THE HALF OF IT (2020)
Rasyidharry
Mei 03, 2020
Alexxis Lemire
,
Alice Wu
,
Comedy
,
Daniel Diemer
,
Drama
,
Leah Lewis
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Romance
3 komentar
Disclaimer berbunyi “this
is not a love story” sudah menjadi keklisean baru dalam suguhan romansa
yang membawa keinginan tampil beda. Salah satu quote dalam The Half of It yang
berbunyi “Doesn’t everyone think they’re
different? But pretty much we’re all different in the same way” dapat
diaplikasikan kepada film-film semacam itu. Apakah The Half of It merupakan cerita cinta? Ya dan tidak. Apakah
pengemasannya baru? Beberapa ya, beberapa tidak.
Film kedua sutradara sekaligus
penulis naskah Alice Wu setelah mencetak sejarah lewat Saving Face (2004)—selaku film Hollywood pertama dengan tokoh
sentral Cina-Amerika selama lebih dari satu dekade—ini tetaplah romansa. Masih
melibatkan beberapa remaja yang (diam-diam) saling suka, walau tak sepenuhnya
demikian, sebab konklusinya sendiri berusaha menjangkau sesuatu yang lebih
luas. Ada kesegaran terkait caranya menangani cinta segitiga, meski sekarang,
komedi-romantis yang cenderung lembut ketimbang eksplosif dalam mengutarakan
rasa, sederhana ketimbang festive,
menampilkan manusia sehari-hari ketimbang sosok-sosok glamor nan rupawan, mulai
menciptakan keumuman yang baru.
Ellie Chu (Leah Lewis) merupakan
tipikal protagonis komedi-romantis masa kini. Penampilannya tidak feminin,
terasing dari lingkungan sosial, seorang murid teladan, walau untungnya,
penulisan Wu dan penampilan Lewis membuatnya tak seklise itu. Tidak terasa aura
kesengsaraan, meski ia tetap punya sudut pandang pesimistis pula skeptis. Ellie
tidak percaya Tuhan (yang melahirkan beberapa humor yang menyentil religiusitas
termasuk kekacauan luar biasa lucu di gereja jelang akhir cerita), pun ia
memandang cinta secara logis.
Ellie memanfaatkan kepintarannya
untuk berbisnis. Dia menerima jasa penulisan makalah filsafat bagi teman-teman
sekelasnya. Sewaktu Paul (Daniel Diemer) memintanya menuliskan hal lain, yakni surat
cinta untuk Aster (Alexxis Lemire), gadis cantik yang terjebak dalam hubungan
dengan alpha male populer yang bodoh,
Ellie bertanya, bagaimana bisa Paul mencintai seseorang yang tak pernah ia ajak
berinteraksi langsung.
Cinta tak harus logis. Kita bisa
mencintai seseorang yang tak begitu kita kenal. Pun setelah bertemu Aster, anda
akan memahami kenapa Paul bisa jatuh hati. Dia cantik, senyumnya seolah
menebarkan kebaikan, dan terpenting, ia berwawasan luas. Mudah bersimpati
terhadap Aster, yang memiliki pacar bodoh, juga koran surat cinta palsu yang
membangkitkan harapan palsu, bahwa ada pria baik nan cerdas yang dapat mencuri
hatinya.
Tapi Ellie juga tak seutuhnya
keliru. Cinta juga soal mengenal satu sama lain. Tanpa itu, takkan ada koneksi,
seperti yang menimpa Paul dan Aster pada sebuah kencan perdana yang berantakan,
di mana menyedot milkshake lebih sering dilakukan daripada bertukar pikiran.
Melihat dari apa yang sudah saya
tulis, mungkin anda menemukan beberapa kontradiksi dalam filmnya. Sederhananya,
membingungkan. Bagaimana tidak? Bukankah cinta membingungkan? Bukankah masa
remaja membingungkan? Bayangkan betapa membingungkan saat kedua hal itu
bertemu. Semakin rumit ketika pelan-pelan kita menyadari kalau Ellie adalah
lesbian, dan mulai timbul kecurigaan jika ia pun menyukai Aster. Elemen
tersebut memberi twist menarik untuk
cinta segitiganya. Sebuah sentuhan yang membuatmu sulit menerka kisahnya bakal
berakhir di mana.
Lagipula siapa yang bisa menebak
hasil akhir dari problematika remaja yang senantiasa kompleks, dan seringkali
di luar nalar orang dewasa. Tapi The Half
of It bukan suguhan teen angst. Dan
karena punya protagonis seorang queer, bukan
berarti filmnya harus sarat pesan sebagai suatu tontonan berorientasi protes.
Alice Wu memperlakukan elemen LGBT “hanya” sebagai salah satu bagian dari
perjalanan remaja mencari jati diri.
The Half of It ingin tampil serealistis mungkin, meskipun melambungnya
popularitas Ellie secara mendadak pasca sebuah penampilan sederhana di atas
panggung, jelas bukan wujud realisme. Turut menyimpan masalah adalah
penyutradaraan Alice Wu. Minim letupan, tender,
yang mana merupakan niatan baik guna membawa keintiman lebih, biarpun
seringkali, sang sutradara terlalu sibuk bermain simbolisme visual, sembari
berusaha keras menekan ekspresi rasa supaya filmnya tidak berwajah mainstream. Tapi satu titik yang
memperlihatkan kesuksesan sensitivitas Alice Wu terletak pada ending, tatkala selama beberapa detik,
bersama karakternya, kita diajak meresapi kedamaian dalam momen. Like the moment seizes us, absorbs us into its
existence.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Setelah nonton ini..
The Half of It >>> To All The Boys I've Loved Before
hehehehe, lebih suka ceritanya Ellie Chu daripada Lara Jean
Ciee sekarang cuma nonton legal version. Dulu nonton format dvdscr dari zero dark thirty. Good luck aja mas rasyid
Oh iya. Nggak pernah menyangkal pernah nonton bajakan. Tapi di saat sekarang streaming legal udah banyak dan akses gampang mah ngapain
Posting Komentar