THAPPAD (2020)

9 komentar
Thappad (artinya “tamparan”) dibuka secara ceria, memperlihatkan beberapa orang (mayoritas pasangan, entah menikah, berpacaran, atau pelaku perselingkuhan) tengah berbahagia, bersikap romantis, atau saling bercanda. Bahkan sampai 25 menit pertama, setelah kita mengunjungi pasangan utamanya, Amrita (Taapsee Pannu) dan Vikram (Pavail Gulati), keceriaan itu masih ada, layaknya komedi romantis yang ringan.

Bekerja di sebuah perusahaan, Vikram berusaha keras menggapai mimpinya menjadi pimpinan cabang di London, sedangkan Amrita merupakan mantan penari yang menyerah mengejar mimpi demi menjadi ibu rumah tangga nomor satu di dunia. Mereka bahagia. Apalagi saat ambisi Vikram soal London terwujud.

Pesta pun digelar. Keluarga, teman, hingga rekan-rekan kerja Vikram diundang. Bisa dibilang, semua orang dalam hidup mereka ada di sana. Tapi perayaan besar itu berubah jadi bencana besar. Vikram menerima telepon bahwa promosinya dibatalkan. Dia tetap bisa ke London, namun sebagai bawahan. Pertengkaran pecah antara Vikram dengan salah satu atasannya, Amrita coba melerai, namun sang suami justru menamparnya. Saat itulah kita sadar, filmnya sengaja dibuat ceria di awal, agar seperti karakternya, penonton tercengang kala peristiwa itu terjadi.  

Tamparan itu merupakan awal eksplorasi, pembuka kritik sosial yang juga bagai tamparan ke wajah penonton. Amrita mulai mempertanyakan semuanya. Pernikahannya, cintanya. Vikram juga bertanya-tanya. Bertanya, mengapa insiden “sepele” itu menghilangkan senyum sang istri. Sebab bagi banyak pria, wanita harus selalu tersenyum.

Kalimat pertama yang diucapkan Vikram  pada Amrita di pagi berikutnya bukan “maaf”, melainkan pembenaran, alasan-alasan, serta kekhawatiran mengenai pandangan orang-orang terhadapnya. Tapi bagaimana dengan Amrita? Bayangkan perasaannya. Betapa sakit dan malu menerima perlakuan semacam itu di tengah kerumunan orang-orang yang tidak asing. Vikram berkata ingin keluar dari pekerjaan yang tak menghargainya, tapi apakah Amrita dihargai?

Thappad adalah tentang banyak hal, yang oleh naskah buatan Anubhav Sinha (juga selaku sutradara) dan Mrunmayee Lagoo, disatukan dalam tuturan sepanjang 142 menit dengan baik. Filmnya mengajak kita berpikir dengan menunjukkan berbagai perspektif melalui beragam situasi, di mana konflik protagonisnya bertindak sebagai penghubung.Tidak butuh waktu lama hingga terungkap bahwa orang-orang di sekuen pembuka punya kaitan dengan tokoh utamanya. Kaitan yang terjadi tanpa terasa dipaksakan, sebagai cara cerdik guna mengeksplorasi isunya. Seperti sudah saya sebutkan, awalanya mereka semua tampak bahagia, tapi seiring waktu kita bisa melihat kehadiran seksime di tiap sudut.

Seksime (dan patriarki) yang kasat mata bagi karakternya, karena itu terjadi terlalu lama dan sering sampai menjadi kebiasaan, atau malah budaya. Sunita (Geetika Vidya Ohlyan), pembantu di rumah protagonis kita, bercerita tentang sang suami yang sering memukulinya di rumah sambil tertawa, seolah itu keseharian bagi sepasang suami istri. Di tengah jalan menuju kantor, Vikram mengeluhkan tentang orang-orang yang membiarkan wanita menyetir mobil, lalu ketika Amrita bertanya apa dia boleh belajar menyetir, Vikram berkata, “Lebih baik kamu belajar masa dulu!”. Dan masih ada kasus-kasus lain.

Tamparan itu menjadi pemantik, bukan cuma bagi Amrita, juga orang-orang di sekitarnya soal ketidakadilan gender. Mereka mulai bereaksi, berpikir, bahkan coba membayangkan apa jadinya bila ada di posisi serupa. Dengan demikian, penonton pun bisa memperoleh perspektif berbeda-beda pula.

Berlatar India di mana patriarki mengakar kuat, tidak membuat film ini eksklusif diperuntukkan bagi masyarakat lokal. Thappad cukup universal. Mungkin kalian pernah mendengar beberapa sudut pandang karakternya di kehidupan sehari-hari. “Wanita harus belajar toleransi demi mempertahankan keluarga. Wanita harus menahan perasaannya”. Terdengar familiar?

