REVIEW - PREMAN

6 komentar

Menengok posternya, saya mengira Preman adalah drama kriminal kelam nan serius. Memang betul, naskah yang ditulis sendiri oleh sang sutradara, Randolph Zaini, menyinggung isu-isu "berat" seperti premanisme, trauma, bullying, toxic masculinity, hingga homofobia, tetapi dengan pendekatan luar biasa menyenangkan. Tidak ada film Indonesia tahun ini yang seasyik dan seliar Preman perihal eksplorasi genre.

Ketimbang drama kriminal biasa, ini lebih dekat ke b-movie, ke film-film eksploitasi grindhouse, berisi tokoh-tokoh bigger-than-life, kekerasan, dan kebodohan disengaja, yang akan dengan senang hati diterima penonton, karena ada kecerdasan yang jauh lebih besar di sini. 

Diiringi lagu yang mengingatkan kepada Far From Any Road milik The Handsome Family, kita melihat seorang pria tuli bernama Sandi (Khiva Iskak), mengawali hari. Dia adalah anggota Perkasa, organisasi preman dengan warna kebesaran oranye, yang tengah menggusur paksa warga kampung, guna merealisasikan proyek pemilik modal. Tidak perlu saya sebut, pasti anda tahu Perkasa merupakan sentilan terhadap salah satu ormas negeri ini. 

Perkasa dikepalai oleh Guru (Kiki Narendra) yang...well, adalah seorang guru di SD tempat Pandu (Muzakki Ramdhan), putera Sandi, bersekolah. Suatu malam, ketika Pandu menyaksikan aksi premanisme Perkasa yang kali ini merenggut nyawa, Sandi harus membelot, melawan organisasinya sendiri. 

Pengkhianatan Sandi membuka gerbang menuju dunia sarat mitologi menarik, pula tokoh-tokoh penuh warna, dari seorang pejabat bernama Hanung (David Saragih) yang alih-alih bicara malah menggeram bak macan,  Paul (Paul Agusta) si anggota Perkasa yang hobi menari dan bercita-cita membuat musikal, hingga Ramon (Revaldo) alias "Tukang Cukur", pembunuh bayaran yang seperti julukannya, menghabisi korban menggunakan gunting cukur. 

Menarik. Sangat menarik. Randolph bak profesor gila yang menemukan laboratorium tempatnya bisa bereksperimen sesuka hati, menciptakan formula yang mampu membuat penontonnya tersenyum lebar selama 81 menit durasi film. 

Merumuskan aksi bersama sinematografernya, Xing-Mai Deng, pilihan angle Randolph mungkin tidak selalu tepat guna menangkap baku hantam yang terjadi, namun itu dapat dengan mudah dimaafkan berkat kreativitas di segala lini. Misal senjata. Jika Ramon memakai gunting cukur, maka protagonis kita membekali diri dengan meteor hammer buatan tangan (senjata Gogo di Kill Bill). 

Senjata unik berarti metode bertarung pun tak kalah unik, yang tampak betul dalam konfrontasi dua tokoh tersebut, yang terjadi di rumah Mayang (Putri Ayudya), mantan istri Sandi. Rumah Mayang pun membawa sang sutradara menyambangi genre lain. Sebuah gubuk kayu kecil di tengah hamparan padang tandus, membuatnya tampak berasal dari film western. 

Sebagai grindhouse, tentu kekerasan dimiliki Preman. Tapi Randolph tahu kalau sedang membuat film bagi pasar Indonesia. Bila menyasar bioskop, kekerasan berlebih yang susah-susah diciptakan bakal percuma. Kembali, kreativitas mengambil alih. Randolph cerdik "mengakali" sensor, entah dengan membuat impact serangan terjadi secara off-screen tanpa melucuti kebrutalan, atau menggunakan barang pengganti untuk tubuh serta darah, sebagaimana diperlihatkan klimaksnya. Klimaks berbalut lagu Cublak Cublak Suweng yang sukses memancing kekaguman, bahkan tepuk tangan penonton festival tempatnya diputar. 

Deretan karakter unik milik Preman turut dihidupkan oleh ensemble cast yang seluruhnya tampil gemilang, tetapi porosnya tetap terletak pada dua nama, yakni Khiva dan Muzakki. Lihat adegan di sawah, dan anda akan dibuat terpukau oleh kehebatan Muzakki bermain emosi lewat ekspresi serta bahasa isyarat. 

Sedangkan Khiva Iskak akhirnya memperoleh peran yang memfasilitasi talenta besarnya. Tanpa tuturan verbal, dihidupkannya Sandi, selaku perwujudan luka-luka yang ditimbun oleh pola pikir terbelakang negeri ini. Sandi mencari kekerasan, karena hanya itu cara yang ia tahu, sebagai individu hasil bentukan budaya pemuja maskulinitas, di mana kejantanan dipuja. Budaya di mana kekuatan kepalan tangan lebih diunggulkan daripada kemanusiaan berperasaan, sehingga melestarikan persekusi para preman. 

(JAFF 2021)

6 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Tribute to "Ormas Juventus" toh🤣🤣
Gak sabar nunggu di bioskop

nari mengatakan...

film ini sutradaranya debutan kah bang.gue udah liat trailernya kok seru banget ya.

Unknown mengatakan...

Kapan ya rilis di bioskop

Rasyidharry mengatakan...

Sayangnya masih belum dapet tanggal tayang

vian mengatakan...

Entah kenapa posternya agak ngingetin sama film2 Asun Mawardi.

Anonim mengatakan...

Mantap kayaknya nih film.. memang anjing ormas juventus itu!!!