REVIEW - PERSEPSI

12 komentar

Menonton Persepsi sama halnya anda mencoba menjawab pertanyaan, "Klub basket apa yang jadi favorit saya?". Lalu setelah melakukan pencarian lewat proses yang rumit, saya berkata, "Jawabannya adalah, TIDAK ADA. Karena saya tidak suka basket. BAM! Mindblowing kan?". 

Pasti anda kesal karena merasa dibohongi. Begitulah Persepsi, yang jadi debut Renaldo Samsara selaku sutradara (sebelumnya menulis naskah I Am Hope dan Cinta itu Buta). Naskah turut ditulis olehnya, bersama Matthew Hart yang merangkap co-director. Naskah yang ambisius, pretensius, kacau, dangkal, pula ditutup dengan twist curang, yang membuat segala hal yang muncul sebelumnya terasa percuma. 

Pertama kita diperkenalkan kepada Rufus Black (Arifin Putra) si ilusionis ternama, yang berniat membuat reality show berhadiah satu juta dollar, di mana empat peserta ditantang tinggal selama lima hari, di rumah sang ilusionis yang berada di pulau terpencil. Bukan rumah biasa, melainkan bekas terjadinya pembunuhan sadis. Konon beberapa penyewa cuma kuat bertahan beberapa hari. 

Paragraf di atas merupakan deskripsi alur sederhana, bahkan klise, yang dapat dengan mudah disampaikan oleh film horor buruk sekalipun. Tapi hal sederhana itu bahkan gagal dilakukan oleh Persepsi, yang akibat narasi berlubang-lubang, menyulitkan penonton memperoleh pemahaman, bahkan soal poin-poin mendasar. Padahal durasinya cuma 52 menit. Sedikit tambahan eksposisi takkan melukai filmnya (bahkan bisa memperbaiki). 

Alur bergerak cepat. Terlalu cepat malah, seperti motor peserta balapan liar yang akhirnya kehilangan kendali. Mendadak kita diperkenalkan pada keempat peserta: Laila (Hannah Al Rashid), Michael (Nino Fernandez), Lingga (Irwansyah), dan Andrea (Nadine Alexandra). Empat individu dengan penokohan nyaris kosong. 

Michael adalah ayah tunggal yang butuh uang untuk biaya pengobatan anaknya, Lingga memiliki restoran, Laila seorang pengacara, sementara Andrea ikut serta bukan karena uang, tetapi.....entahlah, cuma itu karakteristik yang naskahnya berikan. Sifat mereka kurang lebih sama, kecuali Lingga yang kerap bersikap brengsek. Apakah inkonsistensi Michael yang kadang menyebut dirinya "aku", kadang "saya", bahkan dalam satu kalimat, juga terhitung karakteristik? 

Apakah mereka asing terhadap satu sama lain? Sepertinya begitu. Tapi bagaimana Lingga tahu anak Michael tengah dirawat di rumah sakit, kalau penjelasan tentang itu tidak ada sebelumnya? Entah ada banyak bagian yang dipangkas, atau memang para pembuatnya tidak memedulikan kelayakan bercerita. Renaldo Samsara dan Matthew Hart bak hanya mengincar gaya, sebab begitu tiba di lokasi, anda akan langsung menyadari bahwa hampir 100% filmnya dikemas memakai sudut pandang orang pertama, kecuali di beberapa bagian flashback (we'll get into this flashback later).

Bukan seperti mockumentary standar, karena perspektif bukan berasal dari kamera yang dibawa karakter, melainkan mata karakter itu sendiri, pun rutin berpindah dari satu orang ke orang lain. Sebenarnya pilihan teknis ini bisa berdampak signifikan (baca: bukan gaya-gayaan semata). Sudut pandang orang pertama dapat memberi kesan immersive, dan adanya empat sudut pandang, memungkinkan tercapainya kesadaran akan dimensi ruang secara menyeluruh. 

Sayang, semuanya berhenti di ranah potensi. Ada beragam bentuk teror, dari jump scare khas horor mistis, hingga gore. Kengerian gagal ditemukan akibat kekacauan. Kekacauan dalam hal apa? Nyaris segalanya. Pilihan shot yang kurang mendukung, timing perpindahan perspektif yang tidak tepat, penyuntingan membingungkan, sampai penceritaan. Bagaimana mungkin merasakan kengerian bila penonton kesulitan memahami apa yang sedang mengancam karakternya? Bukan, ini bukan penerapan prinsip "the scariest thing is the unknown", melainkan sebatas penuturan kacau. 

Alurnya nonlinear, terus berpindah dari masa kini ke masa lalu kala tragedi menimpa keluarga Lewis Ford (Cornelio Sunny). Seperti terdapat niat membangun koneksi antar kedua linimasa, namun lagi-lagi, penceritaannya terlalu berantakan untuk bisa dinikmati. Pun sekali lagi, amat buru-buru. Di penghujung hari kedua, salah satu peserta memilih berhenti. Tibalah adegan perpisahan, yang didesain guna memancing kesedihan penonton, tapi rasa tersebut tak pernah muncul, sebab mengenal karakternya saja tidak, apalagi peduli. Hari ketiga dan keempat berlalu begitu saja. 

