REVIEW - PENYALIN CAHAYA

19 komentar

"Kita cuma punya cerita". Teriris hati saya mendengar kalimat tersebut, yang muncul di paruh akhir Penyalin Cahaya. Berkedok praduga tak bersalah, masyarakat kita masih demikian sulit memercayai cerita korban pelecehan seksual. Benar bahwa cerita dapat dipalsukan, namun bukankah bukti pun sama, baik keberadaan maupun ketiadaannya? Mengapa sesulit itu memegang prinsip "percaya korban lebih dulu"? Minimal dengan tidak menghakiminya, menuduhnya berbohong, bahkan menyudutkannya lewat pernyataan, "Salah siapa perilakumu/pakaianmu begitu!". 

Sur (Shenina Cinnamon) mengalami hal-hal di atas. Pasca sebuah pesta perayaan kemenangan kelompok teater tempatnya menjadi pembuat situs web, hidup Sur runtuh dalam semalam. Swafoto yang ia ambil saat mabuk dianggap perbuatan tak bermoral sehingga beasiswanya dicabut. Dia pun diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di tempat Amin (Chicco Kurniawan), sahabat sekaligus tukang fotokopi di kampusnya.

"Moralmu buruk". "Harusnya kamu tidak mabuk". "Jangan sampai masalah ini diketahui pihak luar. Reputasi kampus dan teater bisa terancam". "Mari selesaikan masalah ini secara kekeluargaan". Deretan kalimat andalan para enabler pelecehan seksual negeri kita tercinta ini secara bergantian membombardir telinga si protagonis. Sur yakin ia dijebak, tapi hampir semua pihak menolak percaya terhadap ceritanya. Cuma Amin dan Anggun (Dea Panendra) si sutradara teater yang bersedia mengulurkan bantuan. 

Di sekuen pembuka, kelompok teater Sur mementaskan cerita Medusa, yang sosoknya identik dengan kebengisan. Tapi jika menilik detail mitologinya, Medusa merupakan korban pemerkosaan Poseidon, yang lalu diantagonisasi, dicap sebagai pendosa. Sur, dan para korban pelecehan lain terutama wanita, tak ubahnya Medusa. 

Wujud kreativitas eksplorasi naskah buatan sang sutradara, Wregas Bhanuteja, dan Henricus Pria, terlihat kala Sur menyelidiki kebenaran peristiwa malam itu. Investigasi Sur menggiring Penyalin Cahaya bergerak ke ranah misteri, di mana penonton dibuat bertanya "siapa" dan "apa". Kecurigaan mengarah ke Tariq (Jerome Kurnia) yang digambarkan sebagai "si brengsek dalam tim". Tapi benarkah? Atau justru ada musuh dalam selimut? 

Muncul banyak kejutan sepanjang 129 menit durasinya, namun bukan bersifat gimmick belaka. Utamanya, kejutan-kejutan itu memfasilitasi tuturan tentang topeng yang manusia kenakan guna mengikuti tuntutan-tuntutan sosial, juga perihal privilege. Mengingat mayoritas pelaku pelecehan seksual adalah pria, dan bagaimana kultur negeri ini cenderung menguntungkan pria apalagi jika memiliki harta serta kuasa, poin terkait privilege tadi menekankan kenapa memercayai cerita korban itu penting. 

Tapi Penyalin Cahaya tidak menutup mata bahwa pria bisa jadi korban. Persoalan itu turut disinggung, bersama setumpuk isu lain yang tetap terhubung pada kasus pelecehan seksual, dari kesehatan mental hingga kesenjangan kelas serta ekonomi. Jadilah film ini suguhan kaya, ramai, rapi juga padat. Sangat rapi, anda bakal lupa bahwa sutradara dan penulis naskahnya baru menjalani debut film panjang mereka. 

