REVIEW - KNOCK AT THE CABIN

13 komentar

Sepanjang menonton Knock at the Cabin saya terus bertanya-tanya, "Apakah Tuhan di semesta filmnya adalah psikopat?". Sebuah kesan yang makin kuat begitu mencapai akhir. Didorong rasa penasaran, saya pun mencari tahu soal novel The Cabin at the End of the World karya Paul G. Tremblay yang jadi sumber adaptasi. Di situlah saya menyadari M. Night Shyamalan melakukan perubahan besar di babak ketiga, yang memegang peranan penting pada pesan utama yang sang penulis hendak sampaikan. 

Bukunya adalah cerita humanis yang mempertanyakan, "Jika Tuhan memang ada, dan tak ubahnya psikopat alih-alih Maha Penyayang, mengapa kita harus tunduk?". Di tangan Shyamalan, kisah provokatif itu berubah jadi lebih "ramah" dengan menyoroti perihal pengorbanan. Knock at the Cabin memang tampak main aman di segala hal.

Seberapa "aman"? Beberapa kematian karakternya terjadi secara off-screen, di mana Shyamalan menyensornya lewat cara membosankan (memindahkan ke establishing shot misal). Jangan lupa, film ini punya rating R. 

Tapi Knock at the Cabin dibuka secara menjanjikan. Bocah tujuh tahun bernama Wen (Kristen Cui) tengah berlibur di kabin terpencil bersama dua ayahnya, Eric (Jonathan Groff) dan Andrew (Ben Aldridge), ketika empat orang asing mendatangi mereka. Leonard (Dave Bautista), Sabrina (Nikki Amuka-Bird), Redmond (Rupert Grint), dan Adriane (Abby Quinn), memaksa masuk ke dalam kabin.

Kata "memaksa" sebenarnya kurang tepat. Mereka lebih seperti meminta secara baik-baik. Tujuan keempatnya datang adalah demi mencegah kiamat, lewat pengorbanan yang hanya bisa dilakukan para penghuni kabin. Kita pun melihat bagaimana pihak korban dan pelaku sama-sama dikuasai ketakutan. Sebuah awal unik yang merombak formula khas home invasion. Salah satu karakternya bahkan berkata, "this is not a home invasion". 

Subteks religi tersimpan dalam naskah yang Shyamalan tulis bersama Steve Desmond dan Michael Sherman. Perihal "pengorbanan" bakal mengingatkan ke cerita Nabi Ibrahim (komparasi yang makin kuat di versi novel), sedangkan keempat "penyusup" mewakili Four Horsemen of the Apocalypse, yang oleh filmnya disampaikan secara gamblang di babak akhir, seolah menganggap penontonnya terlalu bodoh untuk menangkap simbol tersebut. 

Keberhasilan menjauhi formula home invasion di babak pertama makin terasa menyenangkan, sebab seperti biasa Shyamalan masih piawai mengolah misteri. Menonton film buatannya bak memasuki labirin yang tidak pernah kita tahu akan mengarah ke mana. Sayangnya seiring waktu, aliran alur Knock at the Cabin semakin repetitif. Leonard dan kawan-kawan memohon agar cerita mereka tentang "ramalan kiamat" dipercaya, Eric menolak lalu menuding mereka delusional. Begitu seterusnya. 

Dinamikanya agak membaik ketika para penyusup sempat meragukan keimanan mereka, namun naskahnya enggan mengolah konflik itu lebih jauh, dan memilih langsung membawa kita kembali pada status quo (empat penyusup yang percaya pada ramalan kiamat vs dua korban yang skeptis). 

Elemen dramanya mengandalkan beberapa selipan flashback tentang masa lalu Eric dan Andrew, yang sebagai pasangan gay kerap menerima persekusi, tapi keberadaannya malah berujung memotong bangunan intensitas. 

Departemen akting pun tak begitu menonjol. Rupert Grint cukup menyenangkan ditonton, Kristen Cui si aktris cilik di luar dugaan jadi penampil terbaik, tapi nama-nama lain cenderung membosankan. Bukan semata salah cast, sebab penokohan dari naskahnya memang lemah. Misal Leonard yang cuma mengharuskan Bautista berbicara selirih mungkin, atau Eric yang selalu berteriak.

Pasca intensitas babak pertama berlalu, momen paling menarik di film ini adalah tiap kali kita menyaksikan bagaimana dunia pelan-pelan mengalami kehancuran. Terutama sewaktu ramalan terakhir menjadi kenyataan. Di situ Shyamalan membuktikan ia masih jago melukiskan pemandangan aneh nan mengerikan bak mimpi buruk.

