Tampilkan postingan dengan label Florence Pugh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Florence Pugh. Tampilkan semua postingan

REVIEW - BLACK WIDOW

Negosiasi terkait pembuatan Black Widow sejatinya dimulai sejak 2010 (Lionsgate sempat memulai pra-produksi dari 2004, tapi itu adalah era sebelum MCU), tatkala MCU hendak memasuki Phase Two. Seperti kita tahu, akhirnya Black Widow justru jadi pembuka Phase Four, walau hasinya terasa bagai produk Phase Two (atau Phase One), dalam arti, spektakel yang memadai, layak tonton, namun tanpa elemen spesial yang bakal membuatnya terus diingat. 

Sadar atau tidak, Phase Three merupakan transformasi MCU menjadi franchise dengan kualitas konsisten, yang di tiap judul menawarkan keunikan (setidaknya untuk ukuran blockbuster). Entah konsep aksi, plot, maupun fan service berupa crossover ambisius. Begitu pula Phase Four, dan status selaku film perdana selepas Avengers: Endgame, yang hadir di tengah-tengah kemenangan beruntun MCU dalam medium serial televisi, semakin tak menguntungkan bagi Black Widow. 

Kisahnya mengambil latar seusai peristiwa Captain America: Civil War, kala Natasha Romanoff Scarlett Johansson) menjadi buronan pemerintah. Sejenak kita diajak mundur ke 21 tahun lalu, ketika dua agen rahasia Rusia, Alexei Shostakov alias Red Guardian si super soldier (David Harbour) dan Melina Vostokoff (Rachel Weisz), menjalankan misi penyamaran di Ohio. Keduanya membentuk keluarga palsu, dengan Natasha dan Yelena memerankan puteri mereka. Begitu misi usai, Natasha dan Yelena dimasukkan ke Red Room yang dipimpin Dreykov (Ray Winstone), sebuah program pelatihan untuk menciptakan pasukan wanita pembunuh. 

Tahun-tahun berlalu, dan seperti kita tahu, Natasha membelot ke S.H.I.E.LD., kemudian mendapat status pahlawan sebagai anggota Avengers. Yelena (Florence Pugh) tidak seberuntung itu. Dia baru belakangan berhasil lepas dari cuci otak Red Room. Singkat cerita, pasca konfrontasi dengan pembunuh misterius bernama Taskmaster, Natasha menyadari bahwa Dreykov masih hidup, begitu juga program Red Room. Terjadilah reuni antara Natasha dan Yelena dengan "orang tua" mereka, guna bersama-sama menghancurkan Dreykov. 

Ditulis oleh Eric Pearson yang sebelumnya menggarap naskah Thor: Ragnarok, tidak mengherankan bila keunggulan utama Black Widow terletak pada humor. Bukan humor "gila" seperti karya Waititi tersebut, melainkan celetukan yang kerap mengisi interaksi karakter. Di sinilah terbukti, Marvel memperoleh harta karun dengan merekrut Florence Pugh. 

Pugh mampu membuat sebuah kalimat terdengar menggelitik tanpa harus berusaha keras melucu (tapi momen ikoniknya adalah ketika mengolok-olok superhero landing pose Natasha). Salah satu tujuan film ini tak lain mengoper tongkat estafet kepada Yelena, dan sang aktris memastikan proses tersebut berjalan mulus. Yelena adalah sosok menarik, mudah disukai penonton, dan terpenting, jago berseloroh di sela-sela aksi, yang mana merupakan kekhasan mayoritas superhero MCU. Tanpa mengecilkan Johansson (yang dalam perpisahannya ini menunjukkan bahwa ia perwujudan sempurna Natasha Romanoff), Pugh berjasa besar menjaga dinamika film, sewaktu gelaran aksinya tidak sehebat beberapa installment MCU belakangan. 

Selaku sutradara, Cate Shortland (Lore, Berlin Syndrome) memang menghadapi tantangan besar perihal merangkai aksi filmnya. Black Widow bukan pemilik ilmu sihir macam Doctor Strange dan Scarlet Witch, juga tidak diberkahi kekuatan fisik di atas rata-rata manusia seperti Captain America maupun teknologi canggih layaknya Iron Man dan Ant-man. Alhasil, opsi pun terbatas pada ide yang lebih "membumi", semacam baku tembak, hand-to-hand combat, hingga kejar-kejaran mobil.

Tapi kita tahu Captain America: The Winter Soldier bisa mengatasi keterbatasan serupa, melalui koreografi serta camerawork mumpuni. Black Widow berujung generik akibat tidak memiliki itu, sewaktu trik standar melalui penyuntingan frantic kembali diandalkan. Klimaksnya punya satu momen menarik. Sebuah sekuen di udara, saat Natasha menyelamatkan Yelena, lalu bertarung melawan Taskmaster. Kreatif, intens, well-executed, namun sayang, berlangsung terlalu singkat. 

