REVIEW - TICK, TICK... BOOM!

9 komentar

Seperti protagonis Tick, Tick... Boom!, saat ini saya berumur 29 tahun. Hanya tersisa beberapa bulan lagi menginjak "kepala tiga", yang kerap disebut "akhir masa muda". Belum menikah, belum merasa mapan, pula masih terombang-ambing antara terus menempuh jalur sesuai keinginan, atau mesti menyerah pada sistem. 

Mengadaptasi musikal berjudul sama karya Jonathan Larson, Tick, Tick... Boom! juga menandai debut penyutradaraan Lin-Manuel Miranda. Sulit dipercaya memang. Rasanya beberapa orang bakal mengira Hamilton dan In the Heights merupakan garapannya, melihat bagaimana nama Miranda jadi jualan utama. Pun terkait hasilnya, Tick, Tick... Boom! tidak seperti garapan seorang debutan. Sangat matang. 

Kisahnya bertindak selaku biografi Larson (Andrew Garfield), walaupun filmnya sendiri menyatakan bahwa ada beberapa bagian fiktif yang berasal dari imajinasi Larson (Tick, Tick... Boom! versi musikal panggung adalah semi-autobiografi). 

Terdapat dua latar waktu. Pertama tahun 1992, saat Larson mementaskan Tick, Tick... Boom! bersama kedua rekannya, Roger (Joshua Henry) dan Karessa (Vanessa Hudgens begitu mencuri perhatian di atas panggung). Pertunjukan itu berupa monolog, yang tak jarang bak stand-up comedy, sebab Larson justru mengajak penontonnya untuk menertawakan rentetan kemalangan yang ia derita. Ketimbang meratapi, sang seniman memilih merayakan ironi.

Kemalangan yang dimaksud, hadir pada latar waktu kedua filmnya, yakni 1990, tatkala Larson mempersiapkan lokakarya bagi musikal perdananya, Superbia. Sudah berkali-kali pitching-nya ditolak, dan kini Larson merasa hampir kehabisan waktu. Ulang tahun ke-30 makin dekat, namun belum juga ia meraih kesuksesan. Masih tinggal di apartemen bobrok, bekerja di sebuah diner, sementara kekasihnya, Susan (Alexandra Shipp) tengah mempertimbangkan menerima tawaran pekerjaan di kota lain. Pekerjaan yang tak sesuai impian, tetapi menjamin kestabilan ekonomi.

Di situlah dilema memuncak. Apakah menyerah jadi pilihan? Sahabatnya, Michael (Robin de Jesús), yang dahulu bercita-cita menjadi aktor broadway pun kini sudah banting setir bekerja di bidang periklanan, dan belum lama ini, pindah ke sebuah apartemen mewah. Ataukah sebaiknya Larson terus berjuang, walau ada risiko menemui kegagalan? Bagaimana jika kegagalan menghampiri setelah melakukan begitu banyak pengorbanan?

Naskah milik Steven Levenson mampu mewakili kegelisahan fase quarter-life crisis. Larson (dan para pemimpi lain di luar sana) memang ngotot, tetapi tidak naif. Bayangan-bayangan mengerikan seputar kegagalan pasti selalu terlintas. Mengerikan, sebab jika itu terjadi, besar kemungkinan tak cuma mimpi saja yang mati, pula prinsip, nilai-nilai, serta identitas diri. 

Jangan salah, Tick, Tick... Boom! bukan sedang menyalahkan orang-orang seperti Michael yang memutuskan berpindah jalur. Hal itu sah-sah saja. Menyerah pada realita bukan aksi pecundang, melainkan upaya mengejar kebahagiaan dalam bentuk berbeda. Naskahnya tidak "mendorong" agar kita terus mengejar mimpi, melainkan "merangkul" sembari menyatakan bahwa kengototan itu bukanlah kesalahan. Bahwa tidak masalah bila kita terus mencoba menggapai kesuksesan selepas menginjak usia 30 tahun.

Alurnya melaju cepat, pula bergerak cukup liar. Hanya dalam beberapa detik, satu rangkaian sekuen bisa terdiri atas begitu banyak shot, begitu banyak adegan, dari latar waktu atau situasi yang biarpun berbeda, masih terhubung oleh benang merah yang sama, guna mewakili suatu gagasan. Departemen penyutradaraan dan penyuntingan bekerja dengan amat baik, sehingga deretan kekacauan yang mewakili keliaran isi kepala sang tokoh (biopic yang bagus tidak hanya menceritakan kehidupan seseorang, tapi juga mewakili jiwanya) tetap terjalin rapi. 

