REVIEW - I'M YOUR MAN

Tidak ada komentar

Kita senang berfantasi, karena berfantasi itu mudah. Fantasi tak terikat logika, pula lepas dari sebab-akibat. Kita bisa membayangkan jadi orang terkenal tanpa memedulikan hilangnya privasi. Kita bisa berangan-angan menikahi pujaan hati tanpa memusingkan repotnya tetek bengek rumah tangga. Berfantasi itu ibarat kembali ke masa kecil yang bebas sekaligus sederhana. 

I'm Your Man, selaku perwakilan Jerman di ajang Academy Awards 2022, menyoroti semua itu. Bagaimana rumitnya ketika fantasi diwujudkan di hadapan carut marut pemikiran orang dewasa, sekalipun yang dibawa olehnya adalah kebahagiaan. 

Demi mendapat pendanaan riset, Alma (Maren Eggert), seorang arkeolog, setuju terlibat dalam eksperimen, yang mengharuskannya hidup selama tiga minggu bersama Tom (Dan Stevens). Tom bukan pria biasa. Tepatnya, ia bukan pria. Tom adalah robot yang didesain sesuai citra "pria ideal" di mata Alma, dan diprogram untuk membahagiakannya. 

Tersusun atas berkas pikiran 17 juta orang, Tom senantiasa menuruti permintaan Alma. Tapi apakah itu cukup menghadirkan kebahagiaan? Di film Hollywood arus utama, jawabannya tentu "ya", lalu seiring waktu kita bakal menyaksikan sang robot menemukan sisi kemanusiaannya. I'm Your Man bukan film Hollywood. Sang sutradara, Maria Schrader, yang turut menulis naskah bersama Jan Schomburg, baru akan menjalani debutnya di Hollywood akhir tahun ini, lewat She Said yang mengetengahkan proses investigasi terhadap kasus Harvey Weinstein. 

Schrader tidak tertarik memanusiakan Tom. Hingga akhir, sejago apa pun meniru ekspresi rasa manusia, ia tetap robot, yang diperankan secara meyakinkan oleh Stevens dengan gerak-gerik kaku, juga senyum aritificial. Dia nampak bisa berempati, namun itu hanya produk algoritma. Bukan humanisme Tom yang Schrader pertanyakan, melainkan Alma. 

Tepatnya bagaimana Alma, sebagai manusia, menyikapi kebahagiaan. Hasilnya kompleks. Di satu titik, ia bahagia, namun itu pun meninggalkan dilema. Apakah nyata, ataukah semu sebagaimana fantasi? Akting Eggert, yang membawanya menyabet piala di Berlin International Film Festival (Best Leading Performance) dan German Film Award (Best Actress), sama sekali tak menyederhanakan emosi karakternya. Seorang wanita yang khawatir jika kebahagiaannya merupakan kekeliruan.

Begitulah orang dewasa. Terjebak rasa sakit dan kekecewaan masa lalu, sembari mengkhawatirkan masa depan, sehingga membingungkan cara menjalani masa kini. Sepanjang film, terdapat tiga titik tatkala Alma nampak sungguh-sungguh bahagia. Pertama, saat Tom membantu Julian (Hans Low), mantan kekasihnya, membawa lukisan, yang seolah jadi gambaran harmoni masa lalu dengan masa depan. Kedua, saat di suatu malam bersama Tom, ia menenggelamkan diri dalam "momen sekarang". Terakhir di penghujung durasi, tatkala Alma "mengunjungi" masa kecilnya.

I'm Your Man tampil mempertanyakan rasa. Menggugat afeksi memakai kognisi. Sayangnya, terkait pengarahan, Schrader terlampau menekan emosi adegan. Seolah seperti karakternya, enggan membuka pintu bagi rasa. Biarpun tak mengurangi tingkat kecerdasan penuturannya, percikan-percikan romansa yang mestinya tetap ada, cenderung sukar ditemukan. 

(Hulu)

Tidak ada komentar :

Comment Page: