REVIEW - SAINT MAUD

3 komentar

Sekilas, Saint Maud serupa dengan horor bertema "kerasukan setan" lain. Tapi sebenarnya amat berbeda, kalau tidak mau dibilang berlawanan. Debut penyutradaraan sekaligus penulisan impresif dari Rose Glass ini justru berkisah tentang seorang wanita, yang semakin terjerumus dalam kegilaan seiring usahanya mencari jalan Tuhan. Jika biasanya agama (khususnya melalui doa-doa pada praktek pengusiran setan) jadi sumber pertolongan dalam horor supernatural, di sini malah sebaliknya.

Pasca peristiwa traumatis di rumah sakit, Katie (Morfydd Clark) alih profesi dari suster menjadi perawat pribadi, mengubah namanya menjadi Maud, dan memperdalam ajaran Katolik. Pasien terbarunya adalah Amanda (Jennifer Ehle), mantan penari dan koreografer, yang menderita limfoma stadium akhir. Hubungan mereka makin akrab, setelah Maud mendekatkan Amanda ke "jalan kebenaran". Berkat keberhasilan meredakan ketakutannya atas kematian, Amanda menyebut Maud sebagai "penyelamat". 

Maud yang selama ini yakin bahwa Tuhan sudah menyiapkan peran lebih besar baginya, merasa menemukan jalan hidup, yakni menyelamatkan jiwa Amanda mendekati hari-hari terakhirnya. Niat yang terdengar mulia, hingga Maud coba mulai mengontrol kehidupan Amanda. Dia bahkan meminta Carol (Lily Frazer), yang rutin Amanda bayar untuk berhubungan seks dengannya, agar tidak lagi datang. Menurut Maud, Amanda mesti menunggu ajal tanpa diganggu segala aktivitas berbau hedonisme duniawi.

Carol mengiyakan permintaan itu, tapi dari responnya, kita semua tahu itu hanya di mulut belaka. Tapi tidak dengan Maud. Melalui monolog dalam hatinya, terdengar kelegaan sang gadis, karena "semua berjalan lancar". Maud memang begitu naif, dan monolog yang rutin muncul sepanjang film, berfungsi untuk menegaskan elemen penokohan tersebut. Dari situ kita tahu betapa naifnya si protagonis. Dia tidak menyimpan agenda terselubung. Dia sungguh-sungguh percaya, semua perbuatannya dilakukan sebagai pelayan Tuhan. 

Maud teramat naif dan lurus, kecurangan kecil dalam permainan kartu saja membuatnya terganggu. "It's no fun if you cheat", ucapnya kepada Amanda. Kondisi itu mengakibatkan pikirannya berkecamuk, tatkala menyadari segalanya tidak berjalan sesuai harapan, dan bahwa ada kemungkinan, Tuhan tidak sungguh-sungguh menyipakan rencana besar baginya. 

Proses degradasi mental yang Maud alami itulah fokus utama film ini, yang nantinya bermuara pada tragedi. Tepatnya tragicomedy. Glass melahirkan kompleksitas, dibantu kehebatan Morfydd Clark menghidupkan Maud, yang di satu kesempatan memancing rasa kasihan, namun di kesempatan lain membuat saya ingin mengutuk sambil menertawakannya. Bagaimana Maud semakin dimabuk agama jelas sebuah perjalanan tragis, tapi sebagaimana terjadi pada momen penutup film, muncul pula dorongan menertawakan "kebodohannya".

Di ranah penyutradaraan, Glass mengikuti formula horor non-mainstream, khususnya yang diproduksi A24: tempo lambat, pemanfaatan atmosfer melalui musik serta visual, serta menekan kuantitas jump scare. Gaya yang tidak lagi baru, bahkan di skena alternatif, sudah menjadi keklisean. Tapi seperti yang dilakukan James Wan di arus utama, Glass begitu handal menangani formula alternatif itu, sehingga tiap teror selalu berhasil tampil mencekam. Entah memunculkan kekagetan, rasa jijik, sakit, maupun tidak nyaman, lewat pemilihan timing yang sempurna. Terkait tempo lambat, jangan khawatir Saint Maud bakal membosankan, sebab naskahnya sudah menyiapkan beberapa "tikungan" tak terduga, yang senantiasa mengisi ulang daya tarik alurnya.


Available on iTUNES

3 komentar :

Comment Page:
Anon mengatakan...

Adegan dia begituan sama cowo gendut di bar itu penebusan dosa apa gimana mas rasyid? Wkwk

Rasyidharry mengatakan...

Malah sebaliknya. Itu pas lagi kehilangan iman.

Dony mengatakan...

Tema seperti ini cocok di indonesia banyak orang mabuk agama dan merasa punya misi khusus dari Tuhan