REVIEW - HELLRAISER

5 komentar

Michael Myers, Jason Voorhees, Freddy Krueger, Leatherface. Nama-nama tersebut adalah monster ikonik dunia horor. Berangkat dari judul-judul slasher penguasa 80-an, popularitas mereka menembus budaya populer yang lebih luas. Pinhead tidak demikian. Kali pertama muncul di Hellraiser (1987), selaku adaptasi novela The Hellbound Heart karya sang sutradara, Clive Barker, sosok si pemimpin Cenobite cenderung asing bagi kalangan awam. 

Pinhead dan Hellraiser memang berbeda. Filmnya bukan slasher biarpun mengetengahkan kematian brutal, Pinhead pun bukan pembunuh berantai ala subgenre horor tersebut meski cirinya mengarah ke sana. Mungkin itu alasan kenapa selepas judul keempatnya, Hellraiser: Bloodline (1996), yang turut menandai berakhirnya keterlibatan Barker, franchise-nya diisi enam sekuel straight-to-DVD buruk, yang terkesan asal memasang merek dagang Hellraiser, walau ceritanya tanpa kaitan berarti. Para pembuatnya juga bingung bagaimana mesti memperlakukan Pinhead. 

Sampai datanglah sutradara David Bruckner bersama dua penulis naskah langganannya, Ben Collins dan Luke Piotrowski. Serinya di-reboot, Clive Barker terlibat lagi sebagai produser, dan Hellraiser kembali ke hakikatnya, melalui installment yang tidak cuma memuaskan, pula layak mendapat predikat "terbaik". 

Protagonisnya adalah Riley (Odessa A'zion), mantan pecandu narkoba yang bergulat agar tidak kambuh. Orang-orang di sekitar Riley berusaha membantunya. Sang kakak, Matt (Brandon Flynn), dan kekasihnya, Colin (Adam Faison), juga Nora (Aoife Hinds), teman sekamar Riley. Tapi bagi Riley, uluran tersebut lebih terasa seperti upaya mencampuri hidupnya. 

Riley berpacaran dengan Trevor (Drew Starkey), yang mengajaknya membobol gudang penyimpanan milik orang kaya, berharap mendapat barang berharga untuk dijual. Tapi keduanya justru menemukan kotak puzzle misterius, yang jadi gerbang masuknya para Cenobite di bawah pimpinan Pinhead (Jamie Clayton) dengan segala siksaan mereka. 

Naskahnya melakukan satu modifikasi menarik. Di awal perumusannya, Hellraiser bukan horor biasa karena siksaan Cenobite terhadap korbannya adalah perwujudan seksualitas, tepatnya sadomasokisme. Bagi Cenobite, rasa sakit merupakan sumber kenikmatan. Di sini, siksaan jadi simbolisme berbeda. 

Sebagaimana kondisi Riley, Cenobite mewakili adiksi. Kotak puzzle (lebih dikenal dengan sebutan "Lament Configuration") tak ubahnya narkoba yang menyebarkan luka ke orang-orang di sekeliling pemakainya. Barang siapa mampu mampu menyelesaikan puzzle bakal diberi hadiah berupa kenikmatan, selaku cara menyelesaikan masalah hidup. Tapi hadiah itu hanya rasa sakit yang lebih besar sekaligus destruktif. Sama seperti narkoba yang menjanjikan kenikmatan sesaat, lalu membawa maut di kemudian hari. 

Gaya Hellraiser lebih mendekati slasher ketimbang film aslinya. Makin banyak mayat bergelimpangan membuatnya lebih menghibur. Apalagi Bruckner menghadirkan beraneka ragam bentuk siksaan, yang selain brutal juga variatif. 

Terkait penceritaan, mitologinya mendapat eksplorasi memadai, meski terkadang naskahnya agak kelabakan menyampaikan kompleksitas dunianya, hingga sesekali memunculkan pertanyaan, "Apakah terdapat inkonsistensi, atau naskahnya yang kurang pandai menjabarkan?". 

Tapi itu cuma batu sandungan kecil dibanding keberhasilan merevolusi franchise-nya. Bahkan secara general, Hellraiser termasuk salah satu horor dengan estetika terbaik tahun ini. Kemunculan Cenobite selalu ditandai dengan pemandangan sureal yang memikat, kala lokasi berubah, bak memberi ruang terbukanya gerbang neraka. Ditambah ketepatan pemakaian CGI di klimaks, jadilah sebuah teror megah.

Sedangkan practical effects-nya bersinar ketika menghidupkan para Cenobite. Desain mereka diubah. Jubah lateks kinky ditanggalkan, digantikan oleh variasi tubuh yang termutilasi, sebagai perlambang obsesi akan "siksaan pembawa kenikmatan". Pinhead pun nampak berbeda. Cenderung androginus. Jamie Clayton mencatatkan sejarah sebagai wanita pertama yang memerankan Pinhead, dan alih-alih berusaha mereplikasi Doug Bradley, ia menawarkan interpretasi yang tak kalah mengerikan.  

Hellraiser sukses bukan karena ambisi tampil beda, namun pemahaman orang-orang di belakangnya mengenai esensi dari karya Clive Barker. Mereka mengenalnya, menyukainya, lalu mengambil poin-poin terbaik di dalamnya, guna melakukan penyesuaian tanpa mengubahnya jadi puzzle yang sama sekali berbeda.

(Hulu) 

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

titik poin dari film HELLRAISER terbaru merupakan tokoh dari sudut pandang pemain pemakai obat....

Anonim mengatakan...

para makhluk Cenobite benar-benar hot & sexy banget tidak kalah menyeramkan dari karya monster ciamik buah karya penulis dan sutradara Guillermo De Torro.....

rian mengatakan...

Masih mengumpulkan keberanian buat nonton nih film. Takut gore nya. Tapi pengen nonton, film2 horor nya HULU bagus2 soalnya.

SUNSHINE mengatakan...

Ini bagus sih, gw sangat menikmatinya

Xraid mengatakan...

ga nyangka juga ternyata filmnya fun banget. (spoiler dikit) momen paling seru pas tokoh utama nusuk salah satu cenobyte dan akhirnya cenobyte itu dijadikan tumbal haha