REVIEW - AFTER YANG

1 komentar

Diadaptasi dari cerita pendek Saying Goodbye to Yang karya Alexander Weinsten, After Yang bisa saja bergabung dalam barisan fiksi ilmiah klise tentang artificial intelligence yang punya sisi kemanusiaan. Tapi di tangan Kogonada selaku sutradara sekaligus penulis naskah, kisahnya dibawa ke perenungan lebih mendalam. 

Demi memperkenalkan puteri angkat mereka, Mika (Malea Emma Tjandrawidjaja), pada kultur Cina yang jadi asalanya, Jake (Colin Farrell) dan Kyra (Jodie Turner-Smith) membeli robot bernama Yang (Justin H. Min) guna dijadikan figur kakak. Suatu ketika, Yang mengalami malfungsi. Sepanjang upayanya memperbaiki Yang, Jake justru mendapat banyak temuan mengenai sang putera. 

Temuan-temuan itu awalnya membuat Jake bertanya-tanya, "Apakah Yang merasakan emosi serupa manusia? Ataukah dia ingin menjadi manusia?". Tapi sekali lagi, ini karya Kogonada. Jika familiar dengan esai video soal sinema buatannya (Kubrick: One-Point Perspective, Hands of Bresson, Eyes of Hitchcock, dll.), anda akan menyadari kepekaan serta pemikiran kritis milik sineas dengan identitas misterius ini. 

Jake bertemu Ada (Haley Lu Richardson), gadis hasil kloning yang akrab dengan Yang, lalu menanyakan perihal kemanusiaan puteranya. Ada justru bertanya balik, "Apa hebatnya menjadi manusia?". After Yang menjauhi keklisean film bertema artificial intelligence. Kogonada menampik kejumawaan manusia, yang saking (merasa) superiornya, mengira makhluk lain ingin menyamai mereka untuk mencapai kesempurnaan. 

Padahal manusia penuh ketidaktahuan, dan film ini merupakan proses menyadari ketidaktahuan tersebut. Jake selaku peracik teh dengan segala pemahaman filosofis tentangnya, mendapati ilmunya belum sehebat yang ia harapkan. Pengetahuan manusia soal dunia masih teramat minim.

Kogonada membagi "dunia" ke dalam dua bentuk, yakni fisik (tempat kita tinggal) dan nonfisik. Jake menjamah dunia nonfisik kala mendapat akses ke penyimpanan memori Yang. "Dunia" milik Yang. Makin banyak keping memori ia tonton, makin Jake sadar bahwa ia tidak benar-benar mengenal puteranya. 

Memori di mata Kogonada bukan sebatas bahan nostalgia, pula media penghubung antar manusia. Seperti teh yang Jake percaya menyimpan "rasa" dari sebuah tempat dan waktu, memori pun demikian. Kala memori membawa manusia mencicipi lagi rasa suatu peristiwa yang dialami bersama seseorang, terciptalah koneksi dengan orang tersebut, bahkan andai ia telah tiada. 

After Yang juga acap kali dibungkus bak memori. Sewaktu karakternya mengingat kejadian masa lalu, muncul beragam varian flashback, masing-masing dengan secuil perbedaan (nada bicara, pemenggalan kata, atau ekspresi emosi), karena mustahil ada versi absolut dari sebuah ingatan. Kemudian tiap varian saling tumpang tindih, layaknya dinamika otak kita tatkala berusaha memainkan rekaman memori.

Memasuki babak ketiga, filmnya mengungkap poin mengejutkan yang sebenarnya jadi titik lemah. Elemen "mencari cinta sejati yang hilang" justru menyisakan hasrat akan eksplorasi lebih jauh. Rasanya seperti menemukan cerita besar nan menarik, namun kita cuma diberi akses untuk mengintip sebagian kecilnya saja. Mengganjal.

Tempo lambatnya mungkin kurang bersahabat bagi beberapa penonton, tapi saya dibuat terpaku oleh alurnya yang pelan-pelan rutin mengungkap fakta baru. Pun Kogonada mengemas filmnya secara cantik, cenderung menghipnotis. Permainan suasana, pilihan shot Benjamin Loeb selaku penata kamera, hingga penataan propertinya, mencuatkan nuansa artificial yang disengaja. Tapi sebagaimana Yang bukanlah benda mati, Kogonada selalu menemukan celah untuk menghembuskan kehidupan berupa "rasa". Menonton After Yang seperti berada dalam kamar gelap yang tetap menyisakan celah bagi cahaya matahari untuk menyelinap masuk.

(iTunes US)

1 komentar :

Comment Page:
reza mengatakan...

Luar biasa referensi sinemanya. Bagi sy, film ini, beserta media menontonnya, melebihi jangkauan sy yg ruang lingkupnya br sebatas netflix. Ada rencana melengkapi resensi di sini dg trailer bang? Ohya,
pny rekomendasi utk EoS 2022 Online bang?