Satu unsur penceritaan yang paling membekas, tajam, sekaligus berani adalah mengenai seni. Seni kerap jadi kedok para pelaku. "Semua atas nama seni", begitu kiranya kata-kata seniman untuk menutupi kebiadaban mereka. Seni yang mestinya jadi sarana menghidupkan jiwa, malah sering mematikan jiwa. Kebebasan berekspresi disalahartikan. Berani, karena tak semua sineas bersedia menyentil ekosistem mereka sendiri. Saya menaruh hormat pada segenap tim Penyalin Cahaya atas keberanian tersebut.

Dibarengi tata artistik mumpuni, khususnya konsistensi luar biasa dalam dominasi warna hijau di berbagai departemen (properti, kostum, cahaya), Wregas membawa sinema alternatif ke titik maksimal, sebagai medium di mana presentasi rasa dipercantik, bukan dilebih-lebihkan atau ditahan. Jijik, sedih, dan marah, adalah emosi-emosi yang menguasai. Jijik melihat korban dipersalahkan, sedih melihatnya merana, marah mendapati korban disudutkan seisi dunia. 

Kekuatan emosi Penyalin Cahaya tentu tidak terlepas dari jajaran pemain, yang merupakan salah satu ensemble cast film Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Ruth Marini sebagai ibu Sur bakal menguras air mata anda di adegan "sepeda motor", Lukman Sardi sebagai ayah Sur menyulut amarah kita melalui letupan-letupannya, Jerome Kurnia yang menyuguhkan kompleksitas, Dea Panendra dengan perangai "peduli setan" miliknya, Giulio Parengkuan yang sempat membuat saya membeku di salah satu momen, Chicco Kurniawan yang bukan lagi si pemuda lembut nan canggung sebagaimana kerap ia perankan, sampai Lutesha sebagai Farah dengan sisi misteriusnya.

Memimpin ensemble cast di atas adalah Shenina. Teriakannya, tangisnya, keterkejutan serta kebingungan yang berkembang jadi keputusasaan, segala hal darinya mencabik-cabik perasaan. Wregas tahu betul kehebatan sang aktris, sehingga beberapa kali close-up diterapkan. Tubuh saya bergetar kala Shenina menatap lurus ke arah kamera. 

Lalu tibalah babak konklusi. Tidak seperti para pelaku power abuse di film ini, Wregas memanfaatkan kuasanya sebagai seniman. Figur "pencipta" yang bisa melahirkan dunia versinya. Apabila dunia nyata belum juga memihak korban, maka "dunia Wregas" memberi mereka ruang bersuara, memberi mereka kekuatan, memberi mereka sebersit cahaya untuk disalin, dibagikan, kemudian dipancarkan sebagai wujud harapan. 

(JAFF 2021)

19 komentar :

Comment Page:
opato mengatakan...

Bersama dengan Yuni dan Seperti Dendam, Penyalin Cahaya memang pantas melengkapi tiga film terbaik Indonesia tahun ini.

New Indonesian Cinema is coming (?)

Unknown mengatakan...

Harus nunggu netflik dibulan januari y bung

Chan hadinata mengatakan...

Sayang banget.. disini gak kebagian tayang di bioskop

hima mengatakan...

dibeli netflix gak sih bang penyalin cahaya itu.karena banyak film indonesia sekarang yang tayang dibioskop jadi gak mungkin penyalin cahaya malah milih tayang di netflix kecuali emang dibeli.lagipula buat indonesia gak mungkinkan tahun depan cuma the big 4 saja filmnya

Irfan mengatakan...

Menurut abg lebih layak shenina atau arwinda sih yg menang FFI kemarin

Anonim mengatakan...

Akhirnya muncul juga film yg mengusung konsep feminisme begini (feminisme ya guys, bukan feminazi, coz sy tahu beberapa org alergi dg istilah ini gara2 termakan info2 yang timpang mengenai feminis & SJW, atau pd dasarnya memang punya jiwa patriarki--yang tentunya ga akan demen sama film2 seperti ini :))) ).

