REVIEW - BONES AND ALL

3 komentar

Sebagai film bertema kanibalisme, Bones and All garapan sutradara Luca Guadagnino bukan soal seberapa banyak darah yang tumpah, atau tulang yang dikunyah. Adaptasi novel berjudul sama karya Camille DeAngelis ini membicarakan manusia. Mereka yang dimakan bukan cuma seonggok daging, tapi individu dengan kehidupan, kerabat, serta keluarga. Mereka yang memakan, terlepas dari tatanan benar/salah, mewakili golongan terasing yang merasa berbeda dan tak punya tempat di dunia.

Maren (Taylor Russell) adalah seorang remaja. Di situasi normal pun, remaja cenderung akrab dengan perasaan teralienasi. Apalagi bagi Maren, yang hidupnya jauh dari kata "normal". Sang ayah, Frank (Andre Holland), meski bukan figur orang tua kejam, cenderung membatasi kebebasan puterinya. Segera kita menyadari bahwa tindakan itu bukan tanpa alasan. Maren adalah kanibal.

Ketika Frank pergi karena merasa tidak lagi mampu mengurus Maren, si remaja memutuskan melakukan perjalanan guna mencari sang ibu, yang sudah terlebih dahulu meninggalkannya. Di sebuah negeri yang kacau (pemberitaan soal gun control dan gejolak-gejolak lain kerap terdengar dari televisi), Maren berharap dapat menemukan "tempatnya". 

Sepanjang perjalanan, Maren bertemu beberapa kanibal, yang menyebut diri mereka "eater". Sully (Mark Rylance dalam penampilan penuh teka-teki) mengajarinya cara mencium aroma sesama eater, Brad (David Gordon Green) dan Jake (Michael Stuhlbarg tampil mengerikan) menjabarkan perihal mengonsumsi tubuh manusia sampai tak bersisa (bones and all), sementara Lee (Timothée Chalamet) jadi sosok yang pelan-pelan Maren cintai. 

Apakah terlalu banyak eater yang Maren jumpai? Well, di situlah poin utamanya. Para eater, sebagaimana golongan marginal yang dianggap dan/atau merasa berbeda di dunia nyata, meski tergolong minoritas, sejatinya tidak sesedikit yang mayoritas kira. Hanya saja, mereka menutup diri, bersembunyi, atau seperti dua protagonis kita, melakoni perjalanan tanpa akhir untuk menemukan rumah. 

Naskah buatan David Kajganich menekankan sisi kemanusiaan. Muncul benang merah di antara eater, yakni terkait penelantaran oleh orang tua. Ibarat remaja bermasalah, yang justru dibuang alih-alih diberi uluran tangan.

Kanibalisme tetap dipandang sebagai abnormalitas yang keliru. Itu sebabnya Maren acap kali terjebak dilema. Pun di suatu kesempatan, sewaktu Maren dan Sully menyantap tubuh wanita tua, Guadagnino tak berfokus pada pemandangan berdarahnya, namun mengarahkan kamera ke foto-foto si wanita. Penonton diajak melihatnya sebagai manusia dengan setumpuk memori bersama orang-orang tercinta yang tidak sepantasnya bernasib demikian. 

Satu kelemahan naskah terletak di babak pamungkas. Pilihan konklusi Bones and All sesuai dengan gagasannya mengenai sebuah romansa "sakit", dan bakal menghasilkan dampak maksimal andai dalam 30 menit terakhir naskahnya tidak terkesan menawarkan berbagai varian ending. Beberapa kali kisahnya seperti telah tuntas, hanya untuk kembali bergulir. Sewaktu akhirnya tiba di destinasi yang asli, rasa lelah terlanjur hadir.   

Meski garis finish-nya kurang maksimal, Guadagnino tetap berhasil membawa penontonnya dalam perjalanan yang menyimpan keindahan di balik kebrutalan. Bayangkan perpaduan antara Badlands (1973) dengan Natural Born Killers (1994). Sensitivitas sang sutradara menghadirkan wadah yang mampu menyatukan lanskap cantik dan tata musik buatan Trent Reznor dan Atticus Ross. Musik melankolis yang bak menyimpan kerinduan mendalam, entah terhadap seseorang atau tempat tertentu. Sedangkan Russell dan Chalamet menjadi pusat, saling bertukar rasa, mengutarakan kerinduan yang cuma dipahami oleh satu sama lain.

(itunes US)

3 komentar :

Comment Page:
johan iglesias mengatakan...

Ada yang punya solusi sekarang nonton Klik Film gimana sih? UI nya gak jelas, gak bisa auto landscape, terus icon untuk landscape sama kembali juga pas banget dibagian notif bar, gak bisa di klik.

Anonim mengatakan...

Emang gitu Klik Film, koleksinya bagus-bagus tapi UI aplikasinya kacau banget

Anonim mengatakan...

Nonton bones and all dimana bang