Tapi selain itu, hampir semua lini milik Knock at the Cabin, termasuk perubahan konklusi yang berlawanan dengan perspektif bukunya, benar-benar menunjukkan tendensi Hollywood dalam mengubah suatu hal yang berani menjadi produk serba aman dan tak bertaring.

(iTunes US)

13 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PANDUAN MEMPERSIAPKAN PERPISAHAN

8 komentar

Panduan Mempersiapkan Perpisahan adalah perkara gimmick marketing yang meleset. Dijualnya ia sebagai romantisasi terhadap romantisme Jogja yang penuh cinta sekaligus patah hati. Tapi bagaimana filmnya dipresentasikan sama sekali tak menampakkan itu. Jogja di sini bak Jogja yang dilihat sambil lalu oleh pelancong ibukota yang singgah sejenak, terkagum-kagum oleh wajah berbudaya miliknya, lalu tak lama kemudian ia kembali pulang menuju kemegahan metropolitan. 

Keliru? Tentu saja tidak. Siapa pun boleh mengutarakan ikatan rasanya dengan Jogja sesingkat apa pun ia singgah. Pendekatan hiperbolis dalam menjual film pun sah-sah saja. Tapi kalau bukan soal romantisasi Jogja, adakah hal lain yang hendak dibicarakan oleh adaptasi buku Eminus Dolore ini? 

Protagonisnya bernama Bara (Daffa Wardhana), seorang penulis yang menuangkan patah hatinya lewat buku. Selama 69 menit kita melihat hubungan tanpa status antara Bara yang menetap di Jogja, dengan Demi (Lutesha) si gadis Jakarta, yang terus datang dan pergi sesuka hati, meninggalkan Bara dalam ketidakpastian serta harapan. 

Kalian takkan menemukan "panduan" secara literal dalam alurnya. Saya sendiri melihat judulnya sebagai upaya mengutarakan sarkasme, yang kalau diterjemahkan menjadi, "Kalau bersikap seperti Bara, hubungan percintaan kalian akan hancur, jadi bersiaplah mengalami perpisahan". 

Bagaimana tidak? Kepribadian dua karakternya berlawanan. Demi serba impulsif, sedangkan Bara mengharapkan kepastian, termasuk dalam hal percintaan. Tapi alih-alih berusaha mengubah harapan jadi kepastian, Bara langsung menagihnya. Bara terjangkit tendensi para lelaki yang berambisi memiliki dan menguasai, tanpa mau bersabar sembari coba memahami. 

Sayangnya naskah yang ditulis oleh sang sutradara, Adriyanto Dewo, bersama Nara Nugroho, gagal menghadirkan eksplorasi mendalam atas persoalan di atas. Sebelumnya saya melempar pertanyaan soal adakah yang film ini hendak bicarakan selain romantisasi Jogja? Jawabannya "ada". Tapi pembicaraannya berhenti di tataran permukaan. Ibarat suatu gagasan yang cuma dilempar tanpa ditindaklanjuti. 

Alhasil, selain hambar, kisahnya pun memunculkan kesan berlawanan dengan poin yang ingin disampaikan. Terutama di konklusi, di mana isu gender miliknya justru terasa rancu, saat tetap menyoroti kegamangan Demi. Apakah penonton mesti mengamini kesalahan Bara, atau malah berpihak pada patah hatinya?  

Adriyanto Dewo bukannya tidak berusaha membuat filmnya punya dampak emosi. Berbagai daya upaya telah dikerahkan. Mempercantik visual misalnya. Beberapa shot hasil tangkapan kamera Tri Adi Prasetyo nampak cantik, tapi penggunaan dua gaya visual (warna dan hitam putih) sebatas gimmick tanpa rasa. 

Bait-bait puisi pun ditampilkan. Baik tertulis di layar, maupun dibacakan oleh voice over Bara. Kesan yang muncul masih sama. Gimmick belaka. Apalagi bentuk voice over-nya campur aduk. Ada puisi, ada deskripsi atas peristiwa serta isi hati (yang sebenarnya sudah tersampaikan oleh visualnya), seolah tanpa substansi.

Secara tidak mengejutkan, hal terkuat di Panduan Mempersiapkan Perpisahan adalah penampilan Lutesha. Sang aktris jago melakukan dua hal: memberi bobot di tiap kata yang terucap, lalu menambahkan warna berbeda bagi tiap kata tersebut. Sebaliknya, Daffa Wardhana jadi salah satu poin terlemah. Di debut akting filmnya ini, Daffa gagal memilah mana "gloomy", mana "puasa tujuh hari tujuh malam tanpa sahur dan berbuka". Sewaktu dituntut menangani emosi besar, kekakuannya bertutur, berekspresi, dan bergestur nampak begitu jelas. Aktingnya dingin, hampa, tak mampu membuat penonton terikat secara emosional. Kurang lebih sama seperti keseluruhan filmnya sendiri. 

