REVIEW - PELUKIS HANTU
Mengikuti jejak Bene Dion
Rajagukguk selaku sesama komika, Arie Kriting melakoni debut penyutradaraan
melalui sebuah horor-komedi (sama-sama dibintangi Ge Pamungkas pula). Hasilnya,
karya Bene Dion mungkin lebih solid, tapi Arie menggantungkan ambisi lebih
tinggi. Ada luka personal dalam lingkup keluarga, ada luka kolektif dalam
lingkup kenegaraan, kemanusiaan, dan sosial masyarakat. Arie, yang menulis
naskahnya sendiri, menjadikan pertemuan dua alam sebagai metode penyembuh luka.
Ge memerankan Tutur, seorang
pelukis muda yang setia memegang idealisme berupa kejujuran. Dia menolak
berbohong soal harga serta makna lukisan, membuatnya kesulitan memperoleh uang,
baik untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, maupun pengobatan penyakit paru-paru
ibunya (Aida Nurmala). Sampai datang tawaran menjadi pelukis hantu di acara
televisi horor, yang kita semua tahu, memarodikan program apa.
Awalnya Tutur ragu, karena
pekerjaan itu menuntutnya pura-pura bisa melihat hantu. Tapi kesehatan sang ibu
yang makin memburuk, membuatnya berubah pikiran. Proses syuting pun tiba. Tutur
harus melukis hantu dengan mata tertutup. Di situlah hal mengejutkan terjadi.
Tutur dapat melihat hantu. Sesosok kuntilanak (Jenny Zhang), yang juga sempat
menampakkan diri di depan Tutur semasa ia kecil. Dibantu Amanda (Michelle
Ziudith) si blogger misteri, Tutur coba membongkar alasan di balik kemunculan
sang kuntilanak, yang tanpa disangka, berkaitan dengan masa lalunya sendiri.
Salah satu pencapaian terbesar Arie
adalah kejelian membagi porsi, kapan harus melucu, kapan tampil serius, dan
kapan waktunya meneror. Tidak ada tumpang tindih. Masing-masing genre diberi
kesempatan menunjukkan kekuatan, pun tetap terasa sebagai satu kesatuan.
Dibantu jajaran komedian dengan porsi kemunculan bervariasi, Arie sanggup
menghasilkan komedi yang konsisten memancing tawa. Walau kalau harus disandingkan,
humornya belum sepintar Bene Dion di Ghost
Writer, yang sanggup menarik kelucuan dari berbagai horror tropes.
Terkait horor, Pelukis Hantu tidak menawarkan banyak keunggulan. Riasan yang
dikenakan Jenny Zhang cukup memancing rasa ngeri tiap kamera menaruh fokus di
wajahnya, dan Arie berhasil menyelipkan satu jump scare yang efektif menggedor jantung berkat timing kemunculan tak terduga (clue: lukisan), tapi secara keseluruhan,
teror sang kuntilanak tak jauh beda dibanding barisan horor lokal formulaik,
meski tak bisa disebut buruk.
Sedangkan elemen dramanya,
mempertemukan titik terbaik sekaligus terburuk milik Pelukis Hantu. Seperti saya sebutkan di paragraf pembuka, ada
ambisi besar dari Arie guna menjadikan debutnya ini lebih dari sekadar hiburan
ringan. Ambisi yang melibatkan cabang-cabang penceritaan dengan skala makin
membesar seiring bergulirnya kisah, namun Arie memadatkannya secara paksa di
paruh akhir, dalam cuplikan-cuplikan singkat yang tak cukup kuat menjalin
ikatan emosi antara penonton dengan drama tersebut.
Ge, sebagai salah satu komika yang
paling sering diberikan peran dramatis, sayangnya tak cukup mumpuni mengemban
kompleksitas dinamika batin Tutur. Apalagi saat dituntut melakoni momen
berintensitas emosi tinggi. Dia menangis. Setidaknya ekspresinya terlihat
seperti itu. Tapi tidak hatinya. Ge menangis hanya untuk dirinya sendiri. Bukan
agar penonton ikut merasakan gejolak serupa. Sedangkan Michelle Ziudith tak
cukup diberikan ruang eksplorasi, mengingat naskahnya pun belum cukup matang
mengolah penokohan Amanda.
Di balik kejenakaannya, melalui Pelukis Hantu, Arie memaknai mistisisme
dari perspektif berbeda. Perihal “arwah dan orang mati” tidak berhenti di ranah
menakut-nakuti semata. Ada pertemuan dan perpisahan. Ada tragedi masa lalu dan
usaha bangkit demi masa depan. Sensibilitas di gagasan-gagasan tadi belum
sepenuhnya muncul di penyutradaraan Arie. Tapi saya rasa ini masalah jam
terbang semata. Kelak Arie akan lebih peka, tahu mesti meletakkan fokus kamera
di mana, dan bagaimana membungkus detail suatu momen, agar penyaluran rasanya
lebih maksimal. Saat hari itu tiba, jalannya sebagai salah satu sineas paling “berbahaya”
terbuka lebar.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
2 komentar :
Comment Page:Bang kenapa film Indonesia kadang suka gk jelas lagi Ngomong apa, gw berharap sih film indo ada subbitlenya biar gampang
Yah, sering gitu emang. Kadang soal mixing, kadang aktornya, kadang sutradaranya yang kurang peka
Posting Komentar