REVIEW - GUILLERMO DEL TORO'S PINOCCHIO

7 komentar

Menyebut film ini "sangat Guillermo del Toro" mungkin terdengar seperti simplifikasi, tapi demikianlah adanya. Serupa kesaktian tongkat sihir peri yang menghidupkan Pinocchio, sensitivitas del Toro mengembuskan nyawa yang mampu memunculkan kemanusiaan dari sebuah kisah kelam. 

Jangan bayangkan pendekatan semua umur ala Disney. Di sini Geppetto (David Bradley) kehilangan sang putera, Carlo, akibat ledakan bom pesawat Perang Dunia I. Sejak itu si tukang kayu tersohor yang bahkan disebut "rakyat Italia teladan", berhenti bekerja, menjadi pemabuk tua yang menghabiskan hari meratapi ketiadaan puteranya. 

Penonton yang tumbuh bersama versi Christian Rub, atau masih terngiang mata berbinar Tom Hanks, mungkin bakal terkejut melihat Geppetto bersumpah serapah sambil menebang pohon pinus yang bakal ia pakai untuk membuat Pinocchio (Gregory Mann). Selepas sihir peri hutan (Tilda Swinton) menghidupkan si boneka kayu, bukannya bernyanyi bahagia, Geppetto justru ketakutan, enggan menerima Pinocchio sebagai pengganti puteranya. 

Naskah buatan del Toro bersama Patrick McHale bukan asal menggiring nuansa film ke ranah lebih gelap. Kegelapan itu punya maksud, yakni menarik keluar sisi kemanusiaan dari ceritanya. Manusia tidak sempurna. Geppetto bukan ayah yang sempurna. Begitu pula Pinocchio, yang meski telah mendapat bimbingan dari Sebastian si jangkrik (Ewan McGregor), tetaplah bocah yang jauh dari kesempurnaan. Seringkali polahnya pun menyebalkan. 

Di versi ini, peri hutan tak berjanji mengubah Pinocchio menjadi bocah manusia sungguhan. Kemudian di satu kesempatan, Pinocchio dan Geppetto membicarakan Carlo, dalam momen yang belum pernah dimunculkan oleh adaptasi layar lebar buku buatan Carlo Collodi mana pun. Pinocchio bukan pengganti Carlo. Dia bukan manusia, takkan pernah jadi manusia, dan memang tak perlu. Filmnya memandang "kemanusiaan" sebagai konsep yang melebihi gagasan fisik. 

Seperti sudah kita tahu, Pinocchio bakal terjerat tipu daya seorang ringmaster, lalu terpaksa jadi bintang pertunjukan boneka di sirkus. Count Volpe (Christoph Waltz) nama si pria berakal bulus. Tapi kali ini timbul ancaman lain. Pinocchio juga menarik perhatian Podesta (Ron Perlman) yang memimpin kota tempat tinggalnya. Si Podesta amat membanggakan puteranya, Candlewick (Finn Wolfhard), yang disebutnya "a model facist youth". 

Dua antagonis di atas tak hanya mewadahi sisi petualangan filmnya, pula berfungsi menguatkan tema. Podesta membenci "independent thinker", sementara Volpe sebagai puppeteer juga perwujudan pemegang otoritas yang mengontrol individu secara semena-mena layaknya boneka. Podesta mengatasnamakan nasionalisme, Volpe bersembunyi di balik topeng kesenian. Bidang keduanya amat berbeda, namun sebagai pemuja Mussolini (digambarkan sebagai pria kerdil bak karikatur), sama-sama memanfaatkan pihak-pihak yang tak berdaya, termasuk Pinocchio.

Sebagaimana karakter di kebanyakan film del Toro, Pinocchio menghadapi pandangan miring masyarakat akibat sosoknya yang berbeda. "Kenapa orang-orang membenci boneka kayu, tapi memuja patung kayu Yesus?", tanyanya. Pergulatan batin tersebut memperkaya penokohan. Pinocchio sempat menikmati tampil di panggung milik Volpe karena puja-puji yang diberikan penonton. Bukannya dia terbutakan popularitas, tapi Pinocchio merasa diterima. 

Guillermo del Toro memang selalu berdiri di belakang individu yang dipandang sebelah mata. Sensitivitas terkait hal tersebut membantu sang sutradara memancarkan keindahan di balik keanehan, yang bagi banyak orang mungkin nampak buruk bahkan mengerikan. Film ini memang aneh. Begitu aneh, sampai petualangannya sempat mengajak kita menyambangi akhirat. 

Prinsip "aneh tapi indah" turut tersalurkan ke departemen visual. Dibantu Mark Gustafson selaku co-director dengan setumpuk pengalaman di medium animasi (salah satunya menjabat sebagai animation director di Fantastic Mr. Fox), del Toro melahirkan dunia berbasis animasi stop-motion, yang secara bersamaan dapat membuat penonton mengernyitkan dahi sambil bercedak kagum. Tengok desain peri hutan. Aneh, misterius, lebih mendekati monster ketimbang bidadari, namun menghadirkan kemistisan yang menghipnotis. 

Memasuki babak akhir naskahnya sedikit tersandung. Muncul inkonsistensi terkait memanjangnya hidung Pinocchio kala berbohong (seperti sebuah kesengajaan demi memfasilitasi momen hangat bersama Candlewick), konfrontasi final dengan Volpe terkesan dipaksakan, serta kentalnya aroma kebetulan mengenai timing Sebastian menemukan cara keluar dari perut monster laut.  

Kekurangan di atas sebatas ketidaksempurnaan kecil. Serupa sehelai retakan yang tak sampai merusak sebuah boneka kayu. Tetap elok, tetap indah. Begitu pula perspektif filmnya terhadap manusia, yang membuat ending-nya tampil sangat emosional. Di situlah tampak manusia dengan segala ketidaksempurnaan dan keterbatasannya. Manusia tidak abadi. Guliran waktu selalu mengejar, tapi karena itulah hidup ini berharga. Guillermo del Toro's Pinocchio adalah soal keindahan di balik mortalitas manusia. 

(Netflix)

7 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

lebih bagus versi ini daripada versi tom hanks

Anonim mengatakan...

Baru nonton semalem. Awal 15 menit dibikin nangis, ending film makin mewek. Komposisi scoring dari Alexandre Desplat juga bagus bgt sepanjang film :‘)

rian mengatakan...

Epilog nya bagus banget sampai mau nangis

Anonim mengatakan...

Gak sabar nunggu review AVATAR: The Way of Water dr Mas Rasyid

Anonim mengatakan...

Rencana nonton avatar kapan mas? Gasabar nihh nunggu kualitasnya gimana…Selain dari visualnya yg pasti bagusnya

Print A0 A1 A2 mengatakan...

dibikin nangis

Anonim mengatakan...

Film yg indah mengharukan