REVIEW - A HERO

4 komentar

Ketika SD, saya suka sekali PPKn. Bukan karena materinya, tapi sebegitu mudahnya mendapat nilai 100 di mata pelajaran tersebut. Batasan antara benar dan salah begitu kentara. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul di ulangan adalah, "Apa yang harus dilakukan bila kamu menemukan uang di jalan?". Tentu mengembalikan ke sang pemilik" jadi jawabannya. Dulu saya berpikir, bila berperilaku sesuai jawaban soal PPKn, saya akan hidup bahagia sebagai warga negara yang baik. 

Sayangnya realita tidak sesederhana ulangan PPKn, dan A Hero garapan Asghar Farhadi memotret kompleksitas tersebut, di mana definisi "berbuat baik" dipertanyakan. Kasusnya sama seperti soal di atas. Rahim (Amir Jadidi), yang dipenjara akibat gagal membayar utang, mencuri simpati publik pasca mengembalikan tas berisi koin emas, yang konon ia temukan saat sedang mendapat jatah dua hari keluar dari penjara. 

Namanya dielu-elukan. Bagaimana tidak? Seorang narapidana yang terlilit kesulitan finansial, memilih bertindak jujur, walau berpeluang mengambil emas yang dapat dipakai melunasi utangnya. Penonton rasanya setuju. Kita lebih dulu tahu beberapa rahasia Rahim sebelum tokoh-tokohnya, tapi sulit menampik kesan, bahwa di luar kesalahan-kesalahannya, ia memang orang baik. 

Baik keluarga maupun kenalannya, menyambut kepulangan Rahim selama dua hari dengan hangat. Pembawaan Jadidi pun memperkuat kesan itu. Senyumnya memancarkan kerendahan hati, layaknya pria kampung yang mendadak berkesempatan muncul di televisi nasional. Ada kebanggaan bercampur rasa malu. Tapi seiring waktu, bersamaan dengan berbagai titik balik yang dilempar Farhadi, Jadidi juga membawa ambiguitas ke dalam permainannya.

A Hero bermula sebagaimana drama biasa. Secara lebih spesifik, drama khas Iran yang kerap kita temui di festival-festival. Rahim mesti berurusan dengan Bahram (Mohsen Tanabandeh) yang "memenjarakannya", menata hubungan dengan puteranya (Saleh Karimai) yang mempunyai gangguan bicara, sembari diam-diam menjalin asmara dengan kekasihnya, Nazanin (Sarina Farhadi kembali tampil di film ayahnya sejak A Separation). 

Tapi jika anda familiar dengan karya-karya Farhadi, tentu tahu, walau berkutat di tema serupa, sang sutradara mengusung gaya yang berbeda dibanding para kompatriotnya. Bukan cuma urusan tempo. Jumlah shot Farhadi lebih banyak, misalnya dibanding nama-nama seperti Jafar Panahi atau Abbas Kiarostami yang menggemari gambar statis. Hasilnya lebih dinamis, sekaligus (agak) lebih bersahabat untuk penonton awam. 

Maka terasa wajar tatkala A Hero pun bergerak ke arah yang berbeda. Makin jauh alur bergulir, makin jauh juga A Hero beranjak dari wujud drama konvensional. Lalu makin banyak fakta mengejutkan terungkap, makin sukar ditebak arahnya. Tetapi lebih sukar lagi mendefinisikan "kebaikan" di sini. 

Apakah Rahim memang berbuat baik? Ataukah itu sebatas kewajaran yang tak semestinya dirayakan? Adakah perbedaan antara "kebaikan" dengan "niat baik"? Apakah kebaikan kehilangan nilainya bila didasari niat yang kurang baik? Menjadi semakin runyam, sewaktu kebaikan dibenturkan dengan kepentingan-kepentingan, permainan bersenjatakan media, dan kultur modern media sosial. A Hero jadi gambaran, betapa di era post-truth seperti sekarang, pemaknaan atas kebaikan dan kebenaran tidak lagi semudah menjawab soal ulangan PPKn. 

Kemasannya tidak melulu serius. Naskah buatan Farhadi kental satir, yang secara cerdik dan tajam, mengajak kita menertawakan kekonyolan para "pentolan" era post-truth. Terkait penyutradaraan, Farhadi masih jagonya membungkus perdebatan. Bahkan aksi tukar opini yang tak dibarengi teriakan-teriakan pun mampu tersaji intens. Tapi pengarahan terbaiknya hadir di shot penutup, ketika menunjukkan garis batas antara kebebasan dan kungkungan. Garis yang terlihat tipis, namun sejatinya amatlah tebal.


(JAFF 2021)

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

ini ntar masuk bioskop ga?

Rasyidharry mengatakan...

Langsung ke prime video. Yaah, tapi dasarnya emang bukan tipe yang bakal masuk bioskop sini sih

Unknown mengatakan...

Sinema iran selalu keren

Hadi Alkatiri mengatakan...

Ralat sinopsisnya bang. Kekasih Rahim itu Farkhondeh, bukan Nazanin, anak Bahram