REVIEW - BLONDE

16 komentar

Norma Jeane alias Marilyn Monroe di Blonde bukanlah manusia, melainkan personifikasi tragedi. Sosoknya tak punya kepribadian, didefinisikan cuma lewat penderitaan demi penderitaan. Bahkan 60 tahun sejak kematiannya, Monroe masih dimanfaatkan sebagai objek untuk memamerkan kehebatan pria. 

Pria itu bernama Andrew Dominik, yang melalui naskahnya, mengadaptasi novel berjudul sama karya Joyce Carol Oates. Sebagaimana novelnya, film ini mendramatisasi kehidupan Monroe, membuatnya lebih dekat ke arah imajinasi fiktif ketimbang biografi. Di situlah Dominik, yang juga duduk di kursi sutradara, memperoleh kebebasan guna mengeksploitasi atas nama seni, tanpa dibarengi sensitivitas bahkan secuil simpati. 

Digambarkannya Norma Jeane (Ana de Armas) sebagai korban tindakan abusive sang ibu (Julianne Nicholson), yang menderita gangguan mental. Sedangkan sang ayah tak pernah Norma Jeane temui. Pertemuan itu amat didambakan, sampai Norma Jeane memanggil suami-suaminya "daddy". Di realita, Norma Jeane menikah tiga kali, tapi film ini hanya menampilkan suami kedua (Joe DiMaggio, diperankan Bobby Carnavale) dan ketiganya (Arthur Miller, diperankan Adrien Brody). 

Kita pun diajak menyaksikan bagaimana Norma Jeane bertransformasi jadi Marilyn Monroe si megabintang Hollywood, yang sekali lagi, melibatkan banyak peristiwa traumatis, khususnya pemerkosaan oleh berbagai pihak, dari eksekutif studio, hingga Presiden Amerika Serikat kala itu, John F. Kennedy (Caspar Phillipson). 

Tentu Dominik mengeksploitasi momen-momen tersebut, lewat tangkapan close-up yang makin menguatkan ketidaknyamanan. Jangan tanya berapa kali Ana de Armas mesti tampil telanjang. Itulah fokus nomor satu sang sutradara. Marilyn Monroe harus terlihat sekacau mungkin, tanpa upaya membangun kompleksitas penokohan, apalagi menjalin ikatan emosi antara penonton dengannya. 

Dominik tidak memedulikan Marilyn Monroe. Karena seperti pria-pria yang memanfaatkan si bintang, ia hanya berusaha memamerkan kehebatan sebagai seniman. Baik dalam hal pembuktian keberanian mendobrak batas melalui momen-momen disturbing nan vulgar, maupun terkait estetika. Visualnya terus berubah warna, rasio aspeknya rutin berganti, aneka efek pun sering disematkan. Dominik sedang pamer gaya, mengesampingkan subtansi, tak ubahnya mahasiswa film yang mendapat tugas pertamanya. 

Blonde jelas dimaksudkan sebagai suguhan artsy. Tapi tujuan itu pun berantakan, saat Dominik menyertakan adegan di mana Monroe yang tengah hamil, berbicara dengan si janin, selaku dampak trauma selepas keguguran beberapa tahun sebelumnya. Begitu pula pemakaian simbol seksual gamblang yang seperti berasal dari komedi seksual, tatkala Monroe dipaksa melayani JFK. Konyol. 

Ana de Armas tampil penuh totalitas. Dia bertransformasi, membiarkan hatinya dikuasai penderitaan sosok peranannya. Jika kelak hidup Marilyn Monroe kembali difilmkan, Ana de Armas patut diberi kesempatan lagi. Semoga proyek tersebut jatuh ke tangan yang tepat. Bahwa Marilyn Monroe adalah pengingat akan kelamnya industri perfilman yang sarat tragedi dan penderitaan itu benar adanya. Tapi Marilyn Monroe lebih dari sekadar tumpukan penderitaan. Semua manusia, entah rakyat jelata atau bintang ternama pun demikian. Tatkala karya seni dijadikan kedok untuk merendahkan kemanusiaan semata demi ajang unjuk gigi sang seniman, mungkin sebaiknya karya itu ditiadakan.

(Netflix)

16 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

dibikin macam film arthouse buat nutuin lemahnya alur cerita apa ya

aan mengatakan...

banyak yang cuma tahan 20 menit nonton film nya...

Anonim mengatakan...

film bokep benar benar kacau...

Andrew mengatakan...

Gue heran film ini bisa2nya dapet standing ovation di Venice festival

Rasyidharry mengatakan...

Standing ovation di festival bukan patokan. Banyak faktor. Siapa yang nonton, siapa cast & crew yang dateng, euforia karena bisa nonton duluan, dll

Anonim mengatakan...

ini kan setipe sama Spencer yaa. Tapi kenapa ratingnya Spencer lebih tinggi mas?

Alvi mengatakan...

Film ini ngingetin gw sama kisah doujin legendaris, Metamorfosis.

Kidaal mengatakan...

Jadi penasaran nih nunggu review Amsterdam, sama2 full bintang tapi review di luar ancur

Anonim mengatakan...

namanya film bokep artistik pasti standing ovation abisnya keren sih seharusnya di putar di layar bioskop nih film bokep ini....hmmmm

Rasyidharry mengatakan...

Beda jauh dong. Spencer kasih lihat penderitaan Diana, depresi, tapi nggak eksploitatif

Anonim mengatakan...

film bokep...asyik banget ini film...hadeuhhhhhh

Anonim mengatakan...

film ini bagus banget...sisi kelam kehidupan

Anonim mengatakan...

filmnya ssngat sedih dan sangat menguras air mata

Anonim mengatakan...

Bang kenapa gak pernah bedah trailer film Oscar worthy di Cinecrib?
Tapi giliran film kek gini dibedah dibikin reaction trailer.

Anonim mengatakan...

Yang ganggu buatku ketika ada skandal sama anaknya Charlie Chaplin itu, apalagi sama jfk

Anonim mengatakan...

ternyata kasihan banget nasib Norma Jeanne....sisi gelapnya bikin kita merasa ngilu dan tahu kehidupan sebenarnya...