Potensi pada figur Taskmaster juga terlewatkan. Mari lupakan soal desain karakter, yang tidak seperti interpretasi MCU kebanyakan, bagai ingin tampak "realistis", sehingga kehilangan daya tarik versi komiknya. Kekuatan utama Taskmaster adalah kemampuan meniru gaya bertarung orang lain. Benar bahwa ia melempar perisai layaknya Captain America, menembakkan panah seperti Hawkeye, mengeluarkan cakar serupa Black Panther. Tapi adegan aksinya gagal menerjemahkan gaya unik Taskmaster menjadi sajian yang khas nan menonjol.

Terkait penceritaan, biarpun mempertahankan pendekatan ringan ala MCU, Black Widow di luar dugaan sempat menyentuh ranah lebih kelam. Adegan pembukanya (salah satu opening terbaik MCU), yang bergulir diiringi lagu Smells Like Teen Spirit versi Malia J, menggambarkan child trafficking secara menyakitkan. Pun kita melihat Natasha membicarakan keputusan "tidak heroik" yang pernah ia ambil di masa lalu. 

Jika dipersempit, filmnya mengusung dua tema besar: keluarga dan wanita. Tema keluarga, atau secara spesifik "chosen family", meski tak seberapa mendalam dan masih menyisakan ruang eksplorasi, dampak emosinya tersampaikan berkat kapasitas akting dramatik Johansson dan Pugh di babak akhir. Kondisi tema kedua agak berbeda. 

Gagasan yang Pearson bawa lewat naskahnya cukup berani. Program Red Room bak perwujudan praktik misogini, yang berniat melemahkan wanita baik secara fisik atau mental, guna mengambil kontrol atas kemerdekaan mereka. Berani, karena elemen serupa pernah menyulut kontroversi di Avengers: Age of Ultron, dan Pearson bukan cuma menyertakan elemen itu lagi, bahkan mengembangkannya (termasuk metode pamungkas yang dipakai Dreykov guna menggagalkan rencana Natasha). Meleset sedikit saja, alih-alih empowerment, justru aroma seksis yang tercium. 

Saya melihatnya sebagai upaya menebus dosa alih-alih menutup mata akan sesuatu yang terlanjur ada. Berhasilkah? Arah yang dituju sudah tepat. Third act-nya membawa Natasha membalas manipulasi, menggunakan manipulasi lain yang lebih cerdik. Tapi ada kesan keberhasilan tersebut kurang "dirayakan". Bisa jadi itu sengaja dilakukan agar penuturan pesannya lebih subtil, tapi andai naskah digarap oleh penulis wanita, mungkin hasilnya berbeda. 

Begitulah Black Widow. Solid, menghibur, namun aksinya minim unsur pembeda, sementara banyak potensi kisah dieksekusi dengan kurang matang. Minimal, tugas menutup suatu babak, sembari membuka babak baru, berhasil dijalankan. Scarlett Johansson memantapkan namanya di jajaran legenda MCU, sedangkan Florence Pugh memastikan franchise-nya punya masa depan cerah.  


Available on DISNEY+ (Premier Access) 

LITTLE WOMEN (2019)

Pada era #MeToo, apabila digarap oleh sineas lain, adaptasi layar lebar ketujuh dari novel klasik berjudul sama karya Louisa May Alcott ini bisa jadi lahan presentasi radikalisme SJW, di mana romantisme mungkin dihilangkan karena dipandang melemahkan. Tapi di tangan Greta Gerwig selaku sutradara sekaligus penulis naskah, Little Women berpesan secara sehat, dengan menyeimbangkan idealisme perihal kritik sosial dengan kompromi terhadap tuntutan industri. Justru keseimbangan semacam ini punya tingkat kesulitan paling tinggi.

Protagonisnya bernama Jo March (Saoirse Ronan), gadis muda yang berambisi meniti karir sebagai penulis. Beberapa cerita pendeknya berhasil diterbitkan di surat kabar, hanya saja sang editor mewajibkan agar Jo membuat tokoh utama wanitanya menikah di akhir cerita. Apakah Jo merupakan proyeksi Gerwig sendiri, yang berjuang menghadapi benturan idealis versus realistis sebagai seorang seniman? Mungkin baginya melahirkan karya ibarat pernikahan, di mana gagasan romantisme ideal mesti berkompromi dengan strategi ekonomi.