Hebatnya, Thappad adil dalam melempar kritik. Kita melihat beberapa pria “bersatu”, menyatakan bahwa perbuatan Vikram bukan hal besar, tapi di sisi lain, banyak juga wanita yang terlanjur terperangkap jebakan pola pikir patriarkis. Ibu Amrita (Ratna Pathak Shah) menganggap, sebagai seorang wanita, kepergian puterinya dari rumah saat tengah gamang akibat tamparan sang suami, bukanlah keputusan baik. Sedangkan Netra (Maya Sarao), pengacara yang kerap memperjuangkan hak wanita, menganggap kemarahan Amrita kurang beralasan. Kenapa itu dapat terjadi? Thappad punya jawaannya. Pola asuh jelas bertanggung jawab.

Menyimpan begitu banyak pokok pembicaraan, mampukah filmnya bertutur secara solid? Rupanya mampu. Isunya terkesplorasi menyeluruh, biarpun sempat jalan di tempat begitu mencapai pertengahan durasi. Beberapa bagian bisa dipotong sehingga tak perlu berjalan selama hampir dua setengah jam, pacing bisa lebih dimainkan, dan semua itu takkan mengurangi dampaknya.

Setiap dinamika penceritaan mulai menurun, departemen akting datang menolong. Jajaran cast-nya melakoni porsi masing-masing dengan baik, tapi secara alamiah, tentu saja Taapsee Pannu paling menonjol. Transisinya, dari sosok wanita bercahaya menjadi seseorang yang kehilangan semua cahaya, meyakinkan. Selepas transisi, meski sekilas tak banyak mengubah ekspresi, tatapan dan kata-kata singkatnya justru semakin tajam. Kita bisa merasakan apakah ia sedang sedih, terkejut, jijik, marah, atau semuanya sekaligus.

Selain keberhasilan eksplorasi isu, pencapaian lain dari kedua penulisnya adalah soal penulisan kalimat yang diucapkan karakternya. Anubhav Sinha dan Mrunmayee Lagoo piawai mengolah kata-kata, dari yang menyadarkan kita, memberi informasi, memprovokasi, atau menyentuh hati, seperti kalimat terakhir yang diucapkan Vikram kepada Amrita, yang memantapkan status Thappad bukan sebagai tontonan sarat amarah atau dendam, melainkan kisah humanis yang didasari cinta dan kepedulian. Tidak semestinya kita melakukan hal yang salah, namun jika terlanjur, hal terbaik dan pertama yang harus dilakukan adalah meminta maaf, sebelum kemudian berusaha menjadi lebih baik, demi diri sendiri dan orang-orang tercinta.


Available on PRIME VIDEO

9 komentar :

Comment Page:
Mas Choky mengatakan...

Good review, mas bro.
Ini salah satu filem India yang saya tunggu untuk ditonton.
Bollywood kian tumbuh pesat kemajuan perfilemannya.
Dulu aku paling anti nonton filem india, tapi sejak nonton beberapa filemnya amir khan yang box office - walaupun filemnya yang terakhir mengecewakan, aku jadi salah satu loyalitas filem2 india yang bermutu baik dan bagus spt yg dilakoni alm irrfan khan terakhir, angrezi medium, dll.
Mudah2an insan perfileman di indonesia bisa mencontoh banyak perfileman india, gk hanya mentok di muka mengerikan, banjir darah, sensualitas murahan.
Agar review juga beberapa filem bollywood bagus lainnya, bro.

Rasyidharry mengatakan...

True, makin ke sini makin mantap Bollywood emang 👍

Tahun lalu sering sih review Bollywood pas masih tinggal Jakarta

Arjun mengatakan...

Emang keren yah perfilm an bollywood sekarang makin banyak genre nya

Btw sekarang tinggal dimana mas?

Rasyidharry mengatakan...

Dari pertengahan 2019 pindah ke Jogja

Sunflower mengatakan...

p

Redo anggara mengatakan...

isu yg diangkat ngenah ya,,, gak terhitung berapa kali menetes kan air mata kala menonton film ini,,, puncak nya sih adegan syukuran itu asli gak kebendung lagi ☺️

GeMa mengatakan...

Film ini menggambarkan awal dalam sebuah pernikahan yang hanya mengutamakan perasaannya yaitu cinta yg menggebu gebu, karena kita akan merasa tersakiti hanya oleh orang yg kita cintai,
Akan tetapi jika saja bisa melewati itu semua, pernikahan akan membawa kita ke dalam sebuah hubungan yg bukan hanya tentang cinta,tetapi tentang kebutuhn/ketergantungan dan rasa memiliki terhadap pasangan sehingga bisa menekan rasa ego, dan akan mentoleransi setiap hal buruk yg terjadi dlm pernikahan yg d sebabkan oleh pasangan kita.

Qotd : pernikahan itu bukan tentang seberapa dalam mencintai dan menunjukan kemesraan dengan pasangan,tetapi seberapa lama mampu bertahan dan mempertahankan pernikahan itu
#imho

Btw jd inget film on your wedding day

agoesinema mengatakan...

Mas choky, ternyata kita sama, berawal geli (gak suka) dgn film bollywood skrg malah doyan nonton film india, bukan hanya bollywood, film2 non hindi (tollywood, kollywood dll) gw lahap. Dan semua itu berawal dari film 3 Idiots nya Aamir Khan.

Unknown mengatakan...

Endingnya gimana yaa ?