REVIEW - BLACK IS KING
Salah satu pencapaian terbesar Black
Panther dua tahun lalu adalah memperlihatkan Afrika dan black culture
melalui perspektif yang tak pernah dipakai industri arus utama: superior,
berteknologi tinggi, indah. Kalau ada yang bisa melakukannya lagi, tentu saja Beyoncé
orangnya. She’s so iconic, so influential, white people can only dream of
having her as one of their own. Bertindak selaku pendamping visual bagi The
Lion King: The Gift (album yang dikurasi oleh Beyoncé seiring perilisan film
The Lion King), Black is King merupakan media sang artis
menumpahkan seluruh visinya. Sebuah magnun opus seorang Beyoncé Giselle
Knowles-Carter.
Kisahnya tidak jauh berbeda dengan The
Lion King, yakni tentang seorang pangeran Afrika cilik (Folajomi
Akinmurele) yang diasingkan dari kerajaan setelah kematian sang ayah (Sibusiso
Mbeje). Sementara tahta jatuh ke tangan pamannya yang jahat (Warren Masemola),
si pangeran tumbuh jadi pria dewasa (Nyaniso Dzedze) yang melupakan akar
kebudayaannya. Hingga ia mulai tersadar, dan di bawah bimbingan leluhurnya (Beyoncé),
berusaha merebut kembali mahkota kerajaan, dan terpenting, “pulang ke rumah”.
Alurnya tidak bergerak secara konvensional. Kental
surealisme, diiringi puisi-puisi gubahan Yrsa Daley-Ward, sambil diselingi
visualisasi lagu-lagu dari The Lion King: The Gift yang mewakili
bagian-bagian narasi. Beyoncé, yang (selain berakting, bernyanyi, dan
menyutradarai) juga menulis naskahnya bersama Clover Hope dan Andrew Morrow, mencetuskan
ide pembuatan Black is King selepas perilisan video klip Spirit pada
Juli 2019. Awalnya ia berniat memproduksi klip-klip berdurasi semenit untuk
tiap lagu, lalu berkembang menjadi video penuh, sebelum akhirnya memutuskan
membuat proyek berskala besar ini.
Tidak bisa dipungkiri, video-video ini
memang lebih cocok dirilis secara terpisah. Semuanya lagu kelas satu nan
adiktif, yang akan tertancap di ingatan pendengar untuk waktu lama. Ketika
disatukan sebagai musikal berdurasi hampir satu setengah jam (tepatnya 85
menit), muncul keharusan menciptakan kesatuan narasi koheren. Poin tersebut kurang
berhasil dilakukan filmnya. Klip-klip musiknya luar biasa, namun berdiri
sendiri-sendiri, menghasilkan emosi yang parsial, alih-alih saling mendukung sebagai
satu kesatuan utuh.
Tapi bukankah Black is King memakai
pendekatan sureal? Kesalahpahaman terkait surealisme adalah soal ketiadaan
aturan. Surealisme tetap membutuhkan “pola”, hanya saja, presentasi pola tersebut
lebih lentur, tidak terikat pakem-pakem logika dan realita. Contohnya, di film
ini ada sesosok pria bertubuh biru (Stephen Ojo) yang merupakan perwujudan
bawah sadar si pangeran. Tapi apa tindakan yang membuat si pria biru dapat
diasosiasikan ke peran tersebut?
Setidaknya, cuplikan kalimat dari The
Lion King cukup membantu penonton menyusun keping-keping “teka-tekinya”. Dan
menerjemahkan perjalanan Simba menjadi tuturan soal black culture adalah
ide brilian. Beyoncé dan tim berhasil menarik esensi dari kisah tersebut,
kemudian menerapkannya ke dalam isu-isu relevan. Soal individu berkulit hitam
yang menemukan kembali jati dirinya, melalui warisan leluhur serta kebudayaan
yang begitu indah, sebelum dijamah tangan-tangan serakah kolonialisme, yang
dalam The Lion King, diwakili oleh Scar dan para hyena.
Narasinya mungkin tak semulus harapan, namun
pencapaian artistiknya membuat itu mudah dilupakan. Black is King adalah
masterpiece visual yang melawan penggambaran kulit hitam di media arus
utama. “We’re the beauty before they knew what beauty was”, ungkap Beyoncé.
Dan itu disajikan sempurna, lewat keglamoran dan kemeriahan tanpa cela. Gambar-gambar
yang diambil di tiga benua (Afrika, Amerika Utara, Eropa), yang sesekali
dipercantik oleh pemakaian CGI tepat guna, merupakan keindahan epik
hasil kepiawaian 12 sinematografer, sementara tata rambut serta busananya berkreativitas
tinggi, tanpa melucuti unsur kebudayaan.
Beyoncé, bersama tim sutradara yang total
beranggotakan sembilan orang termasuk dirinya, melahirkan deretan klip-klip
musik yang punya kekhasan dan keunggulan berbeda-beda, yang sekali lagi, dibuat
berdasarkan berbagai sumber kebudayaan. Find Your Way Back bak
petualangan kosmik, yang juga referensi terhadap kepercayaan astrologi
suku Dogon. My Power yang menemani klimaks perebutan tahta melambangkan tujuh
kekuatan Afrika, yang didasari kepercayaan suku Yoruba terhadap Orisha, roh utusan
Dewa Olodumare.
Favorit personal saya adalah Brown Skin Girl, yang seperti judulnya, mengisahkan cantiknya wanita-wanita Afrika dengan kulit gelap mereka. Selain nama-nama besar seperti Lupita Nyong’o, Naomi Campbell, dan Kelly Rowland, ibu Beyoncé, Tina Knowles-Lawson, dan kedua puterinya, Blue Ivy dan Rumi Carter, turut tampil di lagu ini. Sederhana, namun amat menyentuh, pula begitu personal. Saat Beyoncé berkata “Cause you’re beautiful” pada Kelly, ada kehangatan dari senyum tulus dua wanita. Puncak emosinya tentu kala Blue Ivy menutup lagu dengan nyanyiannya. Indah! Semua individu yang terlibat di sini luar biasa. Tapi Beyoncé adalah, well, Beyoncé. Mengenakan total 69 kostum, entah sebagai figur ibu, leluhur yang mengawasi dari “atas”, maupun musisi yang sempurna di segala sisi, pesonanya tiada tanding. Black is king, and Beyoncé is the king of the king.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
2 komentar :
Comment Page:Apa kabar bang rasyid ? Selama pandemi gini, pasti kaki udah gatel pgn k cinema, kangen bau studio bioskop bercampur bau popcorn, kangen melihat ekspresi sesama penonton usai film selesai. Belum lagi tangan gatel pgn cpt2 ngetik review. Btw, blackpink nanti d netflix bakal ad reviewnya gak bang :) ?
Yeah, dan kayaknya masih kudu sabar sampe tahun depan
Oh jelas. Berdosa kalo nggak
Posting Komentar