Tampilkan postingan dengan label Epy Kusnandar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Epy Kusnandar. Tampilkan semua postingan

REVIEW - MADU MURNI

Madu Murni mengingatkan ke pola banyak naskah teater dari era 70-an hingga 80-an, yang sampai sekarang masih dijadikan bahan belajar para mahasiswa pelakon drama panggung. Kenakalan (baik dalam caranya membicarakan isu sosial maupun elemen seksualitas), monolog yang menyelipkan sentilan tajam, permainan simbol, karakter dengan ciri khas unik cenderung aneh, hingga sempilan keabsurdan. Bukan berarti hasilnya memuaskan, sebab Madu Murni tampil bak pisau tumpul. Kurang tajam dalam menyentil, kurang nakal dalam bermain-main. 

Protagonisnya adalah Mustaqim (Ammar Zoni), mantan guru ngaji yang akibat tuntutan finansial, banting setir menjadi penagih hutang bersama partnernya, Rojak (Tanta Ginting). Tapi sebanyak apa pun uang dihasilkan, sang istri, Murni (Irish Bella), enggan menerima. Murni menentang profesi baru Mustaqim.

Mustaqim merupakan perwujudan maskulinitas. Setidaknya itu yang ia inginkan. Badan kekar, rajin angkat beban, meminta istrinya berhenti berjualan di warung dan jadi ibu rumah tangga, karena malu dianggap tidak sanggup menafkahi. "Harga diri laki-laki" amat dipujanya, sampai kerap menyulut pertengkaran rumah tangga. 

Sebuah pertengkaran pecah di meja makan, saat Murni lagi-lagi menolak uang pemberian suami. Mustaqim berdiri, lalu berseloroh soal memajang uang-uang itu di dinding. Latar, pilihan diksi, serta bagaimana Monty Tiwa selaku sutradara menerapkan one take, jelas mencerminkan pendekatan khas drama panggung. Sayang, monolog itu kurang berkesan gara-gara tiga poin: sebatas banyolan kosong nihil sentilan, akting Ammar Zoni yang belum cukup matang, dan inkonsistensi bahasa. 

Poin terakhir acap kali terjadi. Kadang naskah buatan Musfar Yasin bak produk dari dekade lampau dengan segala kebakuannya, tapi kadang terdengar kekinian. Parahnya, inkonsistensi dapat muncul dalam satu adegan. 

Bingung mesti memberikan uangnya ke siapa, Mustaqim terdorong untuk berpoligami atas saran Rojak. Apalagi ia merasa Murni belum mampu memberinya momongan. Pilihan pun jatuh pada Yati (Aulia Sarah), yang perangainya paling tepat dideskripsikan sebagai "menggoda". 

Saya merasa perlu menekankan "karakterisasi" Yati di atas, sebab Musfar Yasin memang masih terjebak di kedangkalan stigma dalam mengemas karakter wanitanya. Murni adalah istri tua, sehingga ia digambarkan lebih "lurus", alim, dan berhijab. Sedangkan Yati si istri muda gemar berpakaian terbuka, seksi, pula cenderung nakal. Oh, dan tentu ia seorang janda, yang kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif.

Singkat cerita (sangat singkat, sampai terasa mendadak), Mustaqim dan Yati menikah. Tapi di malam pertama, Mustaqim justru impoten. Tidak perlu jadi pakar semiotika guna menangkap bahwa impotensi tersebut merupakan sindiran atas obsesi karakternya terhadap maskulinitas. Anggap saja versi lebih ringan dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. 

Ringan karena fokus utamanya memang terletak pada komedi soal "burung". Beberapa mampu mengundang sedikit tawa, meski lebih banyak yang gagal mengenai sasaran. Beruntung kegagalan tersebut masih bisa disamarkan oleh tempo penuturan cepat milik Monty Tiwa. Tatkala ada satu humor tampil kurang lucu, kita sudah dibawa berpindah ke momen berikutnya, sebelum sempat merasa terganggu. 

Begitu pun ketika alurnya mulai repetitif, hanya berpindah-pindah antara konflik domestik Mustaqim dan upayanya bersama Rojak menggusur Pak Salim (Jaja Mihardja) dari kediamannya. Lagi-lagi ini pendekatan ala drama panggung dengan keterbatasan kuantitas latar yang dapat dipakai dalam suatu cerita (walau jika diterapkan ke panggung, alur Madu Murni bakal tetap repetitif). Kembali, pacing sang sutradara membuat repetisi naskah tak sampai merusak keseluruhan film. 

Aspek dramatisnya lain cerita. Entah karena keterbatasan akting pemain, keputusan sutradara, atau panduan dari naskah, tiap situasi dramatis selalu menampilkan teriakan. Apa pun pokok masalahnya, siapa pun yang terlibat, seluruh amarah seolah wajib dihantarkan dengan volume teriakan paling tinggi. Baik Irish Bella selaku penampil terbaik maupun Aulia Sarah sebagai sumber hiburan terbesar (akan banyak celotehan "Badarawuhi kok jadi gini?"), bermain dengan prinsip "the louder the better". 

Sedangkan perihal seksualitas, Madu Murni kurang liar kala bermain-main, berhenti di taraf membuat Aulia Sarah tampil menggoda, dan melempar lawakan "penetrasi jari" yang seperti muncul dari otak bocah yang "baru mulai nakal". Ketimbang mengolah itu, naskahnya malah sibuk menghias kantor Boss (Epy Kusnandar) dengan sentuhan performance arts, yang nyeni tidak, lucu pun tidak. Sama seperti keseluruhan filmnya. 

RUMAH KENTANG: THE BEGINNING (2019)

Be careful what you wish for. Karena terlalu sering diulang dalam empat tahun belakangan, setelah Mata Batin 2 awal tahun ini, saya berharap Hitmaker Studios mau beralih dari pola khas Rocky Soraya. Dibuat oleh Rizal Mantovani (film pertama Hitmaker yang bukan disutradarai Rocky Soraya sejak Tarot empat tahun lalu), Rumah Kentang: The Beginning menerapkan gaya berbeda, dan berujung melahirkan horor terburuk milik rumah produksi tersebut.

Kisahnya tak memiliki kaitan dengan Rumah Kentang (2012, juga produksi Hitmaker), dan sesuai dugaan, embel-embel “The Beginning” di judulnya sebatas omong kosong. Anda bisa mengganti kentang dengan jagung, lobak, terong, atau petai, dan takkan berdampak.  Kenapa dalam meneror korbannya, si hantu memakai kentang sebagai medium? Pertanyaan itu pun tak terjawab. Padahal bila mengacu pada legenda lokal, baik di Jakarta, Bandung, maupun Yogyakarta, bukan itu alasan pemberian julukan “rumah kentang”.

Berlatar tahun 1983 yang berakhir sebatas angka karena detail tata kostum, set, sampai propertinya kurang mendukung, Rumah Kentang: The Beginning tak ada bedanya dibanding film bertema rumah angker lain. Sepasang suami istri, Adrian (Christian Sugiono) dan Sofie (Luna Maya), kembali ke rumah masa kecil Sofie yang telah lama kosong sejak kedua orang tuanya menghilang secara misterius. Alasan mereka adalah membantu Adrian mendapat inspirasi untuk menulis novel terbaru.

Bisa ditebak, ada rahasia kelam di masa lalu keluarga Sofie, yang mendorong munculnya teror. Kata “teror” di sini seringkali berupa banjir kentang. Beberapa kali karakternya tewas karena terkubur kentang. Benar-benar cara mati yang “kentang”.  Ini bukan suguhan campy, sebutlah seperti Attack of the Killer Tomatoes (1978). Baik naskah buatan Agam Suharto maupun penyutradaraan Rizal Mantovani memposisikan serbuan kentang sebagai hal serius, kelam, mengerikan. Masalahnya, semakin dianggap serius pemandangan tersebut semakin konyol. Apakah karena orang tua Sofie petani kentang ototmatis membuat kentang jadi senjata sang hantu? Kasihan sekali hantu kita ini.

