REVIEW - JAKARTA VS EVERYBODY
Seksualitas, kisah seputar narkoba yang tidak digiring ke ranah iklan layanan masyarakat atau tearjerker, Jefri Nichol tampil bukan sebagai sosok "bad-but-good boy". Poin-poin tersebut rasanya bakal membuat Jakarta vs Everybody banyak menerima label "berani" dan "berbeda". Keberaniannya memang harus diakui, tetapi karya terbaru sutradara Ertanto Robby Soediskam ini sesungguhnya termasuk suguhan tipikal.
Tipikal sebuah film yang berkeinginan tampil liar, dengan mendesain sang protagonis sebagai individu dengan hidup yang sejauh mungkin menjauhi moralitas, sembari menyelipkan beberapa "adegan panas". Jakarta vs Everybody terlalu sibuk berusaha tampil liar, sampai lupa untuk tampil dalam.
Dom (Jefri Nichol) tengah merasakan kerasnya merantau di ibu kota. Mimpinya menjadi aktor selalu menemui tembok penghalang, dari proses kurang menyenangkan sebagai figuran, hingga casting director nakal. Di tengah keputusasaan, ia bertemu Radit (Ganindra Bimo) dan Pinkan (Wulan Guritno), sepasang kekasih sekaligus bandar narkoba. Demi bertahan hidup, Dom memutuskan bergabung sebagai kurir.
Alur Jakarta vs Everybody didominasi keseharian Dom, yang memakai talenta keaktorannya, memerankan beragam sosok untuk memuluskan aksi. Menyaksikan Dom bermain peran (baca: menyamar), dari sebatas mengenakan seragam kurir pizza hingga bertransformasi jadi waria, lalu mengaplikasikan ilmu "cara mengantar dan menyembunyikan narkoba", adalah pemandangan menarik.
Alih-alih di depan kamera, Dom menerapkan bakat aktingnya di dunia gelap. Terselip ironi, namun naskah buatan Ertanto (berdasarkan cerita buah pikirnya bersama Jefri) lalai membukakan pintu menuju ruang intim karakternya. Jika ngin membangun paralel antara "Dom si aktor" dan "Dom si kurir narkoba", dinamika psikis yang ia lewati di tiap transformasi, pula pertentangan batinnya, perlu dieksplorasi. Jakarta vs Everybody terlalu dangkal memandang konsep akting. Apa yang diperlihatkan di sini tak ubahnya cosplay semata.
Alhasil di beberapa titik filmnya terasa repetitif. Dom menyamar, menaruh narkoba, mengamati si konsumen, selesai. Setidaknya, berkat permainan tempo apik dari sang sutradara, visual berhiaskan warna-warna cantik, pula ditambah selipan humor, film ini tak pernah membosankan sepanjang kurang lebih 101 menit durasinya.
Gerakannya cepat. Terlebih kala departemen penyuntingan menampilkan lompatan-lompatan kasar antar adegan. Bukan kekurangan, melainkan kesengajaan guna mewakili keliaran kisahnya, juga upaya menghidupkan wajah ibu kota yang selalu bergulir kencang seolah tak terkendali.
Jakarta vs Everybody beruntung diisi jajaran cast mumpuni. Ganindra Bimo, Wulan Guritno, pula Jajang C. Noer sebagai Ratih si pengurus apartemen, tampil solid sesuai porsi masing-masing. Sedangkan Jefri menegaskan kelebihan terbesarnya, yang sesungguhnya telah sang aktor kerap perlihatkan, yakni kenaturalan. Serupa Reza Rahadian hanya saja dengan gaya jauh berbeda, Jefri jagonya mempertahankan realisme dalam situasi kasual, sembari melahirkan chemistry alami dengan siapa pun lawan mainnya.
Lalu ada Dea Panendra sebagai Khansa si perias mayat sekaligus salah satu pelanggan Dom. Di antara semua karakter, Khansa, yang memasang foto-foto mayat hasil riasannya di kamar, paling memancing keinginan untuk mengenal lebih jauh. Apalagi Dea kembali unjuk gigi sebagai scene stealer (urusan sensualitas, dia juga yang tampil paling berani di sini). "Alah jembut stereotype" bakal jadi kandidat quote of the year berkatnya.
Sayangnya, meski mempunyai deretan pemain handal, naskah Ertanto Robby Soediskam masih diganggu kelemahan layaknya Ave Maryam (2018), yaitu dorongan memasukkan kalimat bijak nan puitis, tanpa memperhatikan apakah kalimat tersebut terlontar dari mulut orang yang tepat. Misal saat Radit membicarakan perihal konsep realita dan waktu, atau celetukan Khansa mengenai hidup dan mati. Bukan soal gagasan, tapi pilihan diksi yang tak sesuai dengan penokohan keduanya.
Begitulah Jakarta vs Everybody. Ada kalanya menghibur, bersinar, namun tak jarang terjatuh ke dalam lubang-lubang kekurangan. Mungkin filmnya terlalu jauh meresapi nyawa ibu kota, di mana memperoleh segala hal baik sesuai kemauan tanpa direcoki keburukan merupakan kemustahilan.
(Bioskop Online)
5 komentar :
Comment Page:Wah gila sih dea panendra dsini
Kyknya blm ada pemeran seberani dia blakangan ini sih
Kalo ott emang bisa gak pake sensor yah mas??
Tetep pake itu. Standar sensor bioskop & ott agak beda, apalagi ini ratingnya 21+
Tanpa totalitas nya pun inho Dea Panendra tetap scene stealer di film ini. Padahal ngarep ny Wulan Guritno yg bs tampil berani kek gitu 😅
Tp jujur, film ini agak nanggung untuk saya. Banyak key plot yg dibiarin tnpa penjelasan.
endingnya agak ambigu sii menurut gw...
Iya
Ini narkoba ama seks bebas kek cuma tempelan doang di alur cerita. Premis dia sebagai aktor gagal sebenarnya lebih menarik tapi ga digali dalem.
Posting Komentar