REVIEW - THE GRAY MAN

13 komentar

Selain James Cameron, hanya Russo Brothers yang memiliki dua film dengan pendapatan mencapai dua miliar dollar. Ditambah tendensi menggelontorkan dana besar-besaran demi konten orisinal, keputusan Netflix menunjuk figur di balik lahirnya babak kulminasi franchise sinema terbesar sepanjang masa untuk mengarahkan produk termahal mereka, dapat dilihat sebagai kejawaran. 

The Gray Man yang mengadaptasi novel berjudul sama milik Mark Greaney punya bujet 200 juta dollar, dan Russo Brothers pernah menggarap tiga film dengan biaya di atas itu (bahkan empat kalau memperhitungkan inflasi). Bukankah berarti semua bakal berjalan mulus? 

Tapi menonton The Gray Man justru mengingatkan pada realita, bahwa di luar perspektif etika, campur tangan eksekutif studio tak melulu berujung kualitas buruk. Bukan rahasia bila Kevin Feige kerap memberi "masukan" dalam proses produksi MCU (sebelum belakangan mulai membebaskan eksplorasi mengingat kuantitas filmnya bertambah). The Gray Man menandai kemandirian perdana Russo Brothers di ranah blockbuster, yang justru membuat saya mempertanyakan talenta mereka. 

Tahanan bernama Courtland "Court" Gentry (Ryan Gosling) direkrut oleh Donald Fitzroy (Billy Bob Thornton) untuk bekerja sebagai "mesin pembunuh" untuk CIA. Memakai kode nama "Sierra Six", ia mengeliminasi target sesuai arahan. Sampai suatu misi membuat Court mengetahui rahasia perusahaan, yang menjadikannya target buruan banyak pembunuh dari berbagai negara, termasuk Lloyd Hansen (Chris Evans), mantan anggota CIA yang dikeluarkan akibat aksi-aksi bengisnya. 

Mengusung formula film spionase yang mengirim karakternya menuju petualangan melintasi banyak negara, The Gray Man jelas ini menjadi "the next James Bond". Konfrontasi dua leading man kelas A Hollywood juga memberi nilai jual lebih. Ditambah pemilihan Ana de Armas yang karirnya makin bersinar guna memerankan Dani, agen CIA yang menolong Court, lengkap sudah amunisi The Gray Man. 

Tapi kembali ke pembahasan awal, masalah terletak pada orang-orang di balik kamera, baik penyutradaraan maupun naskah yang ditulis Joe Russo, Christopher Markus, dan Stephen McFeely. Dosa besar duo sutradaranya, yang memunculkan pesimisme kalau di masa depan nanti bakal ada studio mau mengucurkan dana ratusan juta untuk mereka, adalah kegagalan membuat The Gray Man nampak punya biaya 200 juta dollar.

Saya bukan sedang menyinggung kualitas CGI sebagaimana kerap jadi acuan publik menentukan apakah sebuah film kelihatan mahal. Simak pilihan-pilihan shot mereka, khususnya di adegan aksi. "Datar", tanpa money shot, bahkan tak jarang terkesan "asal rekam". Ambil contoh set piece di Praha yang memakan biaya 40 juta dollar. Penuh efek, destruktif, tapi lihat bagaimana Russos menangkap Ryan Gosling berlari di atas trem yang hendak menabrak gedung (muncul di trailer). Canggung, kalau tak mau disebut memalukan. Sutradara blockbuster bertalenta bakal mampu mengolah money shot agar si protagonis nampak badass dalam situasi tersebut. 

Kasus serupa terjadi dalam sekuen "pesawat jatuh". Saya cuma melihat keruwetan di layar. Tanpa estetika, tanpa intensitas. Beberapa bulan lalu Michael Bay merilis Ambulance, yang meski tidak luar biasa, jelas nampak lebih mahal walau hanya diberi bujet 20% dari The Gray Man, berkat kecerdikan meramu shot. Sedangkan Russo Brothers beranggapan bahwa memakai drone sesering mungkin adalah pondasi kemewahan. 

Naskahnya tidak kalah berdosa, entah terkait hal-hal dasar seperti cerita dan penokohan, sampai soal konsepsi adegan aksi. Court merupakan father figure bagi Claire (Julia Butters), ponakan Fitzroy, namun akibat presentasi lemah, ikatan mereka tampil tak bernyawa. Gosling pun bak kebingungan menghidupkan sosok Court, sebab naskahnya sendiri tidak jelas dalam menentukan, apakah karakternya sedingin es dan gemar melempar dry humor, atau memang witty. 

Terkait aksi, sebuah sekuen memperlihatkan jelas betapa buruk naskahnya dalam hal pengonsepan. Court diborgol di bangku taman, sementara belasan pembunuh mengepungnya. Situasi macam itu mestinya jadi ajang menegaskan betapa hebatnya si jagoan sampai bisa melumpuhkan begitu banyak lawan di tengah keterbatasan. Tapi tidak. Para pembunuh bukan kelabakan karena kemampuan luar biasa sang protagonis, tapi akibat banyaknya polisi. Jangan-jangan penulisnya belum menonton seri 007, Mission: Impossible, atau John Wick. 

Lalu setelah menanti selama hampir dua jam, akhirnya Ryan Gosling dan Chris Evans saling adu jotos.....untuk diakhiri secara antiklimaks. Benar, novelnya mengambil jalan serupa, tapi adaptasi layar lebar memerlukan penyesuaian. Pun sebagai adaptasi, naskahnya berhak memodifikasi, selama bukan terkait hal-hal yang merusak intisari materi asalnya. 

Apakah tidak ada redeeming factor di sini? Untungnya ada, yakni jajaran cast-nya. Evans tampak bersenang-senang meski (lagi-lagi) naskah semestinya bisa memberi tambahan materi agar sang aktor dapat mengeksplorasi kegilaan karakter peranannya. Dhanush sebagai Lone Wolf si "pembunuh dari Tamil" di luar dugaan mendapat porsi lebih dari sebatas glorified cameo, dan saya mengapresiasi itu. Ana de Armas kembali mencuri perhatian sebagai jagoan laga tangguh, yang pantas berada di film dengan kualitas lebih baik. 

(Netflix)

13 komentar :

Comment Page:
Mukhlish mengatakan...

Jadi, ini Avengers Infinity war/endgame bagus karena mereka, atau karena diarahin sama produsernya? Soalnya jujur saya kaget banget sih sama kualitas ini film.
Sutradara yang bisa mengatur karakter Avengers dengan pas, Plus bisa meramu 21 film Marvel Cinematic Universe dengan indah, bisa-bisanya buat film kayak ginian. Kecewa banget sih saya.

Aan mengatakan...

well..saya pikir seseru intrik dan duel seperti capt america winter soldier yg buat saya film solo superhero terbaik marvel...

Yasya Indra Journal mengatakan...

ga baru kali ini Russo Brothers bikin film jelek di luar MCU. Sebelumnya bersama Tom Holland di film berjudul Cherry (dari AppleTV) juga mengecewakan

saya juga nulis review film ini di blog saya

Reza mengatakan...

Apa perlu ya Russo ini garap film sendiri2 dulu, kyk coen brothers gitu, yaa atau kalau di Indo kyk Mo Brotherslah? jadi Kalo dipisah bisa keliatan gitu..

Rasyidharry mengatakan...

Setelah nonton The Gray Man ya cukup yakin banyak best moment di Endgame dll yang auto pilot

Rasyidharry mengatakan...

Coen Brothers sebenernya pisah baru sekarang. Dulu kreditnya cuma Joel, tapi itu lebih karena aturan Directors Guild. Aslinya selalu berdua

wayangslot mengatakan...

pengen nonton sii, tp gaada waktu guys XD sedihh

Visible Man mengatakan...

Setuju, aksinya gak terlihat wah untuk budget yang tinggi, formula yang sama dengan film2 sebelumnya dan chris evan sebagai antagonis kurang terexpose skillnya.

wins mengatakan...

Baru selesai nonton, film mewah tapi gak wah, kuciwa...

Anonim mengatakan...

Benar cukup kecewa dgn film ini..padahal expetasi sy tinggi...mengingat russo penghasil winter soldier dan avenger...adegan laga sangat2 mengecewakan...ckp berasalan avneger sceret war buakn russo lagi yg dpercaya kevin feige

Eko Siswanto mengatakan...

tidak seburuk itu juga

Anonim mengatakan...

Kalo EEAAO itu ada campur tangan russo brother ? Kok di ending film saya liat nama mereka?

Kol Medan mengatakan...

Wee ada Rami Malek