REVIEW - MARLEY

6 komentar

Film Indonesia yang menjadikan anjing sebagai tokoh sentral masih bisa dihitung jari. Sebelum Marley, seingat saya di kategori fiksi panjang baru ada Boni dan Nancy (1974) serta June & Kopi (2021). Sehingga karya penyutradaraan M. Ainun Ridho ini patut diapresiasi. Apalagi di luar banyak kekurangannya, Marley punya beberapa nilai penting yang membuatnya pas dijadikan tontonan keluarga (baca: materi belajar anak). Sampai tiba ending yang merusak segalanya. Tapi itu bakal saya bahas belakangan.

Pertama mari berkenalan dulu dengan protagonisnya. Doni (Tengku Tezi) namanya, seorang guru matematika SD yang dikenal lewat gaya mengajar uniknya. Beberapa guru mengaguminya, termasuk Vina (Tyas Mirasih) yang diam-diam disukai Doni, tapi banyak pula yang menentang karena dianggap menyalahi kurikulum. Alhasil Doni pun dipecat. 

Tentu situasi ini memberatkan si pengajar muda. Apalagi ia juga mesti merawat Marley, anjing yang ditemukannya di tengah jalan setelah kabur dari tempat penjagalan. Tercetus ide membuat tempat les, tapi murid tak kunjung datang. Rupanya Doni, si guru muda dengan teknik mengajar kreatif, cuma terpikir taktik promosi door-to-door konvensional. Sebatas menyebar informasi melalui media sosial saja tidak dilakukan. 

Ketepatan Tengku Tezi memerankan Doni pun mengundang pertanyaan. Dia punya aura pria baik, namun kekurangan karisma yang mana harus dimiliki. Karena biarpun citranya bersahabat, Doni tetap figur pemimpin bagi murid-murid (seperti Robin Williams di Dead Poets Society misal). Tezi bahkan kerap terlalu konyol untuk bisa kita anggap serius, pula kesulitan tiap dituntut berakting serius. Buruknya mixing suara, terutama saat dialog dan musik tampil beriringan, sama sekali tidak membantu. 

Masalah terbesar dari naskah buatan M. Ainun Ridho dan Haikal Damara (dari cerita milik Denny Siregar sang produser eksekutif) terletak pada fokus. Ketimbang sepenuhnya mengeksplorasi isu perdagangan anjing sebagai konsumsi manusia, Marley lebih banyak berkutat di persoalan pendidikan. Sejatinya bukan masalah selama dibarengi konsistensi, tapi klimaksnya sendiri berkata sebaliknya. 

Klimaks Marley menghadirkan lomba matematika dan konfrontasi antara Doni dengan para penjual daging anjing secara bersamaan. Dua konflik itu tak saling menguatkan. Tiada pengaruh dalam keputusan memunculkan keduanya di satu waktu. Nihil substansi, cenderung mendistraksi sekaligus melemahkan intensitas. 

Untungnya dua konflik tersebut mendatangkan pesan penting bagi anak (walau juga membuktikan bahwa naskah lebih mementingkan berpesan dibanding penceritaan memadai) terkait "bakat anak yang berbeda-beda" dan cara memperlakukan anjing. Soal poin kedua, lagi-lagi naskahnya menampakkan inkonsistensi. Karakter tetangga Doni (Emmie Lemu) berkali-kali melempar nasihat berbunyi "asu itu hewan sensitif", menegur Doni kala membentak Marley, hanya untuk kemudian melempar sapu lidi ke arah si anjing yang mencuri bra miliknya. 

Subplot yang tampil paling mulus (meski belum layak disebut "bagus") justru romansa. Percintaan sarat interaksi canggung miliknya mampu bekerja dengan baik berkat Tyas Mirasih, sebagai satu-satunya cast yang membawa realisme di penampilannya. Romansa ini pula yang jadi medium menghantarkan emosi pada babak puncak (sekali lagi, wujud inkonsistensi naskah dalam menentukan fokus). Lalu sampailah kita di ending. 

Seolah berangkat dari perspektif ketinggalan zaman bahwa "emosional" bersinonim dengan "kesedihan", naskahnya menutup cerita melalui tragedi yang datang tiba-tiba entah dari mana. Konklusi yang membuat seluruh proses yang kita saksikan dan pedulikan selama lebih dari satu setengah jam terasa percuma. Konklusi yang sama sekali tidak berkontribusi pada satu pun isu atau konflik utama. 

Marley adalah film keluarga. Pacing penceritaannya cepat agar nyaman disaksikan penonton anak. Jajaran antagonisnya cenderung cartoonish agar menghibur (dan tidak terlalu menakutkan) bagi penonton anak. Konklusinya mengkhianati semangat itu. Bukan mengajarkan tentang kehilangan selaku bagian kehidupan, namun sekadar shock value, yang lupa kalau anak perlu diperlihatkan dampak baik dari perbuatan baik.  

6 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

ngeliat sekilas, saya kira ini biopiknya bob marley wkwkwk

Anonim mengatakan...

Berharap semoga ada Hachiko versi Indonesia! Yang main Ray Sahetapy atau Mathias Muchus

Anonim mengatakan...

Tapi hubungan anjing/bagong dan om Tio Pakusadewo dalam film surat dari Praha...epicccc bgt...berharap ad film om Tio lagi dengan doggy..dari lebih intim

vian mengatakan...

Kalau aku agak pesimis lihat kualitas official trailernya yang tidak HD. Gimana yah, trailer itu kan first impression-nya. Kalau trailernya ga HD, bisa aja orang akan berpikir proyek ini kurang digarap sepenuh hati.

agoesinema mengatakan...

Kukira remake dari Me and Marley

Fradita Wanda Sari mengatakan...

@vian Aku jg mengurungkan niat nonton ini karna kadung kecewa liat kualitas trailernya yang sangat tidak niat :(