Soal menakut-nakuti, sebenarnya saya mencium niat baik dari naskah buatan Agam Suharto, yang menolak terlampau sering mengeksploitasi jump scare. Tapi di saat bersamaan, tidak ada “ganti rugi” yang ditawarkan, entah misteri, atmosfer, atau creepy imageries. Hasilnya adalah perjalanan membosankan yang berulang kali membuat saya terlelap selama sepersekian detik. Padahal ada modal menjanjikan berupa tata rias mumpuni bagi para makhluk halus, pula senyum menyeramkan Luna Maya.

Satu-satunya usaha merangkai alur yang Agam lakukan hanya menghilangkan satu demi satu anak Adrian dan Sofie, yang disajikan repetitif. Salah satu anak hilang, orang tuanya mencari di sekeliling rumah, sampai di gudang tempat belanga raksasa disimpan, menyadari anak mereka hilang di situ, lalu ditutup oleh jeritan pilu Luna Maya sedangkan Christian Sugiono sibuk menendang kentang-kentang di lantai. Terus ulangi saja pola ini sampai lebaran kentang.

Ketika Nina (Davina Karamoy) si puteri sulung hilang, pihak kepolisian berjanji bakal melakukan pencarian intensif di hutan. Kita tidak pernah melihat pencarian itu terjadi. Faktanya, naskah film ini sering melupakan poin-poin yang diperkenalkan beberapa saat sebelumnya. Semisal karakter Dadang (Epy Kusnandar). Awalnya, ia tampak misterius, seram, pelit bicara. Sampai di kemunculan kedua, saat ia bicara dengan Uwak (Jajang C. Noer), sosoknya berubah. Lebih ramah, lebih manusiawi, lebih banyak menyimpan rasa takut. Inkonsisten. Sama inkonsistennya dengan penokohan Adrian, seorang penulis novel horor berpengalaman yang sangat bodoh sampai bisa begitu mudah termakan tipu daya setan.

Saya bosan dengan formula Rocky Soraya, itu betul. Tapi setidaknya tak ada dorongan untuk terlelap, dan hanya butuh beberapa modifikasi sebagai penyegar. Di Rumah Kentang: The Beginning, sentuhan gore khas Rocky di klimaks berhasil meningkatkan intensitas. Peningkatan yang datang sangat terlambat. Saya sudah terlanjur tidak sabar ingin melangkah keluar dari studio. Lebih baik saya makan kentang rebus atau mashed potato.

PREMAN PENSIUN (2019)

Cerita semacam ini kerap saya dengar sejak kecil dari ayah. Tentang seorang pria “penguasa” jalanan yang dihormati anak buahnya, yang terdiri atas segerombolan preman setempat paling ditakuti. Bisa dimengerti ketika beliau tidak bangga akan kisah tersebut, namun sebagai bocah, tumbuh kekaguman akan sosok-sosok demikian. Bahkan salah satu tontonan favorit saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar adalah Goodbye Mr. Cool (2001) yang dibintangi Ekin Cheng.

Pada sebuah adegan dalam Preman Pensiun, Muslihat alias Kang Mus (Epy Kusnandar) menyuruh Ujang (M. Fajar Hidayatullah) mencari orang untuk diam-diam melindungi puterinya, Safira (Safira Maharani). Mereka senang hati membantu, sebab Kang Mus bukan semata bos, melainkan keluarga. Saya pernah mengalami hal serupa kala dahulu pertama tiba di perantauan untuk berkuliah. Saya mengagumi bentuk hubungan tersebut.

