REVIEW - MADU MURNI

8 komentar

Madu Murni mengingatkan ke pola banyak naskah teater dari era 70-an hingga 80-an, yang sampai sekarang masih dijadikan bahan belajar para mahasiswa pelakon drama panggung. Kenakalan (baik dalam caranya membicarakan isu sosial maupun elemen seksualitas), monolog yang menyelipkan sentilan tajam, permainan simbol, karakter dengan ciri khas unik cenderung aneh, hingga sempilan keabsurdan. Bukan berarti hasilnya memuaskan, sebab Madu Murni tampil bak pisau tumpul. Kurang tajam dalam menyentil, kurang nakal dalam bermain-main. 

Protagonisnya adalah Mustaqim (Ammar Zoni), mantan guru ngaji yang akibat tuntutan finansial, banting setir menjadi penagih hutang bersama partnernya, Rojak (Tanta Ginting). Tapi sebanyak apa pun uang dihasilkan, sang istri, Murni (Irish Bella), enggan menerima. Murni menentang profesi baru Mustaqim.

Mustaqim merupakan perwujudan maskulinitas. Setidaknya itu yang ia inginkan. Badan kekar, rajin angkat beban, meminta istrinya berhenti berjualan di warung dan jadi ibu rumah tangga, karena malu dianggap tidak sanggup menafkahi. "Harga diri laki-laki" amat dipujanya, sampai kerap menyulut pertengkaran rumah tangga. 

Sebuah pertengkaran pecah di meja makan, saat Murni lagi-lagi menolak uang pemberian suami. Mustaqim berdiri, lalu berseloroh soal memajang uang-uang itu di dinding. Latar, pilihan diksi, serta bagaimana Monty Tiwa selaku sutradara menerapkan one take, jelas mencerminkan pendekatan khas drama panggung. Sayang, monolog itu kurang berkesan gara-gara tiga poin: sebatas banyolan kosong nihil sentilan, akting Ammar Zoni yang belum cukup matang, dan inkonsistensi bahasa. 

Poin terakhir acap kali terjadi. Kadang naskah buatan Musfar Yasin bak produk dari dekade lampau dengan segala kebakuannya, tapi kadang terdengar kekinian. Parahnya, inkonsistensi dapat muncul dalam satu adegan. 

Bingung mesti memberikan uangnya ke siapa, Mustaqim terdorong untuk berpoligami atas saran Rojak. Apalagi ia merasa Murni belum mampu memberinya momongan. Pilihan pun jatuh pada Yati (Aulia Sarah), yang perangainya paling tepat dideskripsikan sebagai "menggoda". 

Saya merasa perlu menekankan "karakterisasi" Yati di atas, sebab Musfar Yasin memang masih terjebak di kedangkalan stigma dalam mengemas karakter wanitanya. Murni adalah istri tua, sehingga ia digambarkan lebih "lurus", alim, dan berhijab. Sedangkan Yati si istri muda gemar berpakaian terbuka, seksi, pula cenderung nakal. Oh, dan tentu ia seorang janda, yang kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif.

Singkat cerita (sangat singkat, sampai terasa mendadak), Mustaqim dan Yati menikah. Tapi di malam pertama, Mustaqim justru impoten. Tidak perlu jadi pakar semiotika guna menangkap bahwa impotensi tersebut merupakan sindiran atas obsesi karakternya terhadap maskulinitas. Anggap saja versi lebih ringan dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. 

Ringan karena fokus utamanya memang terletak pada komedi soal "burung". Beberapa mampu mengundang sedikit tawa, meski lebih banyak yang gagal mengenai sasaran. Beruntung kegagalan tersebut masih bisa disamarkan oleh tempo penuturan cepat milik Monty Tiwa. Tatkala ada satu humor tampil kurang lucu, kita sudah dibawa berpindah ke momen berikutnya, sebelum sempat merasa terganggu. 

Begitu pun ketika alurnya mulai repetitif, hanya berpindah-pindah antara konflik domestik Mustaqim dan upayanya bersama Rojak menggusur Pak Salim (Jaja Mihardja) dari kediamannya. Lagi-lagi ini pendekatan ala drama panggung dengan keterbatasan kuantitas latar yang dapat dipakai dalam suatu cerita (walau jika diterapkan ke panggung, alur Madu Murni bakal tetap repetitif). Kembali, pacing sang sutradara membuat repetisi naskah tak sampai merusak keseluruhan film. 

Aspek dramatisnya lain cerita. Entah karena keterbatasan akting pemain, keputusan sutradara, atau panduan dari naskah, tiap situasi dramatis selalu menampilkan teriakan. Apa pun pokok masalahnya, siapa pun yang terlibat, seluruh amarah seolah wajib dihantarkan dengan volume teriakan paling tinggi. Baik Irish Bella selaku penampil terbaik maupun Aulia Sarah sebagai sumber hiburan terbesar (akan banyak celotehan "Badarawuhi kok jadi gini?"), bermain dengan prinsip "the louder the better". 

Sedangkan perihal seksualitas, Madu Murni kurang liar kala bermain-main, berhenti di taraf membuat Aulia Sarah tampil menggoda, dan melempar lawakan "penetrasi jari" yang seperti muncul dari otak bocah yang "baru mulai nakal". Ketimbang mengolah itu, naskahnya malah sibuk menghias kantor Boss (Epy Kusnandar) dengan sentuhan performance arts, yang nyeni tidak, lucu pun tidak. Sama seperti keseluruhan filmnya. 

8 komentar :

Comment Page:
Vsf mengatakan...

Review Film Ranah 3 Warna kapan bang?

Anonim mengatakan...

mas, review film ranah 3 warna

vian mengatakan...

harus banget punya status janda ya? Jujur lama2 muak dengan formula "janda identik dengan istri muda, pelakor, dan sejenisnya". Lebih disayangkan lagi kalau perfilman kita turut serta melestarikan stereotip inio

mass_umam mengatakan...

Jelek sih kalo menurutku

Rasyidharry mengatakan...

Itulah. So yesterday

Aan mengatakan...

bikin srx comedy disini emang masih repot.soal vulgar relatif gimana budaya setempat.kalo nekad ya resiko kena sensor.atau kena protes ormas..hahaha

Vsf mengatakan...

Kalo jelek sih engga, tp biasa aja dan banyak part yg beda sama Novelnya padahal kalo baca Novelnya bagus loh..

wayang79 mengatakan...

kalo yang main pasangan gini sih pasti kerasa banget acting nya kyk beneran XD