REVIEW - LOVE AND LEASHES

2 komentar

Humor seksual tidak harus jorok (in a pervert way) dan ofensif. Begitu pun cerita soal BDSM. Hal kinky memang seksi, tapi ada sisi playful yang kerap disalahartikan sebagai kemesuman belaka. Love and Leashes, selaku adaptasi webtoon Moral Sense buatan Gyeowool, menunjukkan itu. Di bawah arahan sutradara wanita, Park Hyun-jin, yang turut menulis naskah bersama Lee Da-hye (juga wanita), tersaji gaze sarat sensitivitas, yang mungkin takkan bisa dicontoh sineas pria. 

Ji-woo (Seohyun) menaruh ketertarikan pada Ji-hoo (Lee Jun-young), yang baru pindah ke divisinya. Ji-hoo memang tampan, ramah, dan berbeda dari banyak pria di kantor, peka tentang seksisme kasual pada karyawan wanita. Tapi Ji-hoo menyimpan rahasia. Dia menyukai praktek BDSM. Tepatnya seorang submissive. Rahasianya terungkap, kala paket berisi kalung anjing (properti BDSM) miliknya, secara tak sengaja diterima Ji-woo, akibat nama mereka mirip. Mengapa paket sepenting itu dikirim ke kantor? Well, ini lubang penceritaan yang mesti penonton maklumi agar bisa menikmati Love and Leashes. 

Ketika Ji-woo tak menghakimi preferensinya, timbul kekaguman dalam diri Ji-hoo terhadap si rekan kerja. Kekaguman yang mendorong munculnya ajakan melakukan roleplay. Ji-woo menerima, dan selama tiga bulan bakal menjadi majikan Ji-hoo. 

Banyak publik awam mengenal BDSM melalui Fifty Shades of Grey (2015), yang alih-alih mengedukasi, justru memperkuat stigma negatif, melalui penggambaran yang lebih mendekati kelainan serta keliaran. Padahal sebaliknya, BDSM justru amat tertata. Diperlukan kontrak yang mengatur berbagai hal demi keamanan pelakon. Love and Leashes menyertakan elemen penting tersebut. Diselipkan pula konflik tentang praktisi BDSM palsu, yang berpura-pura menjadi dominant, untuk melampiaskan nafsu liar tanpa consent. Merekalah penyebab stigma negatif di BDSM.

Film ini menjadikan BDSM, dengan kontrak dan segala kesepakatannya, selaku media penyampai kisah mengenai keterbukaan dalam hubungan. Jujur akan perasaan, menyampaikan apa yang kita inginkan, kemudian berdinamika sebagai pasangan yang saling mengenal dan memahami. 

Adegan kinky otomatis sering muncul. Aktivitas bermain peran, bondage, hingga sadomasokisme. Di tangan Park Hyun-jin, kenakalan-kenakalan itu dikemas lembut. Sensual. Bukan seksualisasi murahan. Gestur-gestur subtil kerap dipakai daripada pemandangan eksplisit yang terkesan eksploitatif. Misal sewaktu Ji-woo mencari perihal BDSM di internet. Seiring imajinasi menguasai pikiran si karakter, sebuah shot memperlihatkannya menyilangkan kaki. 

Menerapkan formula komedi romantis, tentu ada kalanya seksualitas jadi bahan lelucon. Timbul beberapa kekonyolan, namun Love and Leashes bukan sedang menertawakan BDSM dengan memotretnya sebagai keanehan. Kenyataannya, aktivitas seks konvensional pun tak jarang diikuti kecanggungan menggelitik, terutama di pengalaman-pengalaman awal. Momen demikianlah yang filmnya pakai untuk memancing tawa.

Ketika sosok Lee Han (Ahn Seung-kyoon) si karyawan baru memasuki cerita, timbul dinamika unik. Ji-woo ditugaskan menjadi mentor, yang memancing kecemburuan Ji-hoo. Bukannya Lee Haan dianakemaskan, tapi justru karena Ji-woo kerap memarahinya. Seolah si majikan menemukan "anjing baru". Konsep kecemburuan pun digeser ke ranah yang sedikit berbeda. 

Naskahnya bukan tanpa cela. Ada kesan dipaksakan, ketika terungkap bahwa bukan dua protagonisnya saja yang mempraktekkan BDSM. Mungkin naskah hendak memaparkan betapa BDSM tidak selangka yang orang pikir, namun jalan yang diambil justru berlawanan dengan tujuannya mendekatkan kisah ke realita.

Di departemen akting, Lee Jun-young paling mencuri perhatian saat menampilkan sisi halus karakternya, yang mengharapkan penerimaan sosial. Tiap Ji-woo menyampaikan penerimaan tersebut tanpa tendensi menghakimi, kita melihat kebahagiaan terpancar di mata Jun-young. Seohyun? Sebagai orang yang mengenalnya sejak masih menerbangkan pesawat kertas di video Into the New World, menakjubkan melihatnya tak kesulitan menangani adegan-adegan cukup berani di sini, sebagai figur dominan yang sepenuhnya lepas dari citra maknae polos belasan tahun silam. 

Karakter Ji-woo milik Seohyun pun ibarat corong film ini menyuarakan keresahan-keresahan. Acap kali ia jadi korban ucapan tak senonoh atasan. Adegan persidangan di babak akhir efektif menyulut emosi, mengajak penonton mengutuk seksisme di lingkup pekerjaan. Bagaimana kantor bersikap judgmental, menyalahgunakan kekuatan dan kekuasaan, merupakan problematika yang coba dilawan. Ji-woo menemukan cara menyalurkan rasa frustrasi, menumpahkan segala kekesalan terpendam lewat BDSM. Sebuah aktivitas yang dicela atas nama moral, oleh orang-orang yang melakukan pembiaran atas tindak diskriminasi dan seksisme. 

(Netflix)

2 komentar :

Comment Page:
talass19 mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BEOM mengatakan...

Nice review bang. Awalnya ngga ada niat nonton, tapi setelah baca reviewnya jadi pengen nyoba dulu~