REVIEW - A MAN CALLED OTTO

9 komentar

Membawa sensitivitas Eropa ke Amerika cenderung berakhir buruk. Lihat apa yang terjadi saat Downhill (2020) me-remake Force Majeure (2014). Tendensi Hollywood mengubah suatu karya ke arah lebih komersil jadi alasan utama. A Man Called Otto sesungguhnya memakai pendekatan serupa. Bedanya, ia tahu apa saja yang bisa dimodifikasi, serta alasan mengapa modifikasi itu dilakukan. 

Film aslinya adalah A Man Called Ove (2015), adaptasi novel berjudul sama yang mewakili Norwegia di Oscars 2017. Tom Hanks memerankan Otto, sosok yang secara sempurna merepresentasikan istilah "grumpy old man". Dia selalu bersikap ketus pada tetangga. Tata tertib pun amat ia junjung tinggi, sampai Otto rela tiap hari berpatroli mengontrol kerapian dan kebersihan lingkungan. 

Bagi pecinta versi Norwegia akan butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan pembawaan Tom Hanks. Dia berbeda dibanding Rolf Lassgård yang seketika memancarkan ketidakramahan walau cuma berdiri diam. Bukan soal mana lebih baik. Sekali lagi, pendekatannya berbeda. Interpretasi Hanks sangat membantu ketika nantinya penonton mulai melihat sisi lain Otto, di mana kejengahan berubah jadi simpati. Karena saat itulah, lewat gaya yang "sangat Amerika", A Man Called Otto berupaya mengaduk-aduk emosi kita.

Selepas diberhentikan secara halus dari pekerjaannya, Otto memilih bunuh diri. Tapi semesta seolah enggan memberi restu dengan memperkenalkan Marisol (Mariana Treviño) dalam hidup Otto. Bersama Tommy (Manuel Garcia-Rulfo), suaminya yang canggung, beserta dua puterinya, Marisol tinggal berseberangan dengan Otto. 

Otto dan Marisol bagai kutub yang berseberangan. Jika Otto sedingin es, maka Marisol meledak-ledak layaknya erupsi gunung berapi. Sewaktu Otto membangun tembok di antara mereka, Marisol terus mendobraknya, berharap si pria tua pemarah mau membuka hati. Marisol adalah sosok yang tricky untuk dimainkan. Meleset sedikit, ia bisa lebih menyebalkan daripada Otto, dan Mariana Treviño sanggup menghindari itu. Di tangan sang aktris, Marisol yang "sangat hidup" mengingatkan Otto akan arti hidup. 

Otto memang kehilangan alasan untuk hidup pasca kematian istrinya, Sonya (Rachel Keller). Tidak ada Sonya, tidak ada kehidupan. Otto bahkan mengingat tiap detail momen hingga perkataan yang pernah diucapkan pada sang istri. Di sinilah perbedaan substansial A Man Called Otto dan A Man Called Ove terletak. 

Kedua film memakai flashback sebagai alat bantu penonton menyelami ruang intim protagonisnya, yang sama-sama dirundung duka akibat kehilangan cinta sejati. Tapi tatkala flashback milik Ove mencakup perjalanan hidup karakternya secara menyeluruh, naskah buatan David Magee (Finding Neverland, Life of Pi, Mary Poppins Returns) total menaruh fokus pada romansa. Alhasil presentasinya lebih ringan (baca: sangat Amerika), lebih universal, tanpa mengubah pondasi karakternya. 

Jadilah sebuah kisah mengenai pria yang memandang cinta sebagai nyawa hidupnya. Kesan universal itu memudahkan penonton kasual menjalin ikatan dengan karakternya. Apalagi didukung ketepatan Marc Forster (Finding Neverland, World War Z, Christopher Robin) mengolah rasa lewat pengarahannya. Emosi tersampaikan dengan cantik, menyentuh, tapi tidak berlebihan dalam meledakkan dramatisasi. 

Bahkan di saat epilognya berlangsung agak terlalu panjang, tiada rasa keberatan. Saya betah berlama-lama menghabiskan waktu bersama orang-orang yang mampu mengubah dinginnya salju menjadi kehangatan melalui dekapan kemanusiaan mereka. 

9 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

hidup itu sederhana, motto dari otto dari kehidupannya yang sederhana jika dalam dunia sosmed menghadapi like dislike hate dari netizen yang suka komentar asbun hanya sekedar untuk ungkapkan hati & pikiran terhadap netizen lainnya atau fenomena yang terjadi pada sekitarnya

layar dan jam tayang film ini limited banget, tidak tayang secara reguler pada umumnya kecuali hari pertama

a man called otto adalah film bagus namun terbukti film bagus belum tentu di sukai oleh penonton khususnya penonton indonesia seperti film noktah merah perkawinan dan autobiography karya anak bangsa, sayang banget khan...

Anonim mengatakan...

Ada hubungan apa SAYANG BANGET KHAN sama SHAH RUKH KHAN atau SALMAN KHAN???

Anonim mengatakan...

Bahkan JENGHIS KHAN???

Muchachos mengatakan...

Argentina, 1985 dong bg review, mumpung Dybala lagi cetak gol kemarin hehe

Anonim mengatakan...

ini film cuma bisa di tonton malam hari dan terbatas akibat tidak ada minat untuk nonton film sebagus ini😢

film kalau jelek di hujat sampai berdarah namun animo penonton membludak hingga tembus 1 juta penonton😄film kalau bagus di apresiasi positif setinggi langit namun tidak ada penonton yang mau nonton🤭

Anonim mengatakan...

Mungkin faktor genre berpengaruh kepada jumlah penonton Gan, ibarat ada musik Jazz atau Metal yang megah pun tidak seramai musik pop yang ringan atau mungkin dangdut koplo yang merakyat. Apalagi film ini kisahnya, mengisahkan orang tua, logikanya (mayoritasnya) mereka lebih memilih yang cantik atau tampan yang muda, atau film dengan genre yang biasa selalu ramai seperti film aksi, komedi, horror, atau drama percintaan. Maaf Gan kalau komentar saya tidak berkenan.

Nugroho Suhartanto mengatakan...

Saya dulu nonton versi Norwegianya. Sekarang tertarik juga melihat versi Hollywoodnya, apalagi yang main Tom Hanks. Seingat saya tidak pernah ada film yang diperankan Tom Hanks, yang hasilnya jelek.

Anonim mengatakan...

Film A Man Called Otto yang tadinya mendapatkan layar terbatas dan jadual sedikit mulai menampakkan taringnya menguasai layar & jadual bioskop di indonesia, good movie

mengingatkan untuk berhati-hati dan butuh pendampingan (jika diperlukan) dalam menonton film ini karena ada scene yang bisa memicu trauma & kejiwaan

Anonim mengatakan...

Sepertinya ada anonim yg mendambakan secercah spotlight melalui kolom comment di blog ini