(Bioskop Online)

8 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BISMILLAH KUNIKAHI SUAMIMU

15 komentar

Apakah novel Bismillah Kunikahi Suamimu buatan Vyntiana Itari diadaptasi cuma karena judulnya sensasional dan kontroversial? Bisa jadi. Film ini diproduksi MD Pictures yang sebelumnya merilis versi extended dari KKN di Desa penari dengan judul Luwih Dowo Luwih Medeni. Tujuannya jelas demi memancing obrolan. Ditinjau lewat perspektif dagang, dua keputusan tadi tidaklah keliru. 

Kalangan yang jadi target pasarnya bakal berurai air mata. Saya bukan salah satu dari mereka, dan sudah bersiap dibuat sakit kepala saat memasuki studio. Mungkin walkout akan jadi pilihan andai keburukannya tak tertahankan.

Ceritanya tentang pasangan suami istri, Malik (Rizky Nazar) dan Hanna (Mikha Tambayong), yang tengah menantikan kelahiran anak pertama. Secara kebetulan, dokter kandungan Hanna adalah Cathy (Syifa Hadju), temannya semasa SMA sekaligus mantan pacar Malik. Ketika Hanna divonis menderita kanker stadium tiga, ia meminta Cathy menikahi sang suami. 

Saya batal walkout. Bukan berarti secara luar biasa mengejutkan film ini ternyata bagus. Pengarahan Benni Setiawan cenderung "sinetron-ish", dengan pilihan shot serta teknik komposisi sekuen ala kadarnya hingga lagu pop bernuansa religi mengharu biru untuk mengiringi momen dramatis saat karakternya menangis atau berdoa selepas salat (juga sambil menangis). Naskah yang juga ditulis oleh Benni pun dipenuhi kalimat-kalimat corny. 

Bismillah Kunikahi Suamimu dipersenjatai formula khas sinetron. Tapi hanya itu. Tidak ada sudut pandang "berbahaya". Kalaupun ada, semua terpusat pada Malik. Naskah buatan Benni Setiawan menormalisasi saat ia berkencan, bahkan berhubungan seks dengan si istri kedua tatkala istri pertama masih terbaring koma. Memang sah, tapi laki-laki yang melakukan itu dengan enteng tanpa dibarengi rasa bersalah jelas laki-laki miskin nurani. 

Kekurangan lain pun mudah ditemukan. Misal konflik Cathy dengan sang ibu (Unique Priscilla) yang menolak puterinya jadi istri kedua. Konflik itu selesai dengan sendirinya tanpa ada proses bertahap. Tapi tidak seperti penokohan Malik, hal itu, dan setumpuk kelemahan lain di 90 menit pertama, bukan persoalan meresahkan, melainkan sebatas keklisean ala sinetron. Sesuatu yang sudah siap saya maklumi ketika memutuskan menonton film ini. 

Masalah utama Bismillah Kunikahi Suamimu bukan cara pandang kolot konservatif atau glorifikasi poligami (nanti akan saya bahas), namun fakta bahwa ia kekurangan "bumbu". Sebagai film dengan judul "WOW", Bismillah Kunikahi Suamimu berlangsung datar. Padahal nilai hiburan terbesar "formula sinetron" adalah permasalahan serba berlebih, tapi film ini terlalu main aman.

Akting jajaran pemainnya cukup efektif sebagai obat kantuk. Tidak spesial, tapi meninjau kualitas naskah, apa yang dicapai trio pemain utamanya patut diapresiasi. Di jajaran pendukung, Ruth Marini sebagai Ipah si ART dan Dea Panendra sebagai Sumi si pengasuh berhasil memancing beberapa tawa. Karakterisasi Ipah cenderung stereotipikal (orang Jawa = pembantu), tapi daya hibur dari rutinitas pertengkaran keduanya sulit ditolak. Pondasi humornya lemah, tapi interpretasi Ruth dan Dea meningkatkan kelucuannya berkali-kali lipat.

Memasuki 30 menit terakhir, barulah Bismillah Kunikahi Suamimu mau tampil lebih "liar". Semua berawal dari sebuah twist. Twist bodoh tentu saja, tapi kebodohan semacam inilah "bumbu sinetron" yang harusnya ada sejak awal. Saya tertawa geli, sedangkan beberapa penonton yang sepertinya termasuk target pasarnya, mulai mengeluarkan omelan. Begitulah dampak yang semestinya hadir.

