REVIEW - ORDINARY LOVE
Tom (Liam Neeson) dan Joan (Lesley
Manville) telah menikah selama bertahun-tahun. Keseharian mereka? Berdebat (in a playful way) seputar hal-hal
trivial. Contohnya tentang alat pembuat jus yang belum mereka punya. Hal itu
justru lebih romantis ketimbang ekspresi cinta lain yang sekilas lebih
menggebu, misalnya puisi cinta. Keduanya telah berada dalam fase di mana cinta
tak perlu lagi diutarakan tiap hari, sebagai hasil kebersamaan jangka panjang.
Tapi bukan berarti cinta itu sudah hilang. Malah sebaliknya.
Tom selalu punya stok humor untuk
menjawab perkataan Joan, seolah ia tak pernah serius. “Bisakah kamu bersikap normal
sekali saja?”, tanya Joan. Tapi kita tahu, “ketidaknormalan” Tom merupakan
alasan sang istri betah bertahan sedemikian lama, bahkan pasca suatu tragedi yang
menguji kekuatan mereka. Sampai datanglah ujian berikutnya. Joan didiagnosa
menderita kanker payudara. Bakal seberat apa tantangan ke depannya? Bagaimana
bila skenario terburuk menghampiri? Kekhawatiran pun menguasai pikiran
keduanya.
Benar bahwa cerita berpusat pada
kanker yang diderita protagonisnya, namun penonton yang mengharapkan tearjerker seperti biasa, kemungkinan
bakal kecewa karena mendapati filmnya terlalu
“dingin”. Tentu semakin ke belakang intensitas konflik meninggi, tapi secara
keseluruhan, ini bukan disease porn yang
mengandalkan emosi hiperbola. Ditulis oleh Owen McCafferty yang selama ini
berpengalaman melahirkan naskah teater, tak mengejutkan saat Ordinary Love menjadi film yang “chatty”. Mungkin ini hasilnya kalau ada karakter Before Midnight yang terkena kanker.
Tom dan Joan berbicara lirih,
bahkan sesekali berbisik. Kamera pun tak pernah mengambil jarak terlalu jauh dari
keduanya, hanya bergerak bila diperlukan, itu pun dalam tempo lambat, seolah
duo sutradara Lisa Barros D'Sa dan Glenn Leyburn ingin menempatkan penonton di
ruang intim kedua protagonis. Sedangkan musik garapan David Holmes (Ocean’s Eleven, Hunger, Logan Lucky)
memperdengarkan nada-nada familiar lewat iringan piano melankolis, sesekali
ditambah synth bernuansa dreamy.
Seperti telah disebutkan, Tom dan
Joan cenderung membicarakan hal-hal trivial dengan banyak canda. Bahkan setelah
proses kemo berjalan, celetukan-celetukan Tom masih setia membuat Joan (dan
penonton) tertawa. Semuanya nampak.....ordinary.
Sekilas tak ada yang luar biasa, namun bukan berarti tak spesial. Because love, even in its most ordinary
form, is already extraordinary.
Biarpun pendekatannya menjauhi
keklisean disease porn, Ordinary Love rupanya
masih sempat terjebak template. Di
tengah perawatan, Joan bertemu Peter (David Wilmot), mantan guru puterinya,
yang menderita kanker stadium akhir. Sementara Tom (hanya di satu sekuen),
sempat berbagi rasa dengan pasangan Peter, Steve (Amit Shah). Pertemuan dua
individu bernasib sama yang berujung saling menguatkan adalah elemen familiar
dalam film bertema penyakit. Ordinary
Love tak memberi pembeda, pun seolah cuma memasukkannya demi memenuhi
kewajiban semata, tanpa menghasilkan dampak signifikan, entah berupa emosi maupun
pemahaman lebih terkait menghadapi kanker.
Neeson tampil baik, mengingatkan
bahwa meski belakangan lebih dikenal sebagai jagoan laga, ia lebih dulu angkat
nama sebagai aktor penuh sensitivitas. Kali ini suara beratnya tak dipakai
untuk mengintimidasi kriminal, melainkan meneduhkan hati sang istri lewat
ungkapan kasih sayang. Sementara dari Manville, kita mampu merasakan bahwa
setumpuk hal berkecamuk di hati Joan, walau dari luar tidak terlihat. Dan
ketika— seperti adegan pembukanya —Ordinary
Love menutup kisah saat Natal untuk menciptakan satu lingkaran penuh, kita
pun tahu bahwa bukan cuma latar waktunya yang “tak berubah”, cinta mereka pun
demikian.
Available on HULU
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar