REVIEW - DON'T WORRY DARLING

2 komentar

Lupakan segala kegaduhan di balik layarnya. Don't Worry Darling mungkin penuh kekurangan di sana-sini, tapi ini adalah campur aduk genre yang kompeten. Pertemuan antara drama empowerment, romansa, thriller, misteri, juga science-fiction, yang berbagi DNA dengan judul-judul seperti The Stepford Wives (1972), The Truman Show (1998), hingga The Matrix (1999). 

Alice (Florence Pugh) tinggal bersama sang suami, Jack (Harry Styles), di company town yang kecil nan damai. Latar waktunya tidak disebutkan, tapi gaya busana dan arsitekturnya mencerminkan Amerika era 50-an. Kota tersebut dibangun oleh Victory, perusahaan milik Frank (Chris Pine), tempat Jack bekerja.  

Setiap pagi, Jack dan para suami secara serempak mengendarai mobil menuju kantor pusat Victory yang terletak di tengah gurun, sedangkan para istri melambaikan tangan mereka, menjadi ibu rumah tangga yang baik. Alice nampak bahagia menjalani rutinitas itu. Sesekali ia berlatih balet bersama istri-istri lain, atau sekadar mengobrol santai dengan sahabatnya, Bunny (Olivia Wilde). 

Kesempurnaan hidup? Mungkin, tapi lambat laun muncul pertanyaan, "sempurna untuk siapa?". Alice perlahan menyadari bahwa Victory bisa jadi bukan utopia seperti kelihatannya, dan di situlah naskah buatan Katie Silberman (Isn't It Romantic, Booksmart) melempar twist guna menggiring first act-nya ke ranah tak terduga yang memancing setumpuk pertanyaan dan rasa penasaran. 

Sayangnya selepas babak awal yang mengikat kuat, Silberman seolah bingung mesti berbuat apa. Jika first act melempar pertanyaan sementara third act memberi jawaban, maka second act jadi proses menguraikan pertanyaan itu. Kalau diibaratkan ujian matematika, film bukan berbentuk pilihan ganda, melainkan esai, di mana proses mendapatkan jawaban mesti disertakan. 

Naskah milik Silberman luput melakukan itu. Daripada mengeksplorasi, ia tampil stagnan, hanya bergantung pada pengulangan momen-momen sureal yang mengisi mimpi Alice. Pengarahan Wilde menawarkan barisan visual cantik, musik gubahan John Powell memberi nuansa haunting yang unik (somehow it sounds "feminine"), namun repetisi melemahkan dampaknya setelah beberapa saat. Babak kedua Don't Worry Darling serupa protagonisnya. Kebingungan, hilang arah. 

Bakal makin melelahkan andai bukan karena jajaran pemainnya. Di depan kamera, Wilde tampil mengigit; Pine mulus memerankan antagonis; Gemma Chan sebagai Shelley, istri Frank, mencuri perhatian; Styles meski tanpa kedalaman mumpuni, tak seburuk anggapan banyak orang. Tapi Pugh tetaplah penampil terbaik. Tatkala babak kedua membangkitkan kantuk, Pugh seperti percikan air yang terus membuat penonton terjaga. 

Untunglah klimaksnya jadi ajang pembuktian bagi Wilde (yang rumornya akan menyutradarai Spider-Woman) mengarahkan spektakel. Kebut-kebutan di padang gurun adalah contoh geberan aksi oldskul yang mengedepankan permainan kamera alih-alih eksploitasi CGI, pun sinematografi megah garapan Matthew Libatique menghadirkan alasan untuk menonton filmnya di layar sebesar mungkin. 

Don't Worry Darling memang inkonsisten, tapi begitu kisahnya berakhir, pesan yang dibawa terpampang jelas. Latar ala Amerika era 50-an dipakai, sebab masa itu kerap dipandang layaknya utopia. Kehidupan damai, finansial terjaga, suami bekerja di kantor, istri mendukung di rumah. Istri tidak perlu tahu detail pekerjaan sang suami, sebab tugas mereka adalah "mendukung". Sewaktu pria punya "identitas ganda", yakni sebagai suami penyokong finansial dan sebagai dirinya (individu), identitas wanita sebatas "pendukung suami", tidak eksis sebagai individu yang berdiri sendiri. 

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

please, pengen banget masuk ke dunia Don't Worry Darling....

Anonim mengatakan...

"Darling, I'm with you all the time / Can't you see I long to be / With you all the time?"....