Itulah kenapa saya menikmati Preman Pensiun, walau belum menonton tiga musim serialnya. Kisah filmnya dimulai tiga tahun selepas episode terakhir, di mana Kang Mus beserta anak buahnya membubarkan diri demi memulai kehidupan baru.  Tapi nyatanya, sulit meninggalkan bisnis lama mereka, yang seperti diucapkan mendiang Kang Bahar (Didi Petet), adalah “Bisnis yang bagus tapi bukan bisnis yang baik”.

Kang Mus mengalami nasib serupa, tatkala usaha kecimpring miliknya semakin sepi setiap hari. Selain itu, terdapat pula kisah lain, seperti kekhawatiran Kang Mus akan Safira yang telah beranjak dewasa dan memiliki kekasih, hingga konflik lebih besar nan serius perihal pengeroyokan seorang pria.

Saya asing dengan serialnya, tapi sekali waktu saat pulang kampung, saya sempat menyimak beberapa judul produksi RCTI lainnya (Tukang Ojek Pengkolan, Dunia Terbalik, dan lain-lain). Sutradara sekaligus penulis naskah Aris Nugraha, yang dahulu turut melahirkan tontonan legendaris Bajaj Bajuri, kentara berusaha mempertahankan gaya khas “sinetron Sunda” tersebut. Aris pernah menyatakan keengganan mengangkat Preman Pensiun ke layar lebar, karena khawatir bakal menjadikannya eksklusif. Baginya, Preman Pensiun merupakan hiburan rakyat.

Hasilnya, penggemar lama secara khusus, atau pemirsa televisi secara umum, takkan merasa teralienasi begitu disuguhi lawakan ringan atau musik bernuansa Sunda garapan Dani Supit yang mengalun sepanjang film. Bedanya, berkat tambahan production value, otomatis Preman Pensiun punya tampilan lebih sinematik, pun didukung pilihan sudut kamera yang tak sinetron-ish.

Aris Nugraha juga mempertahankan model tutur sinetron, di mana begitu banyak cabang cerita untuk disatukan selama 90 menit durasi. Tempo cepat cenderung ngebut wajib diterapkan, ketika lompatan antar momen terjadi sekejap mata. Guna mengakali itu, Aris memakai teknik transisi yang membuat dialog dan gambar muncul silih berganti bak saling bersautan (Bagi kebanyakan penonton, teknik ini dipopulerkan film-film Warkop DKI).

Teknik bernuansa komedik di atas mungkin takkan memancing tawa lepas, tapi cukup menyuntikkan nuansa keceriaan yang memancing senyum. Cara tutur tersebut sejatinya melemahkan kekuatan drama mengenai usaha pertobatan para pensiuman preman. Konflik yang sesungguhnya sederhana berakhir lebih rumit ketimbang seharusnya. Desain narasi Preman Pensiun memang tak bertujuan menguatkan emosi, melainkan memfasilitasi agar durasi singkatnya bisa mencakup seluruh cabang cerita, dan tentu saja, bersenang-senang.

Biarpun tanpa cerita yang seberapa dalam, Aris Nugraha telah berhasil mencapai tujuan awalnya, yaitu membuat film hiburan bagi semua kalangan. Deretan karakternya “berwarna”, pun sesekali bertindak absurd. Sebutlah Mang Uu (Mang Uu) dengan Bahasa Inggris ala kadarnya, atau Kang Pipit (Ica Naga) yang gemar menggoda wanita dan memperhatikan detail-detail kecil tidak penting. Humor dari karakternya hadir dalam dosis secukupnya. Aris berusaha melucu tanpa memaksakan kekonyolan di tiap adegan.

Di luar dugaan, Preman Pensiun juga menyimpan hati, seperti nampak kala Kang Mus mengenang masa-masa menjadi anak buah Kang Bahar di depan puteri mantan bosnya itu, Kinanti (Tya Arifin). Saya terenyuh meski tak pernah melihat langsung hubungan Kang Mus dengan Kang Bahar berkat akting solid Epy Kusnandar (seperti biasa), serta sensibilitas Aris Nugraha membungkus melankoli dalam proses mengenang sesuatu yang pantas dikenang.