TIGERTAIL (2020)
Rasyidharry
April 16, 2020
Alan Yang
,
Christine Ko
,
Drama
,
Fiona Fu
,
Hong Chi-Lee
,
Lumayan
,
Nigel Bluck
,
REVIEW
,
Tzi Ma
,
Yang Kuei-mei
,
Yo-Hsing Fang
Tidak ada komentar
(Review mengandung SPOILER)
Tigertail, yang menandai debut penyutradaraan Alan Yang setelah
selama ini dikenal sebagai penulis serial-serial seperti Parks and Recreation hingga Master
of None, membagi kisahnya dalam dua latar waktu. Pada latar masa lalu, sinematografer
Nigel Bluck mengemas gambarnya dengan tekstur grainy demi menambahkan kesan “film lama”. Sedangkan latar modern
tampak jernih, walau isi hati dan pikiran protagonisnya, saya yakin tak
sejernih itu.
Pin-Jui (Tzi Ma) adalah nama
protagonis kita. Seorang pria tua yang tinggal sendirian di Amerika, selepas
bercerai dengan istrinya, Zhenzhen (Fiona Fu), sementara hubungan dengan sang
puteri, Angela (Christine Ko), kurang harmonis. Pin-Jui lebih banyak diam di
depan Angela. Sekalinya bicara, pernyataan ketus bernada menentanglah yang
keluar dari mulutnya, termasuk kala menentang pernikahan puterinya dengan
seorang pria, yang menurut Pin-Jui, kurang mampu secara finansial.
Ketika Zhenzhen mengutarakan niat
cerai, Pin-Jui berargumen, bahwa semestinya ia bahagia sudah dibelikan banyak
pakaian serta mobil bagus selama pernikahan mereka. Tapi Tigertail bukan (cuma) bicara soal “uang bukan segalanya”. Melalui flashback, Alan Yang (juga menulis
naskahnya) membawa penonton mengunjungi kehidupan Pin-Jui muda (Hong Chi-Lee)
saat masih hidup miskin di Taiwan bersama ibunya, Minghua (Yang Kuei-mei).
Kemiskinan melahirkan cita-cita, kemudian
ambisi untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Pin-Jui ingin pindah ke
Amerika. Sebuah tanah penuh mimpi, kemakmuran, dan kebebasan. Setidaknya begitu
pikirnya. Ambisi itu lalu membentuk kesaklekan cara hidup yang didasari
dorongan memperbaiki nasib serta nasihat-nasihat, khususnya dari sang nenek
yang sempat merawat Pin-Jui saat ia kecil.
Kesaklekan tadi menghasilkan
egoisme. Tanpa sadar Pin-Jui menentukan apa yang diinginkan orang-orang di
sekitarnya. Pin-Jui kesal sewaktu sang ibu menolak dibawa ke Amerika. “Bukannya
itu yang ibu inginkan?!”, ungkapnya. Padahal tidak. Itu adalah keinginan
Pin-Jui. Sama seperti baju-baju bagus dan mobil untuk Zhenzhen tadi. Setelah
puluhan tahun, akhirnya Pin-Jui meraih cita-citanya, yang ironisnya, malah
menjauhkannya dari orang-orang tercinta, termasuk cinta pertama dan sejatinya,
Yuan (Yo-Hsing Fang).
Entah kapan awal kerenggangan
hubungan Pin-Jui dan Angela, tapi salah satu benihnya pastilah kala Angela
kecil melakukan kesalahan di suatu resital piano. Melihat puteri kecilnya
menangis, Pin-Jui justru bersikap keras. “Jangan menangis!”, bentaknya, meniru
ucapan sang nenek kepadanya puluhan tahun lalu.
Keterasingan, kesendirian, realita
yang mengkhianati mimpi. Unsur-unsur tersebut dimunculkan Alan Yang selaku
penggambaran nasib para imigran di Amerika Serikat. Nyatanya, kehidupan di
tanah impian itu tidaklah mudah. Tentu saja akan ada obligatory montage berupa repetisi keseharian Pin-Jui sebagai
penjaga toko, yang bakal membuat kita mengasosiasikan Tigertail dengan film-film lain bertema “kerasnya hidup”. Memang
tidak ada yang baru di film ini.
Terkait hubungan Pin-Jui dan
Angela, Tigertail juga membahas
mengenai usaha membuka diri. Tapi filmnya sendiri tak terlalu ahli urusan
membuka diri. Di paruh awal, narasi non-linearnya terkesan melompat-lompat, pun
di satu titik, mendadak muncul narasi Pin-Jui sebagai orang pertama yang tengah
bercerita kepada sang puteri, yang setelahnya tak terdengar lagi, sehingga
timbul ambiguitas, apakah alur Tigertail merupakan
proses bercerita Pin-Jui pada Angela atau bukan.
Karena keegoisannya, Pin-Jui bukan
sosok yang terlalu likeable, namun perlahan
tumbuh simpati, begitu saya mulai membayangkan betapa sakit dan sepinya
kemungkinan menghabiskan tahun-tahun terakhir hidup dalam kesendirian, sembari
dikuasai penyesalan akibat kesalahan mengambil keputusan. Kata “andai” pasti
selalu menghantui. Saya pun berharap Pin-Jui dan Angela berdamai. Tentu saja
tidak mudah, meski demi nuansa heartwarming,
konklusinya mengesankan demikian. Tapi tidak sepenuhnya keliru, sebab
keterbukaan diri memang turut membuka pintu perdamaian tersebut.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar