuntutan sosial, juga perihal privilege. Mengingat mayoritas pelaku pelecehan seksual adalah pria, dan bagaimana kultur negeri ini cenderung menguntungkan pria apalagi jika memiliki harta serta kuasa, poin terkait privilege tadi menekankan kenapa memercayai cerita korban itu penting.
Tapi Penyalin Cahaya tidak menutup mata bahwa pria bisa jadi korban. Persoalan itu turut disinggung, bersama setumpuk isu lain yang tetap terhubung pada kasus pelecehan seksual, dari kesehatan mental hingga kesenjangan kelas serta ekonomi. Jadilah film ini suguhan kaya, ramai, rapi juga padat. Sangat rapi, anda bakal lupa bahwa sutradara dan penulis naskahnya baru menjalani debut film panjang mereka.
Satu unsur penceritaan yang paling membekas, tajam, sekaligus berani adalah mengenai seni. Seni kerap jadi kedok para pelaku. "Semua atas nama seni", begitu kiranya kata-kata seniman untuk menutupi kebiadaban mereka. Seni yang mestinya jadi sarana menghidupkan jiwa, malah sering mematikan jiwa. Kebebasan berekspresi disalahartikan. Berani, karena tak semua sineas bersedia menyentil ekosistem mereka sendiri. Saya menaruh hormat pada segenap tim Penyalin Cahaya atas keberanian tersebut.
Dibarengi tata artistik mumpuni, khususnya konsistensi luar biasa dalam dominasi warna hijau di berbagai departemen (properti, kostum, cahaya), Wregas membawa sinema alternatif ke titik maksimal, sebagai medium di mana presentasi rasa dipercantik, bukan dilebih-lebihkan atau ditahan. Jijik, sedih, dan marah, adalah emosi-emosi yang menguasai. Jijik melihat korban dipersalahkan, sedih melihatnya merana, marah mendapati korban disudutkan seisi dunia.
Kekuatan emosi Penyalin Cahaya tentu tidak terlepas dari jajaran pemain, yang merupakan salah satu ensemble cast film Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Ruth Marini sebagai ibu Sur bakal menguras air mata anda di adegan "sepeda motor", Lukman Sardi sebagai ayah Sur menyulut amarah kita melalui letupan-letupannya, Jerome Kurnia yang menyuguhkan kompleksitas, Dea Panendra dengan perangai "peduli setan" miliknya, Giulio Parengkuan yang sempat membuat saya membeku di salah satu momen, Chicco Kurniawan yang bukan lagi si pemuda lembut nan canggung sebagaimana kerap ia perankan, sampai Lutesha sebagai Farah dengan sisi misteriusnya.
Memimpin ensemble cast di atas adalah Shenina. Teriakannya, tangisnya, keterkejutan serta kebingungan yang berkembang jadi keputusasaan, segala hal darinya mencabik-cabik perasaan. Wregas tahu betul kehebatan sang aktris, sehingga beberapa kali close-up diterapkan. Tubuh saya bergetar kala Shenina menatap lurus ke arah kamera.
Lalu tibalah babak konklusi. Tidak seperti para pelaku power abuse di film ini, Wregas memanfaatkan kuasanya sebagai seniman. Figur "pencipta" yang bisa melahirkan dunia versinya. Apabila dunia nyata belum juga memihak korban, maka "dunia Wregas" memberi mereka ruang bersuara, memberi mereka kekuatan, memberi mereka sebersit cahaya untuk disalin, dibagikan, kemudian dipancarkan sebagai wujud harapan.
(JAFF 2021)
REVIEW - PARANOIA
Saya menghabiskan 20 menit menatap layar kosong, bingung harus mulai menulis dari mana. Ada perasaan tidak percaya, bahwa kolaborasi trio Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto, yang pernah melahirkan Petualangan Sherina (1999) serta Ada Apa dengan Cinta? (2001), pula keberadaan Nirina Zubir, Lukman Sardi, dan Nicholas Saputra di depan kamera, berujung film seburuk Paranoia. Seburuk-buruknya thriller adalah saat ketegangan digantikan oleh tawa akibat kekonyolan.
Alurnya mengisahkan tentang Dina (Nirina Zubir), yang setelah berkali-kali pindah guna menghindari kejaran sang suami, Gion (Lukman Sardi), kini akhirnya menetap di Bali bersama puterinya, Laura (Caitlin North-Lewis). Dina kabur akibat tidak tahan lagi dengan perilaku abusive Gion. Biarpun sudah berpisah, pun Gion sekarang tengah mendekam di penjara, Dina tak pernah bisa lepas dari kecemasan. Apalagi ia membawa barang yang amat berharga bagi Gion.
Pasca Gion dibebaskan karena pandemi, kecemasan itu datang lagi. Dina percaya, di mana pun ia bersembunyi, Gion dapat menemukannya. Alhasil, saat muncul pria tak dikenal bernama Raka (Nicholas Saputra), kepalanya dipenuhi pertanyaan. Apakah Raka cuma kebetulan berada di dekatnya, ataukah ia orang suruhan Gion?
Ada begitu banyak potensi penceritaan, sebutlah perihal kecurigaan Dina kepada Raka, trauma KDRT yang tak pernah benar-benar lenyap, hingga paralel antara ketakutan protagonis dan ketakutan massa semasa wabah COVID-19 (poin terakhir mungkin memang bukan tujuan filmnya). Semua cocok sebagai pondasi thriller psikologis. Tinggal mana yang mau dijadikan sorotan utama oleh Riri, Mira, dan Jujur selaku penulis naskahnya.
Tapi di antara semua potensi itu, tak satu pun mampu diolah dengan baik. Presentasi sikap paranoid Dina bak pemenuhan kewajiban semata. Bukan bentuk pendalaman cerita, bukan pula elemen penambah ketegangan. Tidak berlebihan menyebut Paranoia sebagai "thriller nihil ketegangan".
Rangkaian peristiwanya cuma numpang lewat. Misal ketika Dina menaruh kecurigaan pada Raka. Diungkapkannya itu ke Laura (karena sang puteri terus mengunjungi Raka), kemudian ia lakukan pencarian via Google, lalu selesai. Penonton tidak dibuat ikut menduga-duga, misalnya lewat tindak-tanduk misterius Raka. Filmnya ingin membuat penonton memedulikan Dina dan Laura, tetapi saya malah berharap ada hal buruk menimpa keduanya, agar minimal terjadi sesuatu yang signifikan.
Daripada invenstigasi, Paranoia lebih tertarik mengeksploitasi obsesi publik terhadap Nicholas Saputra. Betapa menawan dia, sampai bisa memikat hati ibu dan anak (Laura "mengklarifikasi" bahwa ia melihat figur ayah dalam sosok Raka, tapi saya yakin bukan kesan itu yang penonton dapat). Jumlah adegan flirting lebih banyak dari ketegangannya, hingga di titik terasa bagai fan fiction murahan.
Implementasi era pandemi, khususnya terkait penggambaran karakternya memakai masker juga menggelikan (kerap tampak seperti iklan layanan masyarakat), namun bagian terkonyol tentu klimaksnya. Aksi perkelahian yang harusnya jadi puncak intensitas malah tersaji luar biasa canggung. Pengarahan, pilihan shot, penyuntingan, semua canggung.
Kemudian konklusinya.....astaga. Baik naskah maupun penyutradaraan sama-sama bertanggung jawab di sini. Bagaimana mungkin konklusi seburuk ini, sekonyol ini, sebodoh ini, dicetuskan oleh sosok-sosok sehebat Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto? Bagaimana mungkin setelah gambar diambil, mereka melihatnya, lalu berkata, "Ya, ini bagus"? Andai Paranoia dibuat oleh Nayato atau Baginda KKD, saya bakal maklum.
Akibat keterbatasan? Rasanya tidak, dan itu bukan alasan masuk akal, mengingat para pembuatnya pernah membidani Kuldesak (1997), yang dibuat diam-diam dengan segala keterbatasan di bawah represi rezim. Entahlah. Sungguh menyedihkan.
Setidaknya departemen akting memberi hasil positif. Nirina amat kuat, berkat totalitas melakoni momen-momen penguras emosi, sementara Lukman Sardi meyakinkan sebagai suami menjijikkan sekaligus kriminal intimidatif. Caitlin North-Lewis pun menampakkan potensi menjanjikan, selama di masa depan nanti, pilihan film dan perannya tepat. Nicholas Saputra? Tidak buruk, hanya saja, sang aktor tak diberi materi memadai, dan seolah cuma ada untuk memancing teriakan histeris penggemarnya. Saya juga berteriak. Teriakan saat meratapi kualitas Paranoia.