REVIEW - AVATAR: THE WAY OF WATER

23 komentar

Menonton Avatar: The Way of Water seperti mengintip masa depan. Melihat benda asing yang semestinya belum diciptakan. Banyak film telah mencoba tampil immersive, entah lewat pemaksimalan efek CGI maupun pemakaian format 3D, tapi baru kali ini otak saya dimanipulasi sedemikian rupa, hingga tanpa sadar mengulurkan tangan, berniat menyentuh apa yang muncul di layar. Sulit dipercaya Na'vi beserta dunia Pandora bukan bagian realita kita.

Tentu kata "tapi" selalu mengiringi. Bagi The Way of Water, serupa film pertamanya, opini bernada kontra bakal menyentil penceritaan yang dirasa generik, bahkan lemah. Saya termasuk golongan pemuja cerita Avatar (2009). Walau generik di permukaan, tapi blockbuster mana lagi yang berani menyusun babak keduanya dengan eksplorasi spritual ketimbang kumpulan aksi? 

Kali ini James Cameron tak menulis naskahnya seorang diri. Duo Rick Jaffa dan Amanda Silver (Jurassic World, Mulan, trilogi Planet of the Apes versi reboot) turut serta. Biar demikian, alurnya tampil bak daur ulang film pertama. Babak pertama pun sekadar pemenuhan obligasi yang dituturkan setengah hati, selaku jembatan supaya latarnya dapat dipindahkan dari belantara Pandora menuju hamparan samudera. 

The Way of Water yang ingin Cameron suguhkan bak baru benar-benar dimulai selepas 45 menit berlalu. Di situ, Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana) membawa tiga anak mereka, Neteyam (Jamie Flatters), Lo'ak (Britain Dalton), dan Tuk (Trinity Jo-Li Bliss), beserta si puteri angkat, Kiri (Sigourney Weaver), mengungsi ke teritori milik klan Metkayina di pinggir laut guna menghindari kejaran manusia. 

Lebih dari dua dekade sejak Titanic, Kate Winslet kembali ke lautan. Bukan memerankan wanita yang tak berdaya di hadapan kedigdayaan samudera, melainkan sebagai Ronal, istri Tonowari (Cliff Curtis) sang kepala suku Metkayina, yang tak kalah berpengaruh dibanding suaminya. 

Kecintaan Cameron pada laut beserta segala misterinya bukan sebuah rahasia. The Abyss (1989) dan Titanic (1997) merupakan bukti, sebelum pada 2012 menjadi orang pertama yang menyelami dasar Palung Mariana sendirian. Sehingga bukan kejutan tatakala sekuel Avatar mengambil latar lautan Pandora. 

Kecintaan itu nampak betul dalam visualisasinya. Tentu biotanya nampak indah, baik ikan beraneka ukuran, koral, dan lain-lain. Tapi Cameron sudah melebihi taraf tersebut. Indah saja tidak cukup. Beberapa kali kamera ia posisikan tepat di batas permukaan air. Bagaimana Cameron dan tim mengakali refleksi cahaya? 

Sebagaimana pendahulunya, babak kedua The Way of Water berpusat pada eksplorasi dunia. Lo'ak dan Kiri mengambil sentral. Bila sang ayah mampu mengendarai Toruk, maka Lo'ak menjalin ikatan dengan Tulkun, makhluk serupa paus yang jadi sahabat warga Metkayina, menciptakan drama ala Free Willy (1993). Sedangkan dibanding saudara-saudaranya, Kiri nampak tak kesulitan beradaptasi dengan samudera. 

Format 3D adalah kewajiban untuk mengikuti perjalanan keduanya. Efek pop-out beberapa kali muncul, tapi kejernihan gambar serta kedalaman dimensi jadi keunggulan utama. Berkatnya timbul realisme yang membuat babak kedua The Way of Water layaknya dokumenter perihal dunia bawah air yang asing. Begitu nyata, tetesan gerimis serasa bisa disentuh dengan tangan kita. 

High frame rate (48fps) turut dipakai di beberapa sekuen yang melibatkan pergerakan dinamis. Saat frame rate tersebut bertemu format 3D, timbul sensasi hyperrealism yang belum pernah ditemukan sebelumnya, bahkan di karya-karya Cameron sekalipun. 

Beberapa adegan masih memakai 24fps. Setidaknya terlihat demikian. Karena proyektor bioskop tak memungkinkan untuk terus mengubah frame rate di satu film, keseluruhan The Way of Water dipresentasikan dalam 48fps. Setiap diperlukan, Cameron menggandakan frame-nya untuk memanipulasi 48fps agar nampak seperti 24fps. Bagaimana ide semacam itu bisa tercetus? 

