REVIEW - KADET 1947

2 komentar

Para kadet tanpa pengalaman terbang, melaksanakan misi pemboman udara pertama Indonesia. Sebuah premis yang "seksi". Menggoda, karena bisa ditarik menuju banyak aspek. Tontonan perang epik? Bisa. Cerita from-zero-to-hero? Bisa. Kisah pemantik nasionalisme? Jelas bisa. Bahkan mungkin inilah yang paling utama. Bagaimana kecintaan terhadap tanah air mampu menyulut semangat pemuda untuk menantang kemustahilan. 

Rahabi Mandra dan Winaldo Swastia menyutradarai sekaligus menulis naskah film ini, yang ide pembuatannya muncul kala sang produser, Celerina Judisari, membaca artikel Pemboman Udara Pertama Indonesia yang dipublikasikan Historia. Jika artikel tersebut merangkum jalannya misi secara detail, maka Kadet 1947 berusaha mengelaborasi kisah yang melatari peristiwa itu. 

Ada tujuh kadet yang terlibat: Sutardjo Sigit (Bisma Karisma), Mulyono (Kevin Julio), Suharnoko Harbani (Omara Esteghlal), Bambang Saptoadji (Marthino Lio), Sutardjo (Wafda Saifan), Dulrachman (Chicco Kurniawan) dan Kapoet (Fajar Nugra). Tapi nantinya, cuma Sigit, Mulyono, Harbani, Saptoadji, dan Sutardjo yang benar-benar diberi porsi memadai. Sisanya sebatas pelengkap, atau comic relief. 

Mereka bertugas di markas TNI AU Maguwo, dibawah pimpinan Adisucipto (Andri Mashadi), yang nantinya sempat digantikan oleh Halim Perdana Kusuma (Ibnu Jamil) kala ia menjalankan misi ke luar negeri. Di antara ketujuh kadet, Saptoadji paling berhasrat untuk terbang, terlibat langsung di medan pertempuran yang dipicu Agresi Militer I Belanda. Keinginan itu membuatnya kerap terlibat masalah, hingga berkonflik dengan Harbani dan Mulyono. Sedangkan Sigit konsentrasinya terpecah, antara memenuhi impian menjadi pilot, dan kerinduan terhadap sang kekasih, Asih (Givina Lukita), yang kebetulan tinggal di zona berbahaya.

Jika film perang sarat aksi yang anda harapkan, maka bersiaplah kecewa. Berdurasi sekitar 111 menit, baru setelah satu jam filmnya menyuguhkan itu, sewaktu pesawat Belanda membombardir Maguwo. Hanya ada satu baku tembak singkat di antaranya, yang juga jadi sarana menampilkan Jenderal Soedirman (Indra Pacique), melengkapi cameo figur bersejarah selain Soekarno (Ario Bayu). Sisanya lebih menyoroti konflik internal antar kadet, serta sempilan misi yang rasanya merupakan sisi fiktif dari "kisah nyata" ini. 

Bukan masalah, mengingat para protagonisnya memang bukan figur-figur yang (semestinya) berada di garis depan. Masalahnya adalah, tatkala pemboman yang dinanti tiba, eksekusinya justru antiklimaks. Saya paham alasan pembuatnya lebih sering menyorot isi kokpit. Apalagi kalau bukan CGI. Biarpun kualitasnya cukup solid, menambah kuantitas tentu berisiko melahirkan momen-momen CGI yang tampak kasar. 

Tapi silahkan baca artikel Historia. Di situ ada banyak gambaran soal kesulitan para kadet di tengah misi, yang seluruhnya terjadi dalam kokpit. Kesulitan yang terjadi akibat keterbatasan sumber daya, pula minimnya jam terbang. Kadet 1947 mengesampingkan hal-hal yang berpotensi membangun intensitas klaustrofobik itu, lalu menyajikan pemboman yang harusnya jadi jualan utama secara ala kadarnya. Terlalu singkat, terlalu datar.

Padahal saya mengapresiasi bagaimana tim artistik mampu membangun tampilan filmnya dengan meyakinkan. Sebutlah bangkai-bangkai pesawat, hingga kampung tempat tinggal Asih yang terletak di tebing pinggir laut. Begitu juga keputusan Rahabi dan Winaldo, untuk menekan pesan-pesan nasionalisme agar tak berlebihan. Misal saat para kadet menyanyikan lagu Padamu Negeri. Di situ, kedua sutradara memilih menekankan keintiman alih-alih semangat menggebu. Keintiman tujuh pemuda, yang meski hati mereka terbakar api perjuangan, rasa takut akan kematian dan berpisah dengan orang-orang tercinta pastilah menggelayuti.

Paparan dramanya mungkin cenderung setengah matang. Selain Sigit, penokohan kadet-kadet lain kurang kedalaman. Begitu pula beberapa gagasan, termasuk "Apakah memiliki orang tercinta saat perang bakal membebani atau menambah motivasi?", yang sekadar dilontarkan namun tak pernah benar-benar dieksplorasi. Untunglah kedua sutradara sanggup menggulirkan penceritaan dengan baik, nyaman diikuti, lewat permainan tempo yang tepat guna. 

Departemen akting turut berjasa membuat Kadet 1947 layak diberi kesempatan. Marthino dan Bisma memang sempat tersandung pemakaian bahasa yang terlampau modern (sama-sama melontarkan "gitu dong"), namun itu bisa saja kealpaan naskah. Pun mengherankan ketika dua sutradara memilih membiarkannya (terutama adegan Bisma, di mana kamera menyorot langsung wajahnya). Di luar itu, solid. Bisma masih likeable, sementara Marthino membuktikan kepantasan sebagai salah satu "properti terpanas" industri film lokal belakangan ini. Berlawanan dengan Marthino, Kevin Julio adalah sosok underrated. Sejak Sweet 20 (2017) penampilannya selalu memuaskan, tetapi belum juga memperoleh pengakuan semestinya.

2 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Marthino lio lagi dalam sebulan inj..dari cinta bete, losmen buk broto,kadet belom ntr seperti dendam ..wow...karier bisa menyamai reza nih....padahal yg mirip mirip dia...refal hardy sinarnya biasa aj..trus ario bayu mirip marthino ..tapi karir lebih lumayan...tahun tahun karier cemerlang seorang martino lio nih...pandeminl ini

Anonim mengatakan...

bang review house of gucci dong kalau udah masuk sini