REVIEW - CRUELLA

2 komentar

Berlatar London 1970-an di tengah pergerakan punk rock, Cruella pun membawa semangat serupa. Membicarakan kebebasan dengan melawan kemapanan, juga berbagi estetika yang senada dengan kultur tersebut. Hasilnya memikat mata, walau sayang, naskah buatan Dana Fox dan Tony McNamara bertutur bak musisi pop yang iseng-iseng menjajal genre punk. Asal cepat, asal tebas, lalai bahwa punk adalah "asal-asalan yang tidak asal". 

Pola penceritaan itu terasa betul di banyak titik, termasuk prolognya yang buru-buru, sehingga beberapa poin penting pun berlalu begitu saja. Setidaknya sekarang kita mendapat pemahaman lebih, mengapa Cruella de Vil (Emma Stone), membenci anjing dalmatian. Semua berawal saat ia berusia 12 tahun dan masih menyandang nama Estella (Tipper Seifert-Cleveland dalam penampilan yang akan membawanya berada di jajaran aktor cilik papan atas). 

Estella menyaksikan kematian ibunya, Catherine (Emily Beecham), dan merasa dirinya bertanggung jawab. Sebatang kara, Estella memilih hidup sebagai pencuri bersama Jasper (Joel Fry) dan Horace (Paul Walter Hauser), sambil tetap bercita-cita menjadi desainer. Kesempatan tiba, sewaktu Baroness (Emma Thompson), seorang desainer ternama, merekrut Estella setelah secara kebetulan menyaksikan bakatnya. Tentu Estella berbahagia, setidaknya sampai mengetahui rahasia tentang Baroness, yang membangkitkan sisi Cruella dalam dirinya.

Sedikit mundur ke belakang, Estella kecil kerap membuat masalah di sekolah. Bukan tanpa alasan, sebab anak-anak lain memandangnya berbeda, karena Estella lahir dengan warna rambut unik (separuh putih, separuh hitam). Tiap amarahnya tersulut, kepribadiannya yang lebih kejam pun muncul ke permukaan. Sang ibu menamai sisi itu "Cruella". Naskahnya sendiri tidak pernah mengambil sikap jelas perihal dua kepribadian tersebut. Apakah realis (kepribadian ganda), atau fantasi. 

Ada banyak titik dramatis, tetapi penuturan tergesa-gesa tanpa sensitivitas, menghilangkan dampak emosional, biarpun Stone tidak menangani karakternya dengan interpretasi dangkal yang "asal eksentrik", namun menjadikan Estella/Cruella tokoh kompleks. Sosok kesepian yang mengambil langkah ekstrim untuk memerdekakan dirinya, karena merasa sudah waktunya ia berhenti disakiti. Stone membawakan Cruella bagai rock star yang eksplosif, anarkis, namun begitu turun panggung, sejatinya ia rapuh. 

Sebagai lawannya adalah Emma Thompson sebagai atasan keras nan dingin. Baroness mengingatkan pada Miranda Priestly-nya Meryl Streep, bedanya, di balik sikap dingin itu tidak ada kehangatan terselubung. Hanya kekejaman, narsisme, dan ambisi. Jika dinamika Estella/Baroness mengingatkan pada Andrea/Miranda itu wajar, mengingat draft awalnya dibuat oleh Aline Brosh McKenna selaku penulis naskah The Devil Wears Prada (2006), sebelum direvisi oleh Fox dan McNamara.

Meski lemah soal rasa, minimal Cruella mampu menghibur. Bayangkan The Devil Wears Prada disulap menjadi perpaduan antara heist dan revenge movie. Para protagonis melancarkan aksi balas dendam sembari menyusup kemudian mencuri, dan semua dilakukan dengan gaya. Highlight-nya ketika Cruella mulai menyulut kekacauan yang oleh para pembencinya bakal disebut "vandalisme". Bukan lewat baku hantam atau kejar-kejaran (meski tetap ada), melainkan "battle of fashion". Layaknya figur punk rock yang melempar statement tegas tanpa omong kosong ke muka publik, Cruella menghebohkan sekaligus memukau seisi London melalui pameran busana-busana unik yang mencerminkan etika DIY dalam punk.

Saya pun terpukau. Jenny Beavan, yang sebelumnya memenangkan Oscar berkat karyanya di Mad Max: Fury Road (2015), mendesain kostum-kostum yang rasanya pantas dideskripsikan dengan kata "breathtaking". Indah, glamor, berkarakter. Kostumnya sendiri menyuarakan statement bernada perlawanan atas norma-norma serta kesaklekan. 

Jika drama kerap sebatas numpang lewat, tidak dengan presentasi kostumnya. Penyutradaraan Craig Gillespie (Lars and the Real Girl, I, Tonya) membuat penonton seolah sedang menyaksikan peragaan unik nan megah, tiap Cruella memamerkan busana terbaru. Satu-satunya kelemahan Gillespie adalah dalam usahanya membuat Cruella seasyik mungkin, memakai lagu-lagu ikonik dari era 1960-an dan 1970-an yang mengiringi nyaris semua peristiwa. Tentu nomor-nomor macam Feeling Good, Should I Stay or Should I Go, hingga Come Together mendorong kita ikut bersenandung, tapi pemakaian berlebih membuat filmnya seperti jukebox berdurasi dua jam lebih. 

2 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Vibenya The Devil Wears Prada feat. Oceans Eleven

people90s mengatakan...

kirain bukan aku aja ngerasain over exploding musik2nya... tp sangat terhibur sih... apalagi liat vespanya...