REVIEW - BULADÓ

Tidak ada komentar

Kata "buladó" memiliki "ikan terbang". Tepatnya ikan terbang berukuran sedang cenderung besar dengan sayap berwarna gelap. Kata tersebut muncul dalam sebaris doa milik suku asli Curaçao, negara pulau yang berada di bawah konstitusi Belanda. Bunyinya dalam Bahasa Inggris, "Flying fish can't drown". Doa itu dipanjatkan bagi arwah leluhur, yang mewakili kepercayaan bahwa kematian bukanlah akhir. Kematian mesti diterima sebagai bagian kehidupan.

Tentu mempercayai itu tidaklah mudah, apalagi saat budaya kepercayaan makin terkikis oleh modernisasi. Sebagai polisi berpikiran rasional, Ouira (Everon Jackson Hooi) menampiknya. Itulah mengapa, selepas bertahun-tahun, duka akibat kematian sang istri belum juga sembuh. Dia jarang mengunjungi makam. 

Sebaliknya, Weljo (Felix de Rooy), ayah Ouira, masih sangat memegang teguh budaya leluhur, menolak sentuhan modern, membangun pohon pemujaan dari rongsokan, sehingga dianggap gila oleh warga. Gesekan kepercayaan itu merenggangkan hubungan mereka. Terlebih saat Ouira berniat menjual tanahnya ke pengusaha kulit putih. 

Tapi Buladó, yang mewakili Belanda di ajang Academy Awards 2021, tak berfokus pada keduanya, melainkan menyoroti si generasi ketiga, bocah 11 tahun bernama Kenza (Tiara Richards). Kenza, yang terhimpit di antara prinsip ayah dan kakeknya, kerap memancing masalah di sekolah, entah karena bolos atau berkelahi. "Mungkin ia merindukan sosok ibu", ucap kepala sekolah, yang dibantah oleh Ouira, "Bagaimana bisa merindukan sesuatu yang tidak pernah kita punya?". 

Memori Kenza tentang ibunya memang nyaris tidak ada. Tapi benarkah tiada kerinduan? Sutradara Eché Janga, yang merupakan keturunan orang asli Curaçao, menulis naskah film ini bersama Esther Duysker, (salah satunya) untuk mempertanyakan hal di atas. Sebab apabila mengacu ke budaya Curaçao, jalinan hubungan keluarga tak cuma berhenti di ranah fisik, melainkan spiritual. 

Alurnya mengentengahkan proses protagonisnya mencari jawaban, lewat perpaduan coming-of-age, cerita religi (yang benar-benar menekankan religiusitas), dan magic realism. Muncul adegan saat Kenza berbaring di atas makam ibunya. Matanya terpejam, warna langit berubah, semilir angin menyentuh badannya. Secara kasat mata, tidak ada hal signifikan terjadi, dan bukankah hembusan angin merupakan fenomena alam biasa? 

Pemikiran rasional tentu berkata demikian, namun di titik tersebut, Kenza yang tadinya menaruh skepktis terhadap kakeknya, mulai membuka hati, membuka ruang spiritual, walau tidak disengaja. Rasanya kita pun kerap mengalami peristiwa serupa, ketika semesta seolah berbicara, yang acap kali kita tolak dengan pernyataan, "Ah, cuma perasaan saja".   

Menurut Buladó, dengan magic realism miliknya, semua itu bukan sekadar perasaan atau kebetulan. Memang semesta sedang bicara, namun hanya mereka yang mau "merasakan" yang dapat mendengarnya, atau dengan kata lain, "menyatu dengan alam". Perihal membangun kesan magic realism, selain deretan lanskap indah hasil tangkapan Gregg Telussa selaku sinematografer, Janga banyak memakai angin. Seolah angin adalah perpanjangan tangan semesta. Angin sering terlihat menggerakkan benda-benda, pun lebih sering kita dengar dibanding kalimat dari mulut karakter. Ditambah musik buatan Christiaan Verbeek, Buladó makin terasa dreamy.

Apa yang perlu filmnya perbaiki (atau lebih tepatnya, tambahkan) adalah soal titik balik. Kita tahu "adegan kuburan" merupakan titik balik Kenza menyikapi spiritualisme, namun bagaimana dengan prosesnya menerima konsep kematian? Bagaimana titik balik dari perjalanan Ouira memandang kepercayaan leluhur dan kolonialisme? Tentu kita melihat mereka pelan-pelan belajar, tapi dalam film, di mana penonton harus terikat secara emosional, perlu ada titik balik yang pasti. Bukan berarti Buladó mesti menambah dramatisasi layaknya tontonan arus utama. Justru sebaliknya, dari situlah ia bisa memaksimalkan estetika pembungkus keajaibannya. 


Watched it on EUROPEAN ON SCREEN 2021

Tidak ada komentar :

Comment Page: