REVIEW - DEERSKIN
Deerskin datang dari kepala Quentin Dupieux, sutradara yang
membuat Rubber (2010). Walau lebih
normal dibadingkan horor satir tentang ban mobil pembunuh itu, karya terbarunya
ini masihlah film yang mustahil ditebak arah bergulirnya, setidaknya pada
mayoritas kesempatan. Tengok saja adegan pembukanya, di mana beberapa remaja
memasukkan jaket ke dalam bagasi mobil, sambil berkata ke arah kamera, bahwa
mereka takkan mengenakan jaket lagi selamanya. Sebuah prolog bagi kritik
terkait perusakan manusia terhadap alam? Rupanya bukan.
Sejurus kemudian, kita berkenalan dengan
sang protagonis. Georges namanya, diperankan oleh Jean Dujardin, yang paling
dikenal kala memenangkan Oscar untuk Aktor Terbaik, lewat perannya di The Artist (2011). Georges menghabiskan
lebih dari 7500 euro demi menebus jaket kulit rusa impiannya. “Killer style”. Demikian cara Georges
menyebut gayanya. Sebutan yang nantinya menghadirkan makna lain.
Georges rela kehabisan uang,
sehingga harus menjadikan cincin kawinnya sebagai jaminan saat menunggak biaya
sewa kamar hotel, bahkan makan dari sisa-sisa di tempat sampah, demi jaket
tersebut. Sang istri baru meninggalkannya, pula memblokir kartu kredit mereka,
yang memperparah situasi Georges. Tapi ia tidak peduli. Terpenting, jaket
impian sudah didapat. Georges terus mengagumi penampilannya, merekam dirinya
yang sedang bergaya di depan cermin, lalu mulai terlibat obrolan dengan si
jaket, seolah benda itu hidup.
Dupieux, yang juga menulis
naskahnya, membangun atmosfer sureal yang aneh. Banyak orang-orang di sini yang
terasa “tidak hidup”, menciptakan nuansa deadpan
kental. Deerskin sesekai
mengingatkan pada karya-karya Roy Andersson, hanya saja, pacing-nya lebih cepat, lebih ringan, lebih dinamis, dan lebih
banyak darah. Sedangkan humornya semakin menggelitik seiring dengan semakin absurdnya
perilaku serta tutur kata Georges. Beberapa berupa komedi hitam, beberapa
satir, beberapa murni kekonyolan, namun respon yang diharapkan muncul dari
penonton selalu serupa: WTF?!
Setiap malam, Georges mampir ke bar
tempat Denise (Adèle Haenel) bekerja sebagai bartender. Ketika ditanya soal
profesinya, Georges berbohong, dan mengaku dirinya adalah sineas. Kebohongan
itu makin dalam, karena Denise, yang ternyata bercita-cita menjadi editor,
mulai melontarkan banyak pertanyaan. Singkat cerita, kebohongan itu memaksa
Georges terus merekam, melanjutkan “produksi filmnya”, dengan cerita hasil inspirasi
dari “obrolannya” dengan si jaket. Georges ingin menjadi satu-satunya pria di
dunia yang memakai jaket, sementara si jaket ingin menjadi satu-satunya jaket
di dunia. Georges adalah seseorang tanpa sedikitpun ilmu tentang film, yang
membuat film demi memenuhi ego dan ambisi konyol. Terdengar familiar.
Dujardin melahirkan karakter
pecundang yang dengan senang hati penonton tertawakan, khususnya tiap ia
membanggakan “killer style” miliknya.
Tapi seiring waktu, kekonyolan Georges dibarengi kengerian. Dia tidak simpatik,
namun aksinya menyenangkan diikuti, bahkan cenderung adiktif. Saya tak
keberatan andai filmnya berlangsung lebih lama.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang
ingin Deerskin sampaikan? Potret
sesosok pria sakit jiwa? Obsesi tidak sehat? Sentilan terhadap indusri film?
Atau kisah seorang pria yang menyembunyikan kesepian dan kerapuhannya di balik
cangkang maskulinitas? Bukan semua hal di atas. Bahkan setelah Deerskin mencapai momen penutup, saya
yakin Quentin Dupieux, yang mampu membungkus 77 menit menghibur penuh
absurditas, kejutan, dan belokan, cuma ingin bersenang-senang mempermainkan
ekspektasi penonton. Baik ekspektasi terkait arah alur, maupun substansi di
dalamnya. Kalau memang ada yang Deerskin ingin
sentil, itu adalah penontonnya sendiri, yang berusaha (terlalu) keras membaca
kandungan ceritanya. Seperti omong kosong George soal profesinya sebagai sineas
yang tidak perlu dianggap serius, begitu juga film ini.
Available on HBO MAX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar