REVIEW - BEN & JODY

15 komentar

Opini soal kualitas karya-karyanya mungkin beragam, tapi Visinema jelas rumah produksi terbaik Indonesia, terkait cara menangani IP (Intellectual Property). Tidak perlu secara detail membahas model bisnis. Simak saja bagaimana perkembangan terkini dua franchise mereka. Arini by Love.inc bakal menggiring Love for Sale ke ranah fiksi ilmiah (rilis 4 Februari di Bioskop Online), tapi terlebih dahulu, Ben & Jody membawa drama dua sahabat pecinta kopi ke lingkup aksi.

Pertanyaan terbesarnya tentu saja, "Bisakah perubahan dilakukan secara natural?". Ditulis oleh sang sutradara, Angga Dwimas Sasongko, bersama Muhamad Nurman Wardi (Nussa), naskahnya memahami bahwa hal paling penting bukanlah mempertahankan genre, melainkan jiwa. 

Fast & Furious menjadi film heist di Fast Five, namun masih membicarakan tentang keluarga, serta dipenuhi mobil-mobil keren. Begitu pula Ben & Jody, yang tetap mengetengahkan kisah persahabatan ditemani cangkir demi cangkir kopi. Oh, dan satu lagi: environmentalisme. 

Dua film pertama Filosofi Kopi tidak hanya menyoroti kopi dari perspektif bisnis, juga lingkungan dan budaya. Maka tidaklah aneh ketika di sini, Ben (Chicco Jerikho) banting setir jadi aktivis di kampung halamannya, selepas keluar dari kedai. Bersama warga setempat, Ben membela hak petani yang lahannya hendak dikuasai korporasi. Ketika timbul perlawanan akar rumput, apa yang terjadi berikutnya? Tentu saja premanisme.

Apabila korporat memandang rakyat terlalu bebal untuk diajak negosiasi, maka tiba waktunya melempar ancaman fisik. Di sinilah gerbang menuju genre aksi terbuka, saat para pembalak liar di bawah pimpinan Tubir (Yayan Ruhian), mulai menculik warga satu per satu. Salah satunya Ben. Hilangnya Ben mendorong Jody (Rio Dewanto) nekat melakukan pencarian seorang diri. 

Lingkungan, aktivisme, premanisme. Semua saling berkaitan. Efek domino yang hadir amat logis, sehingga pergeseran genrenya pun demikian. Mungkin yang agak mengganggu adalah penyertaan kopi di alur. Kebetulan Tubir sering mengeluhkan ketidakbecusan anak buahnya membuat kopi, dan Ben melihat itu sebagai jalan memuluskan rencana kaburnya. Sebagai pembuat kopi bagi Tubir, ia berharap bisa memperoleh informasi penting. Masalahnya, tatkala rencana dijalankan, anda akan sadar bahwa segala kerepotan itu sejatinya tak perlu, dan semata-mata eksis agar filmnya dapat menyelipkan kopi dalam penceritaan. 

Selain itu, penceritaannya berlangsung mulus. Transisi menuju aksi juga memberi progresi natural terhadap persahabatan dua tokoh utama, yang banter-nya masih efektif membangun dinamika. Pasca bertaruh materi, kemudian saling bergesekan idealisme dan rasa, sudah sepantasnya pertaruhan nyawa jadi pembuktian pamungkas mengenai persahabatan sejati keduanya.

Apalagi, bukankah figur Ben dan Jody memancarkan machismo khas jagoan aksi? Teurtama Ben, dengan tubuh kekar Chicco yang lebih pantas menjadi superhero ketimbang penjual kopi (perannya sebagai Godam turut dipakai sebagai bahan guyonan). 

Pun patut ditekankan, Ben & Jody tak serta merta menyulap protagonisnya jadi jagoan tangguh. Mereka bukan Rambo atau Chuck Norris. Wajar Ben dengan perangainya bisa berkelahi, tapi ia tetap tak kuasa menghabisi sepasukan musuh seorang diri. Sedangkan Jody harus menghadapi sulitnya mencabut nyawa manusia, sekalipun seorang penjahat yang juga berusaha membunuhnya. Bahkan bukan keduanya yang mendominasi klimaks baku hantam film ini. 

Peran tersebut diberikan pada beberapa warga lokal yang menyelamatkan Ben dan Jody. Rinjani (Hana Malasan) dengan panah miliknya, Tambora (Aghniny Haque) si jago beladiri, hingga Musang (Muzakki Ramdhan) si cilik bersenjatakan ketapel. Hana akhirnya berkesempatan memamerkan karismanya, sementara kemampuan fisik Aghniny jelas tidak perlu diragukan. 

Pertarungan Rinjani-Tambora melawan Tubir selaku klimaks punya semua bekal untuk tampil mumpuni, mulai dari kapasitas jajaran cast, sampai beberapa ide koreografi menarik. Sayangnya, pengarahan aksi Angga dan camerawork Arnand Pratikto selaku penata kamera, kurang mendukung terciptanya aksi intens, akibat pilihan-pilihan shot yang meleset. 

Itulah ganjalan terbesar Ben & Jody dalam upayanya membawa Filosofi Kopi bertransformasi. Angga belum mampu memperbaiki kelemahannya mengarahkan adegan dinamis bertempo tinggi (termasuk situasi berupa pertengkaran hebat, seperti nampak di Story of Kale: When Someone in Love). Kelemahan yang untungnya selalu berhasil ditutupi oleh kualitas penceritaan. Sebab Angga memang salah satu pencerita terbaik kita. 

15 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Mas, review makmum 2 nya mana?

Aksa mengatakan...

Makmum 2 belum ada ya mas?

DAVID mengatakan...

Mas request review makmum 2

Anonim mengatakan...

Mas request review makmum 2 dunk ,dtunggu bgt .dan selalu menunggu

Fradita Wanda Sari mengatakan...

Kak, kalau untuk karakter warga lokal apakah cukup relevan aja? Aku msh ragu nontonnya karna warga lokal ditampilkan alih2 seperti realitas di Indo, malah kayak warga hutan Amazon gitu huhu. Tp semoga aku salah dan msh kebagian nonton ini di bioskop segera yaa.

Unknown mengatakan...

REVIEW MAKMUM 2

Stevano gerald mengatakan...

Kenapa pada banyak yang nanya makmum dah? 😅 Kalo saya masih sayang duit sih makanya skip. Mending langsung lompat ke Ben & Jodi.

nizarranger mengatakan...

Keren ya, film action negara +62 ga kalah bagus juga ya��
Oh ya untuk yg mau baca-baca review series boleh berkunjung ke blog aku ya :)

Anjali mengatakan...

Ya masa iya sekelas movfreak belum nge review film indo yg memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak di masa pandemi wkwkwk

Albert mengatakan...

Apa blognya nih?

Rasyidharry mengatakan...

Oh nggak kok. Bukan kesan "suku pedalaman" yang muncul, tapi orang-orang indigenous dengan set of skills termasuk martial arts. Dan di filmnya nggak "sepedalaman" itu

Rizal Khaefi mengatakan...

Muncul teaser mencuri raden saleh ga bang?

Anonim mengatakan...

Makmun
Makmun
Makmun
Makmun

1 juta penonton

#ikut2an

Rasyidharry mengatakan...

Kalo yang reguler harusnya ada. Screening kemaren cuma Jagat Arwah & Keluarga Cemara 2

Anonim mengatakan...

rating 7/10, cukup menghibur dengan akting pemain selalu ucap sumpah serapah, duduk nonton nikmati saja dengan kopi panas dan pop corn