Kisahnya tersaji secara non-linear. Latar tahun 1868 membuka filmnya. Saat itu Jo menjadi guru di New York sembari tetap berusaha mewujudkan mimpinya menulis, mengharuskannya terpisah dari keluarganya. Jo punya tiga saudari: Meg (Emma Watson) yang mendambakan pernikahan dan kehidupan mapan, Beth (Eliza Scanlen) si pemalu, dan Amy (Florence Pugh) si bungsu yang paling bersemangat. Guna membawa penonton berkenalan dengan kepribadian masing-masing puteri keluarga March serta hubungan di antara mereka, alurnya rutin mundur ke tahun 1861, kala keempatnya tinggal bersama sang ibu, Marmee (Laura Dern), yang dikenal penyabar, sementara ayah mereka pergi berjuang di Perang Sipil. Meramaikan hidup mereka adalah kedatangan Laurie (Timothée Chalamet) si pemuda berkepribadian menyenangkan dari rumah mewah di seberang yang hatinya terpikat oleh Jo.

Tidak semua lompatan antar masa berjalan mulus, khususnya terkait pemilihan timing perpindahan yang acap kali lemah dalam membangun keterkaitan, tetapi pilihan gaya narasi ini bukannya tanpa tujuan. Jelang akhir, Jo dan Amy sempat terlibat diskusi singkat mengenai substansi kisah keluarga March diangkat menjadi sebuah novel. Berlawanan dengan Jo, menurut Amy, kehidupan domestik yang sekilas biasa itu bakal terasa berharga jika dituangkan ke dalam tulisan. Poin itu pula yang ingin dicapai Gerwig melalui cara bertuturnya. Bagaimana peristiwa-peristiwa masa lalu menjadi kenangan berharga yang terekam di memori karakter. Nantinya, dampak singgungan antara kedua masa tersebut memuncak dalam momen paling meremukkan hati milik filmnya.  

Semakin berharga, sebab seperti pada Lady Bird tiga tahun lalu, Gerwig masih piawai memancarkan kesan hangat sebuah rumah, yang lagi-lagi bukan sebatas dimaknai sebagai bangunan tempat berteduh, melainkan termasuk orang-orang tercinta juga kenangan-kenangan di sana. Kesan yang makin nyata berkat sinematografi Yorick Le Saux (I Am Love, Clouds of Sils Maria, High Life) plus orkestra gubahan Alexandre Desplat (Argo, The Grand Budapest Hotel, The Shape of Water). Kalau gambar-gambarnya serasa memeluk lembut, maka musiknya mencengkeram hati.

Gerwig pun masih mempertahankan sensitivitasnya menyulut getar-getar rasa melalui pemandangan humanis berbasis interaksi intim antar tokoh, sembari tetap bersedia menghembuskan sentuhan humor, termasuk melalui Aunt March (Meryl Streep) yang tak henti berpetuah mengenai kewajiban menikahi pria kaya. Penulisan Gerwig ditambah sisi witty Streep membuat wanita tua satu ini, meski sering terdengar menyebalkan, takan menjadi sasaran kebencian.

Little Women diberkahi ensemble cast jawara. Saoirse Ronan menampilkan beratnya kegamangan hati wanita yang mengidamkan kemandirian dan kebebasan sekaligus artis yang dihadang tembok tebal bernama “realita”; Emma Watson adalah Emma Watson yang kebintangannya sukar diredam; Florence Pugh begitu baik menangani kompleksitas individu egois yang sejatinya kerap terluka; dan Eliza Scanlen akan menarik simpati setelah tampil meyakinkan memerankan gadis lembut berhati emas. Di luar empat saudari tersebut masih ada Timothée Chalamet lewat pesona khasnya, serta Laura Dern yang menegaskan bahwa 2019 berada di genggamannya sebagai satu lagi karakter ibu penuh kasih dalam film Greta Gerwig.

Little Women ibarat wujud kedewasaan dan kebijaksanaan Gerwig, yang memahami betapa suatu perjuangan buta tanpa cinta yang sebatas didorong kebencian atau ambisi takkan berarti, seberapa benar dan besar perjuangan itu. Sesekali kompromi perlu dilakukan. Bukan berarti mengalah, melainkan merangkul. Sebagai penutup, mari membicarakan beberapa data. Filmnya memperoleh pendapatan $164 juta (empat kali lipat biaya produksi), banjir pujian dari kritikus (skor 95% di Rotten Tomatoes), memuaskan penonton umum (skor A- di CinemaScore), dan menyabet enam nominasi Academy Awards. Greta Gerwig berhasil merangkul banyak kalangan sehingga meraih kemenangan besar.

