REVIEW - AJEEB DAASTAANS

1 komentar

Jika diterjemahkan, "Ajeeb Daastaans" berarti "cerita-cerita lucu". Bukan kelucuan berupa kekonyolan, melainkan kesan miris ketika takdir datang membawa ironi, kejutan, atau keanehan, hingga seseorang menertawakan nasibnya. 

Kisah pertama (Majnu) dibuka saat Babloo (Jaideep Ahlawat), tepat di hari pernikahannya, mengutarakan bahwa ia menikahi Lipakshi (Fatima Sana Shaikh) tanpa cinta dan semata demi bisnis (ayah Lipakshi adalah anggota dewan). Tahun-tahun berganti, Lipakshi yang kesepian menggoda pria-pria di sekitarnya, namun Babloo tetap menghindarinya. Lalu datanglah Raj (Armaan Ralhan), pemuda tampan yang menjadi akuntan baru Babloo.

Bisa ditebak, tumbuhlah cinta terlarang. Tapi Shashank Khaitan selaku sutradara sekaligus penulis naskah, sudah menyiapkan beberapa twist. Pertama, twist yang mengubah persepsi atas Babloo, menjadikannya sosok tragis. Dinamika pun berubah melalui rentetan peristiwa tricky yang mampu mengecoh ekspektasi. 

Twist kedua, walaupun menambah nilai hiburan sembari menghembuskan pesan "eat the rich" selaku bentuk balas dendam, berujung mengorbankan isu-isu lain yang tak kalah penting dan telah dibangun sejak awal. Biar begitu, selaku pembuka, Majnu memancing ketertarikan terhadap sajian berikutnya, yang sayangnya, justru nyaris membunuh antusiasme. 

Khilauna garapan Raj Mehta mengisahkan beratnya kehidupan asisten rumah tangga bernama Meenal (Nushrratt Bharucha), dan adiknya, Binny (Inayat Verma). Meski mengandung beberapa isu (power abuse oleh pria, kesenjangan sosial), substansinya tenggelam akibat twist yang dipaksa hadir hanya demi shock value, serta mengesampingkan logika terkait penokohan. Di titik ini, Ajeeb Daastaans nampak bak antologi yang hanya bergantung pada twist. 

Beruntung, dua segmen terakhir meruntuhkan citra negatif tersebut. Disutradarai Neeraj Ghaywan yang namanya terangkat pasca kesuksesan Masaan (2015) dan ditulis naskahnya oleh Sumit Saxena, Geeli Pucchi bicara soal kasta, gender, hingga identitas seksual. Bharti (Konkona Sen Sharma) adalah buruh pabrik yang dipaksa mengubur cita-cita mengisi posisi operator data, padahal ia lulusan berprestasi. Si atasan menyebut ketidakmampuannya mengolah Excel sebagai penyebab, tapi semua tahu, alasan sebenarnya adalah kasta. Bharti merupakan seorang dalit (kelompok kasta rendah yang diharamkan untuk disentuh). 

Posisi itu diberikan ke Priya (Aditi Rao Hydari). Bharti dan Priya bagai dua kutub berlawanan. Priya feminin, dari kasta terpandang, memenuhi standar kecantikan, sedangkan Bharti yang keras dan terkesan kurang ramah, kerap tak dianggap sebagai wanita (sebelum kedatangan Priya, perusahaan enggan menyediakan toilet wanita). Walau berseberangan, akhirnya mereka bersahabat, didasari persamaan nasib sebagai wanita. Sampai suatu sore di pinggir danau, seiring tatapan Bharti ke arah Priya (yang makin bermakna berkat akting non-verbal Sharma), hubungan mereka berkembang jadi romansa.

Diiringi musik melankolis indah, Ghaywan menyajikan tontonan yang jauh berbeda dibanding dua kisah sebelumnya. A lowkey, talky, substance over style drama. Bharti seorang wanita, berkasta rendah, dan gay. Bagaimana pun, nasibnya dan Priya tidaklah sama, sebab Bharti adalah marginal di antara kaum marginal, dan film ini jadi gambaran bittersweet, yang mempertemukannya dengan kenyataan itu. Jika menurut film-film crowd-pleaser kebaikan bakal meruntuhkan sekat apa saja, tidak dengan Geeli Pucchi selaku cerminan realita. 

Ankahi mengambil pendekatan serupa. Sederhana tapi menusuk. Bahkan lebih sederhana, sebab segmen garapan Kayoze Irani ini mengusung tema familiar, yakni keluarga dan percintaan. Natasha (Shefali Shah) kesal kepada sang suami, Rohan (Tota Roy Chowdhury), yang enggan belajar bahasa isyarat agar dapat berinteraksi dengan puteri mereka, Samaira (Sara Arjun), yang sebentar lagi kehilangan indera pendengarannya. 

Hingga pertemuan dengan fotografer tuli bernama Kabir (Manav Kaul), kembali memunculkan kebahagiaan dan api asmara Natasha yang telah lama padam. Manis. Kata itu sempurna mendeskripsikan segmen penutup ini. Kedua tokoh utama membangun romantisme tanpa tuturan verbal, namun bukan berarti tidak "berbicara". Menggantikan kata dari bibir yang (menurut Kabir) penuh kebohongan, mereka berkomunikasi lewat bahasa isyarat, mata, dan terpenting, hati. 

Geeli Pucchi dan Ankahi tidak ditutup oleh kejutan "WTF!" maupun tragedi, tapi menghasilkan kegetiran yang jauh lebih kuat, sebab penokohan protagonis, pula proses yang dilalui, digarap mendalam. Diskriminasi, percintaan dilematis, merupakan hal-hal yang hampir semua orang pernah alami dalam berbagai bentuk dan ukuran. Situasi yang tokoh utamanya hadapi pun terasa dekat (no bloodbath, no bigger-than-live con). Alhasil, meski sempat terjatuh di segmen kedua setelah lepas landas dengan baik, Ajeeb Daastaans tetap berhasil melakukan pendaratan secara mulus.


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
Uziek mengatakan...

Akhirnya nonton dan diulas juga..