REVIEW - ROSA'S WEDDING

Tidak ada komentar

"Selamat menempuh hidup baru". Begitu ucapan yang sering diterima mempelai saat melangsungkan pernikahan. Sebenarnya tidak keliru, sebab menikah memang suatu babak baru. Menjadi kurang tepat, ketika muncul anggapan, bahwa membuka lembaran baru harus melalui pernikahan. Bahwa agar bisa menekan tombol "reset", perlu ada kehadiran orang lain dalam hidup kita. 

Di usia 45 tahun, Rosa (Candela Peña), seorang ibu tunggal, hidup dengan kesibukan luar biasa. Di luar pekerjaan sebagai penjahit kostum film yang sudah memakan banyak waktu, ia masih meluangkan tenaga mengurus keluarga. Kedua saudaranya, Armando (Sergi López) dan Violeta (Nathalie Poza), terlalu sibuk sehingga tak sempat mengurus ayah mereka, Antonio (Ramón Barea), yang kesehatannya mulai menurun. Tanggung jawab itu diberikan pada Rosa. Belakangan, Antonio mengutarakan keinginan tinggal bersama di apartemen sang puteri.

Bukan itu saja, tiap malam Rosa juga mengurus anak-anak Armando, kucing temannya, hingga tanaman tetangganya yang berlibur selama 20 hari. Rosa sibuk memuaskan orang lain, tapi pernahkah ia memuaskan diri sendiri? Beban pikirannya masih ditambah soal puterinya, Lidia (Paula Usero), yang hidup kekurangan bersama suami dan anak kembarnya di Manchester (filmnya berlatar di Valencia). 

Adegan pembuka Rosa's Wedding memperlihatkan mimpi protagonisnya, kala menjalani maraton, sementara di sepanjang jalan, keluarganya tak henti melempar dukungan. Alih-alih bersemangat, Rosa malah terganggu. Begitulah kehidupan Rosa. Semua orang punya ekspektasi atas dirinya, berteriak agar ia jadi yang terbaik, dan itu justru memberi beban. Di akhir mimpi, walau sudah melewati garis finis, Rosa tetap berlari. Dia berlari bukan demi memenangkan lomba sebagaimana diharapkan orang-orang, tapi untuk kepuasan pribadi.

Naskah buatan Icíar Bollaín (juga bertindak selaku sutradara) dan Alicia Luna membawa karakter utamanya mengambil langkah berani. Rosa yang lelah, memilih pulang ke kampung halaman, mengunjungi toko tempat mendiang ibunya membuat pakaian semasa ia kecil, kemudian mengirim berita dadakan bagi keluarganya: Dia akan menikah. 

Bukan pernikahan biasa, dan saya takkan membocorkan rencana Rosa, tapi dari paragraf pembuka tulisan ini, yang merupakan pesan utama filmnya, mungkin anda sudah bisa menerka. Pastinya, seluruh anggota keluarga terkejut. "Kenapa tiba-tiba?", tanya mereka. Rosa memiliki kekasih bernama Rafa (Xavo Giménez), namun hubungan keduanya dipandang belum seserius itu. 

Tapi toh kebingungan serta keterkejutan itu tidak menghalangi mereka bersikap seperti biasa. Mengontrol kehidupan Rosa. Armando dan Violeta langsung memilihkan gaun, bahkan menyewa balai kota sebagai lokasi pernikahan, tanpa berdiskusi dengan sang pengantin. Berkali-kali muncul perkataan, "Rosa, ini pernikahanmu, jadi kamu harus melakukan yang terbaik". Pertanyaannya, "Terbaik bagi siapa?". Dan jika ini pernikahan Rosa, mengapa ia tak berkesempatan bersuara? 

'Rosa's Wedding' hits too close to home. Rasanya mayoritas dari kita pernah dibuat jengah oleh kontrol keluarga, yang mengatasnamakan niat "agar kita mendapatkan yang terbaik". Niat yang (mungkin) sebenarnya baik, namun kerap disalahgunakan sebagai alat penyalur ego. Satu hal lagi sering dilupakan. Sebelum menjadi makhluk sosial, sebelum menjalani peran sebagai anggota keluarga, manusia adalah individu, sehingga harus membahagiakan diri sendiri dahulu sebelum membahagiakan orang lain. 

Penyutradaraan Bollaín memastikan penonton ikut merasakan lelah dan kesalnya Rosa, yang terjebak di tengah berondongan omongan-omongan (kadang teriakan) keluarga. Beberapa kali kepenatan suasana dikemas secara menggelitik, walau timbul kesan kalau Bollaín terlalu khawatir filmnya terkesan konyol, sehingga menekan banyak potensi humor.

Penampilan Candela Peña, dengan kepiawaian menghidupkan frustrasi yang terpendam, makin memudahkan kita mendukung Rosa, berharap di satu titik ia bakal berdiri tegak dan berkata, "Tidak!". Seperti halnya humor, Bollaín pun cenderung meredam dramatisasi film ini. Hasilnya agak mixed. 

Ada satu momen, selaku resolusi konflik Rosa dan Lidia, yang dikemas sederhana, tanpa musik, dibungkus memakai close-up guna menyoroti akting kedua aktris. Momen itu berhasil menangkap keintiman hubungan ibu-anak. Efek serupa sayangnya tidak muncul di penghujung cerita. Setelah melalui rentetan kekesalan bersama karakternya, keputusan Bollaín meredam dramatisasi malah mengurangi emotional payoff. Serasa masih ada rasa yang bergejolak, tertahan untuk dikeluarkan dari dalam dada.

Tapi itu tak mengurangi relevansi dan kehangatan Rosa's Wedding, yang seiring berjalannya durasi, mengungkap kalau semua anggota keluarga menyimpan masalah. Armando dengan pernikahannya, Violeta dengan pekerjaannya (memberi kesempatan Poza menambah kompleksitas si tokoh, lewat performa yang memberinya piala Goya Awards kedua sepanjang karir), Lidia dengan kondisi perekonomiannya, Antonio dengan duka sepeninggal sang istri yang belum kunjung sembuh.

Apakah keputusan Rosa mengejar kepuasan pribadi, biarpun bukan cuma dirinya yang tertekan, merupakan wujud egoisme? Tentu tidak. Pertama, naskahnya memastikan bahwa kondisi tersebut turut memunculkan dilema di batin Rosa. Kedua, Rosa's Wedding bukanlah soal "tak mengacuhkan masalah keluarga". Sebaliknya, ia mengembalikan konsep keluarga ke akarnya, yaitu kebersamaan. Keluarga harus saling mendengar, harus adil, lalu mengatasi kesulitan bersama-sama, ketimbang melimpahkannya ke satu orang saja.


Watched it on EUROPE ON SCREEN 2021

Tidak ada komentar :

Comment Page: