FANTASY ISLAND (2020)
Rasyidharry
Februari 13, 2020
Austin Stowell
,
Chris Roach
,
horror
,
Jeff Wadlow
,
Jillian Jacobs
,
Jimmy O. Yang
,
Kurang
,
Lucy Hale
,
Maggie Q
,
Michael Pena
,
Michael Rooker
,
REVIEW
,
Ryan Hansen
14 komentar
Dari sutradara dan tim penulis naskah penghasil horor PG-13
tanpa darah dan taji Truth or Dare (2018),
hadir satu lagi horor PG-13 tanpa darah dan taji berjudul Fantasy Island. Berbeda dengan Truth
or Dare, ini bukan karya original, melainkan berbasis serial telvisi
berjudul sama yang tayang tahun 1977-1984. Tapi seperti Truth or Dare, kekonyolan menggelikan banyak ditemui. Memang ada
kesengajaan menyelipkan humor sungguhan di beberapa titik, tapi sekali lagi,
pengarahan sekaligus penulisan Jeff Wadlow kerap menghadirkan tawa-tawa tak
disengaja.
Berstatus reimagining,
sebagian dari Fantasy Island juga
dapat dilihat selaku prekuel, mengacu pada penjelasan asal usul salah satu
karakter regularnya. Masih bercerita mengenai pulau di mana para tamu dapat
mewujudkan fantasi masing-masing, dan harus menjalaninya hingga mencapai
“konklusi natural”. Artinya, walau fantasi itu ternyata tak seindah perkiraan
atau bahkan berbahaya, semua harus terus berlanjut.
Pengelola pulau tersebut adalah pria misterius dengan setelan
jas putih bernama Mr. Roarke yang diperankan Michael Peña, dan membuktikan
bahwa peran serius sangat tidak cocok untuknya. Kalau Roarke dari serial
televisi bak figur supranatural yang bahkan pernah berhadapan dengan iblis
(beberapa percaya ia sejatinya Tuhan, sementara sang pemeran, Ricardo Montalbán,
berpikir Roarke adalah malaikat), film ini memanusiakan sosoknya, terlebih
setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Mr. Roarke menyambut lima tamu yang konon berkesempatan
mengunjungi pulau setelah menang undian. Dua bersaudara JD (Ryan Hansen) dan
Brax (Jimmy O. Yang) punya fantasi klise khas pria-pria penuh nafsu; Melanie
(Lucy Hale) ingin membalas dendam pada perundungnya semasa sekolah; Gwen
(Maggie Q) berharap bisa mengulang masa lalu; dan Patrick (Austin Stowell)
terobsesi pada hal-hal militer. Satu per satu fantasi kelimanya diwujudkan,
tapi ketidakberesan sudah tercium sejak beberapa penampakan sosok pria berwajah
penuh luka bakar.
Serialnya sering memposisikan fantasi tamu selaku media bagi
mereka mempelajari nilai-nilai berharga, sehingga ungkapan “fantasimu tak
seindah kenyataan” jadi punya arti. Filmnya berusaha mengusung pesan serupa,
namun tertutupi oleh ambisi mengejutkan penonton sesering mungkin, ditambah
mitologi amburadul soal pulau beserta segala aturannya. Sekali lagi, horor
garapan Jeff Wadlow bermasalah pada “rules”.
Elemen supranatural dipakai supaya Wadlow bersama dua
penulisnya, Christopher Roach dan Jillian Jacobs, bisa berbuat sesuka hati tanpa
memedulikan apa pun. Saya tidak mempermasalahkan unsur lintas ruang dan
waktunya, yang justru menginjeksi lebih banyak kadar hiburan. Tapi bagaimana
dengan para zombie yang mengeluarkan cairan hitam dari mata? Apakah seluruh
individu dari fantasi karakternya berubah? Mengapa peluru tak kuasa menghabisi
zombie sementara cekikan bisa? Kenapa pula di akhir cerita, fantasi bisa
menjadi sebuah realita permanen?
Dan twist-nya.....ya
Tuhan, twist-nya! Inilah twist yang eksis hanya untuk mengejutkan
dengan cara mencurangi penonton, dan melahirkan kontradiksi bagi hal-hal yang
sebelumnya terjadi. Kontradiksi yang menciptakan lubang alur besar. Lubang yang
menyulitkan saya menahan tawa terhadap kebodohan Fantasy Island yang seolah tak berujung. Harus diakui beberapa
“tawa asli” datang dari segelintir humor, khususnya yang berbentuk kelakar dari
mulut karakternya. Di samping premis menarik sekaligus absurdnya, itulah aspek
lain yang sedikit meningkatkan kualitas hiburan Fantasy Island.