MIDSOMMAR (2019)

Setelah keluarga disfungsional dalam Hereditary plus beberapa film pendeknya seperti The Strange Thing About the Johnsons dan Munchausen, sutradara-penulis naskah Ari Aster giliran mengangkat romansa disfungsional berlatar paganisme melalui Midsommar yang memantapkan statusnnya sebagai salah satu sineas horor modern paling mumpuni. Film putus cinta tidak pernah segila, setragis, dan semengerikan ini.

Pasangan yang bermasalah adalah Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor). Keduanya sama-sama tengah mempertimbangkan mengakhiri hubungan. Dani dengan gangguan kecemasannya khawatir terlalu membebani sang kekasih, sementara Christian pun merasa terperangkap oleh curhatan tanpa henti dari Dani. Tapi selepas tragedi yang merenggut nyawa seluruh keluarga Dani, niatan tersebut diurungkan.

Bahkan Christian berujung mengajak Dani turut serta bersama kedua kawannya, Mark (Will Poulter) dan Josh (William Jackson Harper), menghadiri undangan Pelle (Vilhelm Blomgren) mengunjungi perayaan tengah musim panas di Hälsingland, Swedia, yang diadakan Hårga, komune tempatnya tumbuh. Aster membangun tempat di mana matahari selalu terbit, dan dibantu sinematografi Pawel Pogorzelski (Hereditary, Tragedy Girls) yang mengedepankan pewarnaan lembut, tercipta kehangatan aneh, ketika harmoni berlebih justru mencuatkan rasa ngeri.

Benar saja, keramahan dan kedamaian segera berubah jadi teror kala orang-orang Hårga mulai melangsungkan ritual demi ritual, yang memperlihatkan kejelian Aster selaku penulis dalam melahirkan mitologi berdasarkan tradisi-tradisi masyrakat Eropa masa lalu. Berbanding durasi 147 menit (atau 138 menit versi sensor Indonesia) miliknya, secara kuantitas, sadisme Midsommar sejatinya tak seberapa, namun berdampak tinggi berkat penempatan presisi, ibarat gelegar petir mengejutkan pemecah keheningan.

Mengangkat horor paganisme yang sesekali menyelipkan kritik soal keengganan manusia (dalam konteks film ini, remaja) modern dari kota menghormati adat, Midsommar tetap konsisten membangun penelusuran tentang terkikisnya sebuah hubungan. Apakah Dani bersikap berlebihan, ataukah Christian memang pria egois nihil kepedulian? Nantinya film ini menawarkan jawaban setelah melalui observasi bertahap yang dibungkus alur bertempo medium cenderung lambat.

Menangani perjalanan menyakitkan karakternya yang kerap mengalami serangan kecemasan, Florence Pugh bukan mengekspresikan kesedihan biasa dalam sebuah performa luar bisa. Dia bak tercekik oleh kesedihan itu, yang bahkan dapat membuat penonton ikut dibuat sesak napas. Teriakannya menusuk, tangisannya menggetarkan.

Berdurasi hampir dua setengah jam ditambah pergerakan alur lambat, wajar bila Midsommar terkesan mengalienasi penonton umum. Tapi penyutradaraan Aster memastikan tidak ada momen filler, tatkala adegan sekecil dan sesingkat apa pun ia beri perhatian total lewat konsistensi permainan atmosfer creepy, yang berasal dari perilaku maupun ritual orang-orang Hårga, musik menghantui garapan Bobby Krilic (Triple 9), hingga sentuhan visual sureal bernuansa psikedelik.

Guna menjaga atensi penonton, Aster turut menerapkan misteri yang berhasil secara terus menerus memancing segudang pertanyaan, meski jawaban yang ditawarkan sejatinya kurang sebanding dengan apa yang disiratkan. Masih mengandung kegilaan khas sang sutraara, namun dari perspektif horor, konklusi Midsommar bukan suatu sentuhan baru, bahkan cenderung pengulangan Hereditary (ada lokasi terlarang tempat dilakukannya hal sinting) plus inspirasi dari The Wicker Man. Tapi terkait tuturan mengenai putus cinta, ending-nya merupakan katarsis memuaskan, kala Ari Aster menyamakan mantan kekasih berperangai buruk dengan setan jahat yang mesti dimusnahkan.


NOTE: Walau amat disayangkan, penyuntingan sensor Midsommar yang sebenarnya cukup panjang (adegan kental unsur seks jelang akhir), ternyata dilakukan dengan rapi. Jika tidak tahu soal fakta filmnya disensor, bisa jadi anda takkan menyadarinya. Walau berpengaruh terhadap kegilaan babak ketiga serta studi karakternya, keseluruha substansi film tetap dapat ditangkap. Jadi jangan ragu menyaksikannya di bioskop.