JUDY (2019)
Rasyidharry
Februari 09, 2020
Andy Nyman
,
Biography
,
Daniel Cerqueira
,
Finn Wittrock
,
Lumayan
,
Renée Zellweger
,
REVIEW
,
Richard Cordery
,
Rufus Sewell
,
Rupert Goold
,
Tom Edge
6 komentar
“Apa kamu mau hidup keras seperti
gadis-gadis biasa di luar sana?”. Demikian ucap co-founder MGM, Louis B. Mayer (Richard Cordery), di studio tempat
pengambilan gambar The Wizard of Oz,
setelah Judy Garland (Darci Shaw) mengutarakan keinginannya merasakan hidup
normal walau hanya sejenak. Saat itu Judy baru 14 tahun. Pikirannya
dimanipulasi, kebebasannya direnggut. Semua demi studio yang ingin mengeruk
keuntungan dari kepalsuan image “girl next door” si bocah.
Kemudian kisahnya melompat lebih
dari tiga dekade, tatkala karir Judy (Renée
Zellweger) mencapai titik nadir, di mana ia menerima pekerjaan dengan bayaran
150 dollar, diusir dari hotel akibat telat membayar, tak punya tempat tinggal
bagi kedua anaknya. Belum lagi membicarakan masalah obat-obatan yang turut
menimpanya. Kita semua tahu perjalanan hidup tragis sang aktris, dan Judy, yang merupakan adaptasi
pertunjukan Broadway End of the Rainbow,
menjabarkan dengan baik—meski formulaik—betapa destruktifnya tekanan di masa
lalu dapat memberi dampak.
Formulaik karena naskah garapan Tom
Edge tidak pernah menjauh dari pakem film biografi, tapi mampu menjelaskan
secara utuh proses sebab-akibat yang membentuk kondisi psikis sang legenda. Anda
akan menyaksikan begitu mengerikannya sistem industri Hollywood, khususnya di
era golden age, di mana seorang
bintang tak lebih dari properti kepunyaan studio.
Pola makan Judy diatur demi
mendapat memenuhi standar kecantikan. Seringkali ia hanya boleh menenggak pil
sebagai ganti makanan. Pil itu membuatnya susah tidur, dan agar bisa memejamkan
mata, Judy perlu mengonsumsi pil lain. Bertahun-tahun kemudian, kesehatan Judy,
baik fisik maupun mental, terkena dampaknya. Tawaran pekerjaan tak kunjung
datang, sebab para pembuat film enggan menghadapinya yang kerap bermasalah
(mabuk-mabukan, terlambat datang ke lokasi, dan lain-lain).
Terkecuali beberapa usaha bunuh
dirinya, Judy memperlihatkan mayoritas
sisi kelam protagonisnya. Semua diberikan alasan, tanpa harus menjustifikasi
keburukan Judy. Poin ini paling terlihat dalam dua perdebatan terpisah antara Judy
dengan suami ketiganya, Sidney Luft (Rufus Sewell) dan suami kelima sekaligus
terakhirnya, Mickey Deans (Finn Wittrock). Keduanya berjanji mengembalikan masa
kejayaan Judy namun sama-sama menemui kegagalan. Karenanya Judy merasa,
pria-pria itu cuma “menonton”, tidak berusaha cukup keras , sementara ia
membanting tulang. Itu betul. Sedangkan dari sisi kedua suami, Judy pun
bersalah, sebab berbagai ulah Judy membuatnya tak lagi dipercaya. Itu juga
betul.
Peluang menata ulang karir sempat
datang kala Judy menerima tawaran rangkaian konser di Talk of the Town, London.
Kecemasan langsung menghampiri, yang membuat Judy sempat menolak naik panggung.
Lagu pertama yang dibawakan adalah By
Myself. Sutradara Rupert Goold jeli mengemas momen tersebut, mengawalinya
dengan close up guna menangkap
ketakutan di mata Judy, sebelum akhirnya menangkap kemeriahan panggung begitu
suara emas sang bintang mencapai puncaknya. Judy berhasil mempersembahkan
performa memukau malam itu.
Tapi apa yang kemudian dia rasakan?
Kecemasan lain. Kecemasan memikirkan mampu atau tidaknya ia tampil sebaik itu
lagi. Berkat deretan flashback menuju
masa-masa penuh kekangan dari MGM, kita bisa memahami penyebab di balik kondisi
mental Judy. Sayangnya ketimpangan antar momen cukup terasa. Beberapa terasa
spesial dan menyentuh hati, walau banyak juga yang sebatas numpang lewat,
menjadikan perjalanan selama hampir dua jam ini tidak selalu berhasil
mencengkeram atensi.
Salah satu yang spesial adalah
peristiwa fiktif tatkala Judy menghabiskan malam seusai konser bersama dua
penggemar beratnya, pasangan gay, Dan (Andy Nyman) dan Stan (Daniel Cerqueira).
Interaksi ketiganya tersaji ringan, hangat, pula menggambarkan bagaimana Judy
mencintai para penggemar sekaligus mendapatkan energi dari mereka. Apalagi Judy
Garland sendiri dipandang sebagai ikon gay, bahkan dijuluki “The Elvis of homosexuals”. Beberapa
pihak juga meyakini kalau bendera pelangi selaku simbol LGBT terinspirasi dari
lagu Over the Rainbow.
Melalui penampilannya sebagai Judy
Garland, Renée Zellweger dipercaya bakal menyabet penghargaan Aktris Terbaik di
Oscars 2020 (tulisan ini dipublikasikan sebelum pemenang diumumkan). Dan
kepantasannya tak perlu diragukan. Baik di atas atau di bawah panggung,
Zellweger bertransformasi seutuhnya hingga ke detail ekspresi, permainan mata,
dan gestur-gestur seperti pergerakan tangan dan pundak. Zellweger menyanyikan sendiri
lagu-lagu Garland, sehingga memfasilitasi terciptanya ekspresi rasa secara
nyata. Filmnya memang tidak sempurna, tapi mungkin di atas sana, Judy Garland akan
tersenyum jika melihat bagaimana Zellweger membawakan Over the Rainbow dalam klimaks yang sukar ditolak oleh hati.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Maaf nyepam dan OOT ✌️
Mas Rasyid,
Parasite menang oscar..
Yeeay!!
Gimana nih komentarnya, seneeeeeng donk.. asiaaaaaa..
Rasyid homosexual?
PARASITE dapet Best Picture sama Best Director bang.. gimana pendapatnya... padahal tadinya cuma bisa bayangin omongan bang rasyid di video cine crib aja udah merinding eh taunya beneran kejadian
Told y'all. Historical! Sampe bergeter seluruh badan
waaaah epic bang.. saya aja nonton streamingnya pas Parasite menang kagetnya kayak dejavu sama moment pas nonton captain america pegang mjolnir di endgame 😂🎉
Bisa nonton di mana, Bang Rasyid?
Posting Komentar