Musikal adalah karya yang sangat ekspresif. Logika dikesampingkan demi memberi ruang bagi pengekspresian rasa. Saya menyebut Miranda tidak nampak seperti debutan, karena luar biasanya ia menuangkan rasa dalam kemasan sarat imaji. Beberapa CGI kasar memang mengurangi dampak emosi di beberapa titik, namun kekurangan itu dibayar lunas oleh momen-momen lain, termasuk konklusi powerful, tatkala sebuah lagu yang kita semua tahu, secara tidak terduga mengakhiri cerita dengan indah. 

Saya yakin Andrew Garfield bakal menyabet nominasi Oscar keduanya tahun depan (kemungkinan berhadapan dengan Will Smith, Leonardo DiCaprio, Denzel Washington, dan Benedict Cumberbatch). Inilah performa terlengkap sang aktor. Segala macam gestur dan ekspresi, baik besar atau yang cenderung subtil, dipamerkan. Terkadang ia jatuh, untuk kemudian bangkit. Terkadang ia kacau, sebelum mampu menata diri. Demikianlah dinamika hidup para pemimpi. Here's to the ones who dream.

(Netflix)

9 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Nomine oscar Will smith di film king richard..
Kalo Leo, Denzel & BenCum??

Omsanto mengatakan...

Leo: Don't Look Up
Denzel: The Tragedy of Macbeth
Benedict: The Power of the Dog

Chan hadinata mengatakan...

Busett.. cuma King Richard film bioskop

Anonim mengatakan...

Setuju banget bang, Andrew Garfield gila banget disini. Bakal sengit sih nih persaingan Oscar taun depan tapi bang gua mau tau pendapat lu, kalo Bradley Cooper di Nightmare Alley gmn bang menurut lu, kalo bagi gua pribadi ya Leo atau Don't Look Up itu memang bagus sih dan ceritanya memang anti mainstream lah, tapi kalo untuk list jadi jagoan nominasi untuk akting Nightmare Alley itu material Oscar banget bang dari sisi teknis apalagi (walaupun blm tau jg sih filmnya kaya gmn), Adam Driver di Gucci maupun Annette kayanya gabakal deh, maupun Gucci campaignnya kenceng karena ada Lady Gaga cuma review banyak yg bilang filmnya ya b aja, ga jelek jg, rata" pada mempermasalahkan accent nya kurang. Udah bakal lock bgt sama Will Smith, Cumberbatch, Denzel, Andrew Garfield (HARUS MASUK), mungkin satu lagi bakal ke Bradley sih bang campaign nya karena ngeliat trailer dan premis nya Alley aja udah menarik banget ditambah lagi euphorianya GDT. Kayanya kalo teknis kaya editing, sound kayanya Don't Look Up bakal melenggang mulus ke tangga nominasi, kalo Leo bagus sih cuma agak ragu aja sih dia untuk Best Actor taun depan bwt nominasi, tapi gatau sih bang lu mandangnya gmn?

yudhis mengatakan...

bang misalnya kalau abang umurnya belum mau masuk ke 30an bang bakal tetap terkesan gak sama nih film.kayaknya dari reveiw abang ada related sama jalan ceritanya.

Nouvaleka mengatakan...

Aku umur 21 dan relate buangettt sama ceritanya. Mewek banjir 5 kali! Hahaha. Andrew sama Lin talented parah.

Rasyidharry mengatakan...

Selalu bakal relate sih. Tanpa ngelihat umur, ceritanya masih tetep ngomongin soal "the ones who dream". Dan directing-nya warbyasa

Stevano gerald mengatakan...

That "Come to your senses" moment bikin ambyaar. Lagunya nggak mendayu dayu, tapi liat ekpresi Garfield berkaca2 ngebayangin pacarnya nyanyi itu edan gilaaak.

Satriya Widayanto mengatakan...

Sebagai orang yang lahir tahun 92, bisa nonton film ini tepat sebelum menginjak usia 30 di tahun depan adalah sebuah "tamparan" sekaligus "pelukan". Tamparan supaya sadar realita, dan pelukan sebagai bentuk perenungan hidup. Come to your senses, 92 liners!