Wadlow acap kali membangun kecanggungan, yang saya percaya
justru bakal berdampak positif bila diterapkan di komedi sungguhan. Minimnya cipratan
darah sebagai horor PG-13 bukan masalah selama sutradara sanggup membangun
intensitas, yang mana jauh lebih sulit dan gagal dilaksanakan oleh Wadlow. Tapi
pesakitan bukan dia seorang. Departemen akting tak kalah menggelikan. Selain
Maggie Q yang mampu menghembuskan nyawa tiap kali muncul di layar, pemain lain menyuguhkan
akting one-dimentional, yang makin
diperparah oleh barisan kalimat cheesy.
Ada dua cara menanggapi film ini. Fantasy Island dapat dipandang sebagai: 1) Semata-mata suguhan
buruk, atau 2) guilty pleasure yang kebodohannya
bisa ditertawakan. Tapi apakah waktu dan uang kalian pantas dihabiskan hanya
untuk menertawakan keburukan seperti ini? Silahkan pikir ratusan kali.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:Saya tipe yang gak gtu mau langsung percaya review sih tapi..emang udah ragu dari trailer. pas baca ini jadi makin sayang duit. lebih worth it mangkujiwo dong ya bang? wkwkwk
Bwt yg blom nnton, saran gw mending gaush nnton film ini. Buang duit doang kwkwkw
Meskipun review nya kelihatan hancur banget tapi masih dpt score bintang 2... Mungkin standarisasi perbintangan bisa di tinjau ulang mas? 🤔
Nope. Udah dibahas kok ada segelintir yang positif.
"Tapi apakah waktu dan uang kalian pantas dihabiskan hanya untuk menertawakan keburukan seperti ini? Silahkan pikir ratusan kali."
Bintang 2 pun ga pantas ditonton? 🤔
Positifnya menurut Rasyid paling. Cowok2 topless di kolam renang sama anu nya Alejandro . Fix filmnya gaje sumpah. Premisnya sih bagus, eh plotnya gajelas
Kalo baca review sih saya baca deskripsi ulasannya aja sebagai gambaran. Kalo masalah bintang atau skor itu saya ga terlalu peduli. Karena menurut saya sistem bintang atau skor itu mau ga mau pasti jatohnya absurd dan abstrak karena penilaian film sejatinya ga bisa dikalkulasi dengan angka. Angka itu seringkali cuma pemanis aja karena orang2 suka membanding2kan film ini dapet angka berapa, film itu dapet angka berapa. Padahal setiap film itu ya beda2, bagus dengan caranya masing2, jelek juga dengan caranya masing2, ga bisa dibandingkan. Intinya cuma dua, recommended or not recommended. So, cukup baca deskripsi ulasannya sebagai gambaran filmnya seperti apa.
Bang Rasyid!
Bentar lagi kan blog ini mau 10 tahun, di Bulan Mei 2020.
Ada gathering or nonton bareng gitu ngga? haha
Saya silent reader akut, tapi always buka blog ini dari dulu jaman SMA.
Blog ini aja yang tertinggal dari banyak blog yang saya suka review-an nya.
Mulai Movienthusiast.com (udah gg ada), Nikenbicarafilm (still, but not often), Ulasanpilem.com (ilang tak berbekas), Vampibots (pindah ke IG cinemapoetica), dan terakhir Movfreak kesayangan ini.
Atau adain lomba apa gitu? hahaha
Salam dari Pengagum Tulisanmu ya Bang! :D
Cieee bang rasyid pny pens.
TAPI SAYA JUGA NGEPENS BGT NIH SM BLOG INI ampe cek terus bolak balik tiap hari.
Nah kurang lebih begitu. Kenapa tetep menyertakan rating ya memang pure faktor "komersil" 👍
Thank you buat supportnya bertahun-tahun ini ya. 🙏
Kalo soal lomba dll, semoga ya. Sempet ada niatan sih. Lagi mikirin metode terbaiknya 😁
Bener2 setuju sama ulasan ini 👍👍ga jelas tuh film bener2 Absurd👎👎
Kemarin iseng nonton tanpa ekspektasi apapun. Kalau menurut saya filmnya lumayan, masih layak tonton buat ngisi waktu pas #stayathome. Secara kualitas selevel lah dengan Truth or Dare atau Escape Room. Jenis2 film hiburan ringan yg sedikit menegangkan dan aman ditonton buat semua, karena nihil gore dan hanya sedikit unsur sensualitas (tidak ada yg eksplisit).
test
Posting Komentar