REVIEW - MEMORIA

6 komentar

"Kenapa perlu repot-repot berusaha kalau takdir kita sudah ditentukan?", tanya saya di sebuah diskusi santai dengan seorang kerabat yang juga "ahli" spiritual. Dia menjawab, "Waktu di mata Tuhan tidak linear. Konsep dulu, sekarang, besok, semua itu tidak relevan. Apa yang kita anggap masa depan, di mata-Nya adalah masa kini". 

Memoria bukan membahas suratan takdir maupun Tuhan. Tapi karya terbaru Apichatpong Weerasethakul ini, yang akan mewakili Kolombia di gelaran Academy Awards 2022, merekonstruksi persepsi kita tentang waktu. Tentang bagaimana manusia selaku bagian semesta, menyatu dengannya sehingga menciptakan pengalaman kolektif yang melampaui batasan logika.

Di menit-menit awal saya sempat mengeluh, "Wah, Apichatpong tergoda kemapanan". Filmnya masih lambat, masih sunyi, masih didominasi still shot yang bakal dikira freeze frame oleh penonton awam, namun semua tampak lebih "mahal". Latar hutan dan/atau perkampungan Thailand pindah ke perkotaan modern di Bogota. Akting amatir pelakon tak dikenal digantikan kebintangan Tilda Swinton. Kesan naturalistik sarat mistisisme seolah lenyap. 

Tapi seiring kita mengikuti usaha Jessica (Tilda Swinton) memecahkan peristiwa misterius yang ia alami, barulah tampak tujuan dari pilihan-pilihan di atas. Suatu malam, Jessica dikejutkan oleh suara dentuman. Orang lain tidak mendengarnya. Apakah ada fenomena tertentu, ataukah isi kepala Jessica yang memang terganggu? 

Atas rekomendasi teman, Jessica mengunjungi Hernan (Juan Pablo Urrego), seorang sound mixer, guna mengungkap identitas dentuman yang ia dengar. Di situ fungsi kehadiran Swinton (baca: aktris profesional) terjawab. Apichatpong menempatkan kamera di belakang kedua pemain. Kita cuma melihat punggung Jessica, sementara Hernan memutarkan satu demi satu contoh suara. Sewaktu sampai di suara yang dimaksud, tubuh Jessica sedikit bergetar. Terkejut, terhenyak. 

Swinton memperlihatkan bentuk akting subtil, yang cuma bisa ditampilkan bila jiwa dan raga sang pelakon, menyatu dengan sosok peranannya. Saya tersentuh dibuatnya. Jelang akhir, Apichatpong melakukan hal berlawanan. Kamera ditempatkan di depan, menyorot langsung ke arah wajah Swinton yang berlinang air mata. Hasilnya sama kuat. Swinton melebur dengan Jessica, Jessica melebur dengan semesta.

Memoria memang membicarakan peleburan. Kesan modern yang saya sebut di atas juga tidak lepas dari peleburan tersebut. Tatkala manusia melebur dengan semesta, ia melampaui batas-batas ruang, waktu, juga individu. Sekat pemisah untuk hal-hal yang saling berkontradiksi pun lenyap. Alam dengan teknologi, tradisi dengan modernisasi, pula sains dengan kepercayaan/spiritual, yang mendasari "kunjungan" singkat nan aneh narasinya ke ranah sci-fi di babak akhir. Semua menyatu, sehingga lahir harmoni indah layaknya penyatuan beragam instrumen dalam sebuah grup musik.

Memoria adalah peristiwa yang mesti dialami langsung. Reviu seperti apa pun takkan mampu menggambarkannya secara utuh. Sedikit berbeda (jumlah dialog dan keriuhan kota yang sesekali menyeruak, membuatnya terasa paling "bersahabat" dibanding karya lain sang sutradara sejak The Adventure of Iron Pussy), tapi sebagaimana karya Apichatpong biasanya, film ini merupakan presentasi magis, yang akan membuat penonton bertanya, "Apa tengah terjadi sesuatu? Apa semesta sedang berbicara?", tiap angin mendadak berhembus. Tidak ada pengalaman spiritual sekuat Memoria sepanjang tahun ini.

(JAFF 2021)

6 komentar :

Comment Page:
fred mengatakan...

wow wow wow bintang 5!! keajaiban apa ini bang jarang-jarang ngasi bintang 5 haha

Firman mengatakan...

Penikmat film kasual/popcorn macam saya kayaknya skip deh,jelas bakal plonga-plongo di studio 😂

Andrew mengatakan...

Sukardipercaya. Ini rating "Luar Biasa" pertama semenjak Parasite. Sebagus itukah, Bang?

Anonim mengatakan...

Bang gak nonton penyalin cahaya kah? Liat di Twitter rame banget yang bahas, makin gak sabar nonton nih film!

Surya AS mengatakan...

Nonton dimana ya ini?

Anonim mengatakan...

Bang belum review seperti dendam rindu harus dibayar tuntas kah?