Sekali lagi permasalahan cerita akan terus dikeluhkan. Garis besar alur yang nyaris sama dengan film pertama, pembagian kurang seimbang yang membuat penuturan di beberapa titik terasa kosong sementara di titik lain malah penuh sesak, durasi 192 menit yang diakibatkan terlalu lamanya beberapa pengadeganan, dan sebagainya. Avatar: The Way of Water memang jauh dari sempurna kala bercerita. Bahkan mengalami penurunan ketimbang film sebelumnya. 

Tapi bukankah pencapaian teknologi yang "serba pertama" dan "serba melebihi masanya" sudah cukup menutupi lubang tersebut? Sewaktu kita tiba di klimaks, Cameron melempar deretan tribute terhadap karya-karya miliknya sendiri, khususnya Titanic. Apakah itu wujud narsisme? Bisa jadi, tapi menyaksikan keajaiban film ini, seruan "I'm the king of the world" yang diperdengarkannya di panggung Academy Awards 1998 pun sangat pantas dijustifikasi. "The king of cinema" lebih tepatnya.

23 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Visualnya juara, tapi jujur action sequence nya masih lebih seru film pertama 8,5/10

Alvi mengatakan...

Kayaknya yg mau nonton Avatar 2 ini juga ga ngarep cerita yg kompleks, melainkan cuma pengen kembali menikmati dunia pandora dlm sajian 3d nya

Yasya Indra Journal mengatakan...

saya kira bakal dikasih bintang 5

johan iglesias mengatakan...

Sebenernya gak perlu cerita yang kompleks, asal jangan mirip yang pertama, tapi ternyata malah mirip. Agak pesimis untuk cerita2 difilm berikutnya. Gak ada target yang mau dicapai pemeran utama. Jadi hanya sekedar film yang bisa berdiri sendiri masing2 aja setiap filmnya.
Untuk visualnya, terbaik lah two thumbs up !
8.5/10

Anonim mengatakan...

ending battle yang brutal ciamik ala film terminator pertama, badass keren !!!

Valdy mengatakan...

@johan.iglesias kurang setuju kalo pemeran utamanya ga ada target, ya mereka sesimple ingin survive dan mengasingkan diri, kalau dibilang kurang motivasi mungkin benar

Badminton Battlezone mengatakan...

Mau tanya,mata saya agak capek kalau pake kacamata 3d. Apakah se worth it itu untuk memilih 3D untuk durasi 3 jam lebih?makasih

Anonim mengatakan...

Nnton 3D di cgv udah gelap tambah kacamata jadi tambah gelap hadehhh

Andi Suhendar mengatakan...

Yahh, besok gw udah pesen tiket. Mana tadi abis nonton dulu yg pertama. Berasa bosen dong kalo ceritanya mirip 😂

Print A0 A1 A2 mengatakan...

Berasa bosen dong kalo ceritanya mirip

aan mengatakan...

ini film emang keren.apalagi versi 3d nya.cuma entah knapa..dari film pertama kerasa kayak nonton film kartun...dgn animasi yg canggih....

Anonim mengatakan...

Gak perlu terburu buru nonton ini..Krn cerita mirip klo diliat review dan para komentatornya, nanti degh nunggu waktu luang, sekedar experience sensasi dunia laut

Anonim mengatakan...

Awal² agak pusing bentar² keatasin kacamatanya tapi lama² terbiasa kok ga pusing lagi

Anonim mengatakan...

Bener cgv layarnya kurang cerah

Anonim mengatakan...

JELEK PARAH INI FILM BLAS

agoesinema mengatakan...

Untuk visual sangat keren, tapi utk cerita seperti pengulangan film pertama, hanya memindahkan latar dari hutan ke laut. Di pertengahan cerita agak mengendur.
Overall filmnya bagus. Tapi saya agak ragu dgn film ketiganya nanti, apakah ceritanya masih seperti itu lagi, dgn antagonis yang sama lagi

Anonim mengatakan...

cukup sekali aja nonton film ini...

Anonim mengatakan...

bad bad bad movie

Anonim mengatakan...

skenario yang amburadul dalam avatar 2 cuma andalkan nostalgia dan magic film wow animasi

Anonim mengatakan...

avatar 2 nggak ok banget

Dimas mengatakan...

lha kirain sy aja yg ngrasa CGV layarnya gelap. nonton kedua kalinya di XXI barulah ngerasa "ini nih baru warna-warni pandora" 🤣🤣

Anonim mengatakan...

Sapa juga yg nyuruh Lo nonton 2x, GOBLOK???

Anonim mengatakan...

Film terbaik Lo KKN di Desa Penari sih... Susah!!!