Spoiler dikit dong... apakah para pelaku pelecehan, pelaku victim blaming, dan para penyeru kalimat2 toxic positivity terhadap tokoh Sur mendapatkan ganjaran di akhir film? Kalau iya, setelah film ini berakhir, saya akan merasa puas, HAHAHA!

By the way, ga nyangka karier Shenina akhirnya akan semelesat ini. Memang saatnya ada variasi baru dalam jejeran aktris protagonis kita, ga melulu yang cantik-anggun sejenis Mawar De Jongh. Butuh juga kehadiran wajih cantik-fierce seperti Shenina.

mira mengatakan...

jadi tim penyalin cahaya atau yuni nih bang.pendapat gue walau sebagus apapun penyalin cahaya.pengennya yuni sih yang menang ffi kemarin karena yuni itu sempurna banget.
(1)filmnya make bahasa daerah biar film non bahasa indonesia lebih dihargai (inget film turah walaupun dikim ke oscar.filmnya gak dapet satupun nominasi ffi)
(2)sutradaranya perempuan.sudah saatnya sutrada perempuan juga berjaya di perfilman indonesia
(3)menang ditoronto.bukannya mau merendahkan tapi penyalin cahaya bersaing cuma di festival busan yang belum terlalu bergengsi ditambah gak menang sedangkan yuni bersaing di festival sebesar toronto ditambah menang jadi lebih layak diapresiasi.
ada yang bilang yuni gak menang karena alasanckamila andini anak garin nugroho tapi ini kan bukan dunia politik.
well setidaknya yuni yang dikirim ke oscar karena filmnya lebih terkenal di luar.

Rasyidharry mengatakan...

Ya alasannya jelas prospek duit. Tetep bakal lebih untung kalo di Netflix daripada bioskop

Rasyidharry mengatakan...

Lebih pilih Arawinda, cuma layak semua

Rasyidharry mengatakan...

Di luar urusan pantas/nggak, namanya awards selalu ada "politik". Politik kepentingan, politik pertemanan, dll :)

opato mengatakan...

Yess, bisa jadi penyalin cahaya yang dipilih di ffi juga karena relevan bgt sama isu permendikbud yang ditolak rame rame di indo sekarang

Hadi Alkatiri mengatakan...

Baru nonton di Netflix hari ini. Dan beneran sebagus itu. Ngerti juga sih knp nggk tayang di bioskop. Yuni aja kemaren lumayan sepi. Tapi apa salahnya rilis di bioskop juga, karena dengan sinematografi sebagus itu sayang banget kalo cuma nonton di streaming

Kol Medan mengatakan...

Penyalin cahaya ternyata biopic co writer-nya

Rasyidharry mengatakan...

Karena kalo di bioskop pasti tekor. Di Netflix, oh bisa balik modal, bahkan untung

Unknown mengatakan...

Kekurangannya cuma satu, endingnya pelakunya harusnya tidak hanya ditonjok, tapi diperlakukan lebih parah dari korbannya.

jefry punya cerita mengatakan...

Kayaknya Jerome Kurnia lebih 'Pantas' dapat Penghargaan Aktor Terbaik FFI 2021.

Rasyidharry mengatakan...

Jerome perannya emang lebih pas di supporting. Chicco pun harusnya sama. Paling pantes menang aktor terbaik itu Khiva Iskak di Preman

Anonim mengatakan...

Btw. Selama saya menonton film Indonesia, film ini menjadi salah satu yang membekas di hati saya sebagai penonton. Film Indonesia model begini itu langka, mungkin ada, tapi cara bertutur dan eksekusi mas Wregas emang perlu diapresiasi. Meskipun saya kurang suka bagian (spoiler) fogging di paruh akhir film ini. Asli keren ini film. Banyak adegan-adegan memorablenya....

Anonim mengatakan...

Chicco kok dpet penghargaan Lead Actor ya? Menurut gue kok kayaknya dia msuk ke ranah Supporting Actor, sama kyak Jerome Kurnia