TROLLS WORLD TOUR (2020)
Rasyidharry
April 11, 2020
Animated
,
Anna Kendrick
,
Justin Timberlake
,
Kelly Clarkson
,
Lumayan
,
Rachel Bloom
,
Red Velvet
,
REVIEW
,
Walt Dohrn
4 komentar
Film acap kali jadi media
eskapisme, bahkan—walau tak seberapa sering—bisa memunculkan harapan. Pada
kondisi biasa, Trolls World Tour mungkin
hanya sekuel kelas dua yang tak terlalu dinantikan, dari film yang empat tahun
lalu sukses mengumpulkan $346 juta. DreamWorks juga menurunkan biaya
produksinya dari $125 juta menjadi $90 juta. Sampai terjadi pandemi corona yang
mengguncang industri perfilman dan memaksa judul-judul high profile menunda penayangan.
DreamWorks menempuh jalur lain. Trolls World Tour langsung dilempar ke
pasaran lewat media digital. Mendadak, ia pun menjadi salah satu film
terpenting tahun ini. Film yang membawa keceriaan agar penonton bisa sejenak
teralih dari dunia yang kelam. Film yang memberi harapan, bahwa industri masih
memiliki opsi untuk bisa bertahan, atau malah berevolusi mengikuti perubahan
zaman.
Tidak ada maskot yang lebih pas
dari Trolls World Tour, dengan banjir
warna-warni, hujan glitter, serta visual imajinatif miliknya. Kisahnya membawa
kita mengikuti keadaan pasca film pertama, sekaligus mengintip sejarah bangsa trolls
di masa lalu. Alkisah, ternyata ada enam jenis Trolls yang menyukai genre musik
berbeda-beda. Bersama mereka ada enam buah senar yang mewakili tiap jenis
musik, dan bila disatukan bakal menghasilkan kekuatan luar biasa. Masalahnya,
perbedaan selera menciptakan perpecahan, sehingga keenam trolls memilih hidup
terpisah, dengan masing-masing membawa sehelai senar.
Kini datanglah Barb (Rachel Bloom),
Ratu dari klan Hard Rock Trolls, yang ingin menguasai semua senar, guna
menyatukan semua Trolls di bawah naungan tunggal musik rock. Sebagai Ratu dari
Pop Trolls, Poppy (Anna Kendrick) menolak tinggal diam. Dibantu beberapa
temannya, termasuk Branch (Justin Timberlake) yang diam-diam menaruh rasa
padanya, Poppy mengunjungi satu per satu klan Trolls, untuk memperingatkan
mereka tentang niat jahat Barb.
Tentu saja perjalanan Poppy cuma
alasan yang dibuat tim penulis naskah, agar filmnya dapat menampilkan sebanyak
mungkin jenis musik dan trolls. Selepas pertemuan dengan Country Trolls yang
dipimpin Delta Dawn (Kelly Clarkson), substansi road trip-nya mulai bisa dipertanyakan. Tapi tak perlu
dipermasalahkan. Cukup nikmati alunan musik beraneka genre, yang ditemani
deretan desain karakter dan konsep dunia unik, dalam kekayaan visual garapan
sutradara Walt Dohrn yang makin menunjukkan pesonanya tiap sebuah musik
dimainkan.
Wilayah Hard Rock Trolls berantakan
dan didominasi warna hitam, Classical Trolls terkesan surgawi, Pop Trolls penuh
warna, dan sebagainya. Menarik melihat bagaimana tim artistik Trolls World Tour menyulap elemen
stereotipikal jadi pemandangan imajinatif, yang selain memuaskan mata, turut
berguna memperkuat komedi, yang banyak menghantarkan tawa lewat humor-humor bertema
musik. Bukan banyolan intelektual sarat referensi, melainkan kekonyolan,
misalnya saat Guy Diamond (Kunal Nayyar) si troll bertubuh glitter bersuara auto-tune, yang “melahirkan” Tiny
Diamond (Kenan Thompson), troll hip-hop yang walau masih bayi, penuh gaya dan punya
suara berat.
“Itu bukan musik” adalah tanggapan
Barb mengenai gaya digital techno dan ketiadaan lirik dalam gaya classical. Sementara Poppy berkata, “They must not know that music supposed to
makes you happy. That’s awful.”, selepas mendengar lantunan sendu para
Country Trolls. Sindiran-sindiran menggelitik tentang eksklusivitas yang dianut
penggemar musik, khususnya para snob (apa pun genrenya), adalah kandungan
paling menarik dalam cerita filmnya. Lebih menarik dan tajam dibanding pesan
klise seputar “musik berasal dari hati kita” yang mengisi klimaksnya.
Meski tidak mempunyai lagu orisinal
se-catchy Can’t Stop the Feeling, dan
niatan menyatukan semua musik di momen puncaknya tak berlangsung mulus akibat
masih terlalu condong ke arah pop ketimbang menegaskan kekuatan tiap genre, barisan
lagu-lagu film ini tampil bak playlist variatif
nan asyik (selama anda bukan snob), yang memberi ruang bagi penggemar musik
tertentu, termasuk smooth jazz, hip-hop,
pula K-Pop, yang (seperti saya), dipuaskan oleh kemunculan singkat girl group Red Velvet lewat lagu Russian Roulette (selain Zimzalabim yang dipakai mengiringi trailer-nya).
Alurnya memang tidak padat, dan
mencapai pertengahan, gelaran warna-warninya sempat terasa repetitif. Otak saya
tidak terstimulus atau mendapat asupan yang dianggap “bergizi”, namun begitu
film usai, muncul senyuman, dan hati ini terasa lebih ringan, karena keceriaan
dan warna-warna belum sepenuhnya lenyap dari dunia.
Available on AMAZON PRIME VIDEO (US Region)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Wah, wilayah as? Berarti Mas lihat film ini melalui VPN, atau downloadan?
Pake vpn dan akun Amazon US
מזדיין
Bang rasyid tolong review Spencer Confidential
Posting Komentar