REVIEW - EVERYDAY IS A LULLABY

2 komentar

Ketika protagonis Everyday is a Lullaby meluapkan amarahnya terkait pembodohan penonton oleh film Indonesia berkualitas rendah, tentu itu juga adalah isi hati para pembuatnya. Putrama Tuta selaku sutradara dan Ilya Sigma sebagai penulis naskah, yang telah berkolaborasi sejak Catatan Harian Si Boy (2011), jengah melihat penonton dianggap (dan dibuat) bodoh oleh kapitalisme industri. 

Tapi, film ini sendiri dibuka oleh teks yang kira-kira berbunyi, "Jika kalian mengira ini kisah cinta biasa, silahkan keluar". Diutarakan secara serius, alias bukan berupa lontaran humor, kalimat di atas jadi terdengar seperti wujud arogansi. Sebuah pernyataan, bahwa pembuatnya ada di tingkatan lebih tinggi dari penonton. Kalau merasa penonton bodoh, mengapa tidak berusaha memintarkan, alih-alih berkata, "If you don't understand this, then screw you!"? 

Dibuat sejak sekitar lima tahun lalu (sebelumnya berjudul Happy Birthday Everyday), film ini berkisah tentang Rektra (Anjasmara Prasetya), seorang penulis naskah yang ingin melahirkan mahakarya idealis, setelah merasa lelah membuat horor sensual, yang membuatnya meraup kesuksesan. Inspirasi didapatnya dari sang kekasih, Marisa (Fahrani Empel), terutama kehidupan seks mereka. Sampai Rektra bertemu Syakuntala (Raihaanun), dan dunia baru yang asing pun terbentang di hadapannya.

Seks vulgar, take panjang dengan still shot, anti-kemapanan, alur tanpa kepastian struktur, sentuhan surealisme, hingga elemen meta mengenai "seniman yang tersiksa", jadi pemandangan yang rutin mengisi Everyday is a Lullaby. Saya mengapresiasi keberanian pembuatnya mendobrak batas-batas demi ekspresi bebas. Sungguh. 

Tapi ini bak dibuat oleh individu yang meyakini dirinya tengah berada di puncak segalanya, tidak terkalahkan, sembari mengusung ambisi melawan dunia. Elemen-elemen yang saya sebut di atas sarat arogansi, di mana rentetan keabsurdannya, ketimbang upaya menstimulus otak penonton, cenderung terdengar bagai ucapan "Kalian tidak akan paham!". 

Penonton bukan dipancing guna memecahkan teka-teki, namun ditinggal, dibiarkan tersesat di antara potongan-potongan peristiwa, yang seolah sengaja disusun seacak mungkin. Bukan untuk memperkuat penceritaan atau menekankan poin tertentu, tapi cuma agar tersaji membingungkan. 

Minimal penampilan jajaran pemainnya memikat. Raihaanun dalam salah satu peran paling "ceria" sepanjang karirnya, beradu begitu apik dengan Anjasmara, yang sebaliknya, menumpuk seluruh kemuraman dunia. Mereka bersatu, menciptakan keseimbangan dalam interaksi dinamis, biarpun naskahnya gagal menyediakan isi pembicaraan yang menarik. 

Cerita tentang penulis yang saking menderitanya, seperti merasa dirinya mati setiap hari, lalu terlahir kembali keesokan harinya, hanya untuk kehilangan nyawa lagi, sebenarnya amat dekat. Semua orang yang secara reguler menulis pasti memahaminya. Tapi ketika cerita mengenai hal itu disampaikan menggunakan semangat "fuck-the-world-you-all-don't-understand-me", mungkin saja penderitaan tadi bukan (cuma) berasal dari ketidakmampuan pihak lain memahami sang artis, tapi juga kegagalan sang artis berempati terhadap pihak lain. 

(JAFF 2021)

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Jadi sepertinya Anjasmara mengulang sejarah ya, jadi pemeran utama di film yang "membingungkan", setelah Koper tahun 2006 silam. Tapi seneng ada satu lagi film yang matahin anggapan "kok pemain sinetron main film?"

mass_umam mengatakan...

Habis nonton film ini, ku merasa film ini masih terlalu abstrak buat dipahami penonton, padahal chemistri Rektra-Syakuntala sangat apik.