REVIEW - TICKET TO PARADISE

3 komentar

Meredupnya (kalau tak mau disebut "mati") romcom konvensional patut disayangkan, tapi di sisi lain membuat tiap kemunculannya terasa spesial. Berbeda dengan awal 2010-an kala hampir seminggu sekali romcom baru dirilis, sebagai taktik mengeruk uang secara mudah nan murah, hingga melahirkan banyak judul asal jadi. Sekarang romcom konvensional ibarat liburan menyenangkan yang sekali waktu kita jalani demi melepas penat.

Kebetulan Ticket to Paradise juga diawali oleh sebuah liburan. Selepas wisuda, Lily (Kaitlyn Dever) memilih berlibur ke Bali sebelum memulai karir sebagai pengacara. Di sana ia justru jatuh cinta pada pemuda lokal bernama Gede (Maxime Bouttier). Dua bulan belum berselang, dan Lily secara mengejutkan meninggalkan keinginannya menjadi pengacara, untuk menikahi Gede dan menetap di Bali.

Kedua orang tua Lily, David (George Clooney) dan Georgia (Julia Roberts) sejatinya kurang menyetujui pernikahan tersebut karena berkaca pada pengalaman sendiri. Keduanya dimabuk cinta, buru-buru menikah muda, lalu bercerai bahkan masih bermusuhan sampai sekarang. Tapi alih-alih penolakan tegas, David dan Georgia memutuskan datang ke Bali, pura-pura merestui, tapi di belakang melancarkan strategi guna membatalkan niatan sang puteri.

Rencana David dan Georgia memang salah, namun alasannya masuk akal. Masa lalu masih menghantui. Walau hanya menikah lima tahun, dan itu terjadi 25 tahun lalu, mereka masih kerap berdebat soal konflik rumah tangga yang telah lewat. Bukan karena benci. Sebaliknya, masa-masa pacaran terlampau indah, dengan cinta yang kelewat tinggi, sewaktu akhirnya terjatuh, rasa sakit pun berlipat ganda. 

Kemudian naskah buatan Oli Parker (juga selaku sutradara) dan Daniel Pipski melempar poin utama filmnya, bahwa orang tua dan anak itu berbeda. Pernikahan muda David dan Georgia boleh saja berujung luka, tapi bukan berarti Lily pasti bernasib sama. Di tangan Oli Parker, yang empat tahun lalu membawa Mamma Mia! Here We Go Again melebihi kualitas film pertamanya, momen manis pun mampu tercipta, yang berguna meyakinkan kita akan cinta Lily-Gede. Obrolan di depan air terjun jadi salah satunya.

Satu yang penonton Indonesia paling nantikan tentu penampilan Maxime Bouttier. Di hadapan dua legenda Hollywood, bisakah ia tampil apik? Rupanya bisa. Maxime tampak lebih nyaman berbahasa Inggris. Cara bicaranya lebih tertata, tenang, cukup meyakinkan sebagai pria yang mampu menghipnotis si gadis Amerika. 

Sedangkan perihal penggambaran Bali selaku latar, Parker dan tim tampak berusaha maksimal menyulap Australia agar menyerupai Bali. Mungkin kecuali Tanah Lot, yang wajah geografisnya sukar dipalsukan. Saya bukan orang Bali, tidak pula memahami adat di sana, sehingga takkan mengupas representasi kulturalnya, termasuk penggambaran ular Tanah Lot yang kepantasannya mungkin patut dipertanyakan. 

Tapi memandangnya sebagai romcom secara general, Ticket to Paradise mampu menjalankan tugasnya. Humornya mengundang tawa, romansanya manis, momen-momen intimnya sanggup menghangatkan hati, dan cara bertuturnya ringan. Sangat ringan, berbagai masalah tuntas dengan amat mudah. Tidak jadi soal, karena sekali lagi, ini romcom konvensional yang tak ubahnya liburan. Sebuah liburan tak memerlukan keruwetan. 

Konklusinya terkesan main aman, tapi sulit mempermasalahkan itu, di saat Clooney dan Roberts menghadirkan chemistry menggigit yang membawa lagi pesona pasangan komedi romantis klasik. Di dalam tiap pertengkaran ada rasa suka yang belum terlupa, di balik sikap konyol ada kenangan masa muda, tapi dari tatapan mata serta senyum mereka (khususnya di ending) terpancar romansa. Romansa dua individu yang tak mampu menghapus luka masa lalu, kemudian memilih memperbaiki apa yang rusak daripada membuangnya. 

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

indahnya pulau bali....hmmmm

Anonim mengatakan...

Acting Maxime Bouttier bagus dan luwes.

Anonim mengatakan...

ini harusnya jadi film indonesia....bali....love banget ini film...ringan penuh arti mendalam tentang budaya adat bali nikah