REVIEW - QUARANTINE TALES
Dibuat semasa pandemi dengan berbagai
keterbatasan, rupanya tak menghalangi Quarantine
Tales menjadi salah satu omnibus terbaik Indonesia selama beberapa tahun
terakhir. Padahal, dari kelima sutradara yang membidani lima segmen pengisi 87
menit durasinya, hanya Ifa Isfansyah yang berpengalaman menggarap film feature. Jason Iskandar, Sidharta Tata,
dan Aco Tenriyagelli lebih dikenal di skena film pendek, sedangkan seperti kita
tahu, Dian Sastrowardoyo baru menjalani debutnya.
Alasan Quarantine
Tales menonjol dibanding sesamanya adalah perbandingan kualitas tiap
segmen yang cenderung seimbang, sehingga dinamikanya terjaga secara konsisten. Nougat yang selain disutradarai, juga
ditulis sendiri oleh Dian Sastrowardoyo, membuka Quarantine Tales lewat kisah tiga saudari, yang tumbuh bersama,
namun seiring pertambahan usia, hubungan mereka makin renggang, dan cuma
berkomunikasi lewat video call.
Ubay (Marissa Anita) menjauh dari kedua
adiknya selepas menikahi seorang pria yang mengontrol hidupnya, si bungsu Deno
(Faradina Mufti) tengah menyelesaikan kuliah, sementara Ajeng (Adinia Wirasti)
yang masih tinggal di rumah mendiang orang tua mereka, jadi figur yang berusaha
menyatukan keluarganya. Bukan kejutan bila saya menyebut bahwa ketiga aktrisnya
merupakan penggerak utama Nougat. Adinia
yang lebih pendiam, Faradina yang ceria, dan Marissa yang cepat panas, membuat
saya bersedia duduk berjam-jam mendengarkan obrolan ketiganya. Di ranah penulisan,
daripada mengambil latar pandemi, Dian dengan cerdik memilih melahirkan
komparasi. Tanpa COVID pun, kita sudah berjarak.
Prankster
selaku
segmen kedua merupakan yang terlemah. Kisah tentang “Youtuber prank” bernama Didit Iseng (Roy Sungkono) yang tengah
melakukan siaran langsung bersama Aurel (Windy Apsari) sang bintang tamu ini
sejatinya tidak buruk, hanya saja dipenuhi keklisean genre revenge horror/thriller. Naskah buatan sang sutradara, Jason
Iskandar, perlu menyediakan rencana balas dendam yang lebih pintar bagi
karakternya, yang tak membuatnya terkesan “menggali kuburan sendiri”. Paling
tidak, hasrat terpendam penonton untuk menghukum para prankster dunia nyata mampu diwakili oleh Jason.
Segmen Cook
Book, yang ditulis Ifa Isfansyah bersama Ahmad Aditya, menyusul kemudian. Mengisahkan
usaha Chef Halim (Verdi Solaiman) menulis buku resep di tengah masa karantina, Cook Book menyelipkan salah satu tragedi
bangsa, dalam penuturan mengenai kerinduan terhadap “ikatan”. Di tengah
kesepian akibat karantina, rasa itu menguat, dan kita mulai merindukan
sosok-sosok tercinta, termasuk yang sudah meninggalkan kita. Cook Book menyajikan kepahitan yang
rasanya dapat dipahami oleh banyak penonton.
Happy
Girls Don’t Cry milik Aco Tenriyagelli adalah segmen favorit saya. Sri
Arawinda Kirana memerankan Adin, gadis remaja yang keluarganya diterjang
masalah bertubi-tubi akibat COVID. Adiknya (Muzakki Ramdhan) baru saja
meninggal, sementara kedua orang tuanya (diperankan Teuku Rifnu Wikana dan
Marissa Anita) terlilit begitu banyak hutang. Adin bermimpi memenangkan giveaway dari Youtuber favoritnya demi memperbaiki kondisi finansial keluarga.
Tapi tatkala impian itu terwujud, masalah lebih besar justru menghampiri.
Aco menghadirkan satir tajam nan menggelitik
perihal eksploitasi kemiskinan di media sosial, pada masa di mana orang-orang
berharap memperoleh “uang kaget”. Sindirannya adil, sebab Aco menyentil seluruh
pihak, baik kaya maupun miskin. Anda bakal berujar, “Ah, segmen ini memihak A”,
kemudian, “Oh, ternyata B”, sebelum akhirnya menyadari, tidak ada satu pun yang
“dimenangkan” oleh Happy Girls Don’t Cry.
Tidak ada tawa yang tak dibarengi keperihan di segmen ini.
Sebagai penutup adalah The Protocol karya Sidharta Tata, di mana seorang pria (Abdurrahman
Arif) sedang kelabakan, begitu mengetahui rekan seperjalanannya, Icuk (Kukuh
Prasetya), meninggal di dalam mobil setelah memperlihatkan gejala COVID. Berikutnya,
kita diperlihatkan pemandangan-pemandangan menggelikan kala sang protagonis
kebingungan, harus mengurus jenazah temannya dengan cara apa. The Protocol begitu efektif memancing
tawa di menit-menit pertama, namun ketika humor setipe diulang terus-menerus,
kekuatannya perlahan memudar. Memang bukan penutup luar biasa, paling tidak segmen
ini sukses mengakhiri sebuah film mengenai masa sulit dengan tawa bahagia.
Available on BIOSKOP ONLINE
4 komentar :
Comment Page:bang saranin dong film omnibus yang bagus-bagus
Kalo omnibus Indonesia, salah satu yang terbaik jelas Perempuan Punya Cerita. Takut, Rectoverso, 3Sum,& Fisfic juga punya beberapa segmen yang oke.
Girls don't cry kok filmnya ada watermark
Mungkinkah ini gebrakan baru buat karier Gigi? Kyknya dia bisa jdi Morgan Oey versi Cherrybelle
Posting Komentar