THE SPECIALS (2019)
Rasyidharry
Maret 29, 2020
Benjamin Lesieur
,
Bryan Mialoundama
,
Drama
,
Eric Toledano
,
European Film
,
Grandbrothers
,
Lumayan
,
Olivier Nakache
,
Reda Kateb
,
REVIEW
,
Vincent Cassel
6 komentar
Berangkat dari kisah nyata Stephane
Benhamou dan Daoud Tatou yang mendedikasikan hidup mereka guna membantu
anak-anak kurang beruntung yang ditelantarkan sistem, The Specials menuturkan kisah orang-orang spesial dengan layak, solid,
walau tidak secara spesial. Diarahkan sekaligus ditulis oleh Olivier Nakache
dan Éric Toledano, serupa karya terbesar mereka, The Intouchables (2011), The
Specials juga tampil ringan, cukup informatif, meski kualitas naskah masih
jadi permasalahan terbesar.
Tokoh sentralnya adalah Bruno
(Vincent Cassel) yang menjalankan organisasi Voice of the Righteous, selaku suaka bagi para penderita autis yang
ditolak oleh masyarakat. Bahkan sistem pun tak bersahabat pada mereka. Selama
15 tahun, Voice of the Righteous beroperasi
tanpa sertifikat resmi. Pemegang otoritas mulai melakukan investigasi yang
kemungkinan besar bakal berujung pembubaran organisasi itu. Kalau benar
demikian, bagaimana nasib anak-anak asuh Bruno?
Padahal pihak rumah sakit, yang mengakui
bahwa keharusan mereka mematuhi protokol acap kali menghalangi penderita autis
menerima bantuan, sering merujuk pasien ke organisasi milik Bruno yang tak
segan menerapkan metode “out of the box”.
Pemerintah berusaha menegakkan peraturan tanpa menyediakan solusi alternatif.
Berbeda dengan Bruno yang selalu berkata “I
will find a solution”, bahkan tatkala sebenarnya ia sangat kerepotan.
The Specials menggambarkan betapa chaotic keseharian Bruno. Biarpun mendapat bantuan dari sahabatnya,
Malik (Reda Kateb), yang mengelola organisasi bernama The Hatch yang berfungsi mendidik anak-anak jalanan, segalanya
tidak terasa mudah bagi Bruno. Teleponnya selalu berbunyi, menghalanginya
menikmati hal-hal personal termasuk berkencan. Kekacauan tersebut diwakili momen
menggelitik saat seorang tetangga protes karena suara berisik dari apartemen
tempat Voice of the Righteous merawat
bocah-bocah autis.
Kekacauan yang sayangnya turut
menular ke cara naskahnya bercerita. Kata “specials”
di judulnya tidak hanya merujuk pada penderita autis, pula Bruno, Malik, dan
remaja-remaja pengasuh lain, yang kebanyakan juga memiliki latar belakang kurang
beruntung. The Specials berusaha
menyoroti semua figur tersebut, yang malah menjadikan fokusnya berserakan.
Tidak ada karakter yang benar-benar digali mendalam.
Dylan (Bryan Mialoundama) si anak
didik Malik yang paling bermasalah sesungguhnya cukup menarik dalam prosesnya memahami
autism sembari memperbaiki diri sendiri, tapi ia ibarat teman yang hanya kita
temui di kantor. Tidak sedikit pun kita tahu kehidupan personalnya. Bruno
otomatis mendapat porsi lebih, tapi nasibnya tidak jauh beda. Sebagaimana sang
karakter yang tidak sempat memperhatikan urusan personal, penonton juga akan
kesulitan membangun keintiman dengannya. Kelemahan film ini terkait fokus
sebenarnya sudah tercium sejak adegan pembuka yang memperlihatkan seorang gadis
penderita autis berlari histeris di tengah kota. Beberapa pekerja sosial
berusaha mengejarnya. Setelahnya si gadis tak pernah tampak lagi.
Jajaran cast-nya bermain baik, khususnya mengingat fakta karakter mereka tidak
diberikan pondasi memadai oleh naskahnya. Cassell merupakan protagonis yang
mudah menarik simpati lewat kepedulian dan kasih sayangnya, lewat bagaimana ia
berusaha memendam perasaan tertekan demi anak-anak asuh, lewat kecanggungannya
di depan wanita. The Specials turut menampilkan
aktor dengan autisme, yaitu Benjamin Lesieur sebagai Joseph, bocah yang
menginspirasi Bruno mendirikan Voice of
the Righteous. Nominasi Most
Promising Actor di ajang César Awards Februari lalu memang pantas
didapatkannya.
The Specials sempat membahas beberapa isu, sebutlah ketakutan publik
kepada penderita autis, persepsi keliru tentang gangguan perkembangan itu
(seorang ibu meyakini puteranya dikutuk), dan seperti telah disebut, perihal
sistem yang kurang mendukung. Kebanyakan sebatas pernak-pernik sambil lalu,
tapi bila dipandang selaku wadah informasi baru untuk penonton awam, film ini
telah menjalankan fungsinya. Dan serupa The Intouchables, Olivier Nakache dan
Éric Toledano mampu menghangatkan hati penonton lewat beberapa montage yang dibarengi music garapan
Grandbrothers, juga konklusi uplifting yang
memberi ganjaran atas kesediaan kita menghabiskan waktu bersama tokoh-tokohnya
selama hampir dua jam.
Available on KLIK FILM
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Bang, Mau nanya, kalau misalnya film tersebut Udah tersedia di legal, atau au mau tahu film itu tersedia di aplikasi apa, itu gimana ya Mas cara mudah nya. Kalau misalnya buka Facebook atau Instagram situs terkait, biasanya film-film baru aja yang dia informasikan bakal tayang. Kalau film lama, banyaknya infonya malah di situs ilegal.
Cara paling gampang sih cek akun medsos streamingnya. Beberapa rutin update. Kalau nggak ya rutin buka apps mereka.
Salam untuk bonaventura denk ya bang
Lalu Mas, kalau film Hollywood kan selalu merilis blu-ray & DVD, itu saat rilis itu, langsung di beberapa negara, atau hanya di AS? Dan kpn DVD dan blu-ray nya rilis di Indonesia?
Tergantung distributornya. Sekarang distributor dvd/bluray di Indonesia mayoritas udah pada bangkrut, jadi kebanyakan kolektor ya pilih import. Banyak kok jasa penyalurnya
Posting Komentar