REVIEW - PERJALANAN PERTAMA

2 komentar

Di salah satu momen, karakter utama film ini mampir ke sebuah desa, di mana ritual kepercayaan yang melibatkan penyembelihan ayam tengah dilangsungkan. Di antara kerumumunan warga setempat, si karakter lalu berujar "Ini melanggar syariat!". Menontonnya di JAFF membuat momen itu makin terasa sureal.

Tapi saya takkan mempermasalahkan nilai-nilai itu lebih jauh. Begitu pula soal kaos bergambar Zakir Naik yang sepanjang film dipakai Yahya, tokoh bocah yang diperankan Muzakki Ramdhan. Biarlah. Apalagi Perjalanan Pertama tidak terang-terangan melempar pesan meresahkan. Saya lebih akan membahas, bagaimana karya terbaru Arief Malinmudo (Surau dan Silek, Liam dan Laila) ini, gagal menerapkan prinsip-prinsip road movie. 

Pak Tan (Ahmad Tarmimi Siregar) adalah pembuat cincin di sebuah desa kecil. Hubungannya dengan sang cucu, Yahya, tidak terlalu baik. Yahya jengah karena terus dibohongi kakeknya, tiap bertanya tentang identitas serta keberadaan orang tuanya. Sampai suatu hari, keduanya melakukan perjalanan bersama guna mengantar lukisan karya Pak Tan. 

Road movie yang bagus, mampu membawa tokoh-tokohnya belajar lewat perjalanan. Mereka belajar, berproses, berubah, dan berkembang. Baik masalah personal maupun interpersonal bakal menemukan jalan keluar. Perjalanan Pertama sudah meletakkan pondasi memadai, berupa konflik antara Pak Tan dan Yahya. Lucunya, bahkan sebelum vespa milik Pak Tan melaju, persoalan itu sudah terselesaikan. Yahya yang tadinya ketus, mendadak murah senyum, berbahagia, hanya karena bisa berjalan-jalan menunggangi vespa antik. 

Kekakuan antara Yahya dan sang kakek seketika lenyap. Lalu apa fungsi road trip mereka? Jawaban misteri terkait orang tua Yahya pun tidak membutuhkan perjalanan agar dapat diungkap. Pak Tan bersedia bicara, sebab Yahya berkata, "Kita bisa mati kapan saja. Apa kakek mau Yahya mati tanpa tahu tentang orang tua Yahya?". Benar. Kita bisa mati kapan saja, bahkan tanpa menempuh perjalanan jauh sekalipun. 

Harus diakui, naskah buatan Arief punya cukup rintangan guna membuat alur terus bergulir. Ditambah selipan humor serta iringan musik tradisional Minang yang turut memberi filmnya identitas, tuturan Perjalanan Pertama seputar "menjaga roda kehidupan agar terus berputar" masih nyaman diikuti, jika anda hanya ingin duduk santai menikmati hiburan ringan tanpa banyak berpikir.

Tapi sekali lagi, road movie adalah soal proses belajar. Tapi dalam tiap rintangan yang ditemui, karakternya malah lebih banyak (berusaha) mengajari orang lain ("patuhi syariat", "rawat anakmu dengan baik", dll.). Beberapa kali filmnya menekankan supaya kita "belajar dari alam", namun tak sekalipun kisahnya memperlihatkan proses tersebut. 

Plot device-nya juga sangat mengganggu. Masalah terbesar yang dihadapi adalah tatkala sebuah pick up hitam membawa pergi lukisan Pak Tan, saat. Kala identitas si pemilik pick up terungkap, muncul setumpuk pertanyaan. Dari mana ia tahu benda yang terbungkus kardus itu merupakan lukisan? Kenapa pula mengambil lukisan yang tergeletak di suatu bengkel kecil, tanpa tahu kualitasnya seperti apa? Cara Pak Tan dan Yahya menemukan pick up hitam yang dicari juga dipenuhi kebetulan.

Departemen akting akhirnya jadi juru selamat. Ahmad Tarmimi Siregar tampil hangat, tetapi bintang paling terangnya adalah Muzakki. Emosinya kuat, pembawaannya natural, dinamikanya memikat. Beberapa hari lalu saya baru dibuat terkesima oleh penampilan si bocah 12 tahun dalam Preman, dan lewat Perjalanan Pertama, lagi-lagi ia berhasil mengaduk-aduk perasaan. Sungguh luar biasa anak ini. 

(JAFF 2021)

2 komentar :

Comment Page:
mass_umam mengatakan...

Ulasan ini sangat sangat menggambarkan apa yang aku rasakan setelah menonton film ini.

Di awal" sdh agak terganggu dgn kaos Yahya. Apa yg ingin ditampilkan dgn Yahya pake kaos tsb, shot nya jelas bgt pulak. Dan ternyata sy baru tahu dari sini bahwa gambar di kaos Yahya adl Zakir Naik. Haddeehhh.... ☹️

Anonim mengatakan...

kalo zakir naik knp bang wkwk