Kemudian sampailah kita di konklusi yang dilengkapi twist sebagaimana sudah saya sebutkan. Twist yang jadi puncak dari segala kecurangan twist mana pun. Twist yang membuat keseluruhan filmnya tidak berguna, termasuk upaya eksplorasi kisahnya perihal persepsi. Twist yang mematikan segala potensi filmnya. Karena apabila kelemahan-kelemahannya diperbaiki pun, menjadi percuma gara-gara twist ini. Twist yang memantapkan status Persepsi sebagai salah satu film terburuk tahun ini. Oh, dan jika anda membaca tentang banyaknya bintang mengisi film ini (Nirina Zubir, Samuel Rizal, Acha Septriassa, dll.), entah di artikel, media sosial, IMDb, atau di halaman Bioskop Online, ketahuilah bahwa mayoritas cuma muncul beberapa detik di akhir sebagai cameo. 


Available on BIOSKOP ONLINE

12 komentar :

Comment Page:
reyzandi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
reyzandi mengatakan...

Bagusnya diceritakan saja twist paripurna abad ini bang seperti apa, supaya nanti pas nonton akan semakin terpesona dan tercengang bengang terburai burai 🤣😂

Anonim mengatakan...

Bang Rasyid, gw mau tanya walaupun agak oot.
Apakah filmmaker Indonesia gak malu buat film beginian terus menerus, sedangkan di level Asia tenggara aja sudah ada yg menang Palme D'or dan golden lion? bahkan apichatpong masuk nominasi lagi di Cannes.

Rufus Black mengatakan...

Bang spoilerin twistnya dong, penasaran seepik apa tapi ogah nonton

Rasyidharry mengatakan...

Overall, di Asia Tenggara, industri kita sebenernya ada di atas. Setara lah sama Thailand. Kalo mereka kelihatan lebih mentereng, karena orang sini kan tahunya felem-felem GDH & yg berjaya di festival. Di luar itu, yg jeleknya minta ampun juga banyak. Kalo Thailand terkenal di sirkuit festival, Filipina romcom mulai naik, Indonesia jadi sorotan di ranah film genre (horor, thriller, action). Ada keunggulan sendiri-sendiri

budi mengatakan...

ya bang menurut gue perfilman kita bakal lebih bagus dari thailand sama filipina kok peluang bagi kita bener bener terbuka lebar banget. karena menurut gue film thailand gak bagus bagus amat kalau orang indonesia suka bilang film kita isinya romansa,komedi sama horror mulu lihat lagi tuh yang thailand bener-bener.film thailand malah lebih mononton mereka menang di popularitas aja sedangkan masalah genre sama kualitas kita sekarang unggul kok dibandingin mereka.

btw film memoria itu gak bisa disebut film thailand.karena walaupun yang ngedirect orang thailand tapi karena yang maen bukan jadi gak bisa disebut film thailand 100 persen (yah kayak the raid)

ahmad mengatakan...

hahaha.saya juga bingung kenapa orang indonesia mikirnya perfilman kita tertinggal jauh sama thailand padahal realitanya malah sebaliknya.

kalau tentang cannes mah tahun depan kan ada mouly surya atau enggak pak garin nugroho (perias mayat?)

Rasyidharry mengatakan...

Nah, artinya yg terpenting strategi marketing (bukan berarti kualitas nggak penting ya). Industri & pemerintahnya bersatu buat bangun citra di mata dunia (long-term plan Korea selama puluhan udah menuai hasil sekarang, mau di award season atau blockbuster). Itu yg kurang di sini. Pemerintahnya nggak dukung, sineasnya saling berantem

Kalo soal Cannes (atau festival mana pun) tergantung line up juri. Mau menang ya sesuaiin sama selera juri. Personally nggak terlalu suka sama Prenjak, tapi jelas itu dibuat dengan target juri festival luar negeri. Makanya bisa menang di Cannes

Anon mengatakan...

Review film "CENSOR" bang. Rilis di situs torrent 18/19 juni

Oktabor mengatakan...

Rufus Black.. nama yang sangat Harry Potter vibes sekali hehe


Ilham Qodri mengatakan...

Yup, dan Malaysia = animasi

Anonim mengatakan...

@budi sumpah setuju banget lagi!!! Btw gw dulu yang pernah komen di postingannya bang Rasyid yang review film arwah tumbal nyai. Terus komenannya gw "Kok film Indonesia jelek sih gak kayak Bad Genius" terus bang Rasyid yg nyadarin gw katanya coba nonton film Thailand selain GDH dan wow emejing, terakhir nonton Oh My God Father cuman awal aja terus berhenti (karena menurut gw jelek). Jadi sekarang gw mikirnya, lebih bagus film2 Indonesia kalau mau liat keseluruhan. Tapi orang Indonesia gw rasa emg kebiasaan Denial sama negaranya sendiri, kayak ngerasa bangga kalau suka produk luar (Korea, Thailand) cmiiw. Btw jangan lupa review trilogi I Will Survive ya bang, gw nunggu2 banget tuh film