Kemudian di 10 menit terakhir, menu utama yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Bismillah Kunikahi Suamimu menyampaikan sudut pandangnya terhadap poligami lewat sekuen yang coba menggambarkan "keharmonisan cinta", tapi justru berakhir memancing gelak tawa. Kali ini bukan cuma saya. Seisi studio tertawa mendengar kalimat-kalimat menggelikan naskahnya dan cara Benni mengemas adegan. Semakin konyol saat konklusinya memunculkan keraguan. Di satu sisi kisahnya ingin meromantisasi poligami, tapi di sisi lain seperti ragu penonton bakal menerimanya. 

Bagi saya yang menolak poligami, Bismillah Kunikahi Suamimu memang mengganggu. Tapi itu nilai yang saya anut. Saya tidak bisa mencelanya karena perbedaan nilai. Pun film ini bukan seperti Argantara misalnya, yang jelas berbahaya ditinjau dari perspektif mana pun. Film ini buruk bukan karena mendukung poligami. Sebaliknya, ia buruk karena tidak tahu hendak menyuarakan apa, serta tampil membosankan di mayoritas durasi.

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - MISSING

12 komentar

Sekilas Missing bagai cuma membalik cerita film pertama. Jika Searching (2018) tentang upaya orang tua mencari anaknya, kini giliran si orang tua yang hilang. Tapi bukan sekadar pertukaran peran nihil kreativitas. Karena di saat tidak semua individu merupakan orang tua, kita semua adalah anak seseorang. Alhasil kisahnya punya jangkauan lebih luas. Lebih relatable. 

Ditulis naskahnya oleh duo sutradara Nick Johnson dan Will Merrick yang menjadi editor film pertama, Missing membicarakan salah satu ketakutan terbesar anak. Bagaimana jika tanpa disadari, sebuah interaksi dengan orang tua jadi momen terakhir kita bersama mereka? Lebih buruk lagi, bagaimana kalau interaksi itu meninggalkan kenangan pahit?

Sebagaimana banyak remaja, June (Storm Reid) kurang akrab dengan ibunya, Grace (Nia Long), yang dianggapnya terlalu cerewet. Tapi June merindukan ayahnya, James (Tim Griffin), yang meninggal sewaktu ia kecil akibat tumor otak. Ketika Grace berlibur ke Kolombia bersama kekasihnya, Kevin (Ken Leung), June berbahagia. "Selamat datang kebebasan", mungkin begitu pikir si gadis remaja. 

Tapi saat hari kepulangan sang ibu tiba, June tak menemukan Grace. Dia hilang tanpa jejak, dan selama lebih dari 90 menit ke depan, kita diajak melihat segala upaya June melacak keberadaan Grace. Tentunya masih dalam format screenlife yang membuat Searching memperoleh reputasi tingginya. 

Meski posisi sutradara berpindah, Johnson dan Merrick terbukti tahu cara mereplikasi bangunan intensitas milik Aneesh Chaganty di film pertama. Bukan hal mengejutkan, mengingat sebagai editor, keduanya paham betul metode Chaganty menyusun sekuen dan memainkan tempo. Kita dibawa mengamati investigasi bekecepatan tinggi yang penuh lika-liku serta titik balik mengejutkan. Ditambah ketepatan dramatisasi, tiap progres yang karakternya capai selalu jadi momen uplifting yang ikut penonton rayakan.

Layar memegang peranan penting. Entah layar komputer, smatphone, atau tayangan berita di televisi, selalu dipenuhi detail yang merangsang insting observasi kita. Sesekali bukan petunjuk terkait alurnya yang didapat, melainkan easter eggs untuk dua judul lain dalam semestanya, yakni Searching dan Run (2021). 

Jangan harap filmnya mau menyuapi. Missing menjawab setiap tanya, seluruh penjelasan muncul di layar, namun bagaimana titik-titik itu disusun, sepenuhnya diserahkan pada penonton. Berbeda dengan June, kita tidak bisa mencatat setumpuk informasi yang ditemukan. Perhatian total saat menonton amat diperlukan, atau kalian bakal melewatkan poin-poin seperti "Metode penyelidikan apa yang sedang dilakukan? Apa tujuannya? Bagaimana hasilnya? Kenapa karakter A melakukan Z?", dan lain-lain. Misterinya rumit, berlapis, tapi terpenting, tidak menganggap penontonnya malas memutar otak. 

June bukanlah David Kim (John Cho). Dia remaja yang akrab dengan teknologi dan media sosial, pula tumbuh bersama tontonan true crime di Netflix. Alhasil dibutuhkan kesulitan lebih berat agar ia mendapatkan tantangan berarti, yang mana sejalan dengan ambisi Missing untuk memperbesar cakupan. 

Jika bujet Searching hanya 880 ribu dollar, maka Missing hampir 10 kali lipatnya (7 juta dollar). Dibantu beberapa karakter pendukung seperti sahabatnya, Veena (Megan Suri), Elijah Park (Daniel Henney) si agen FBI, Heather (Amy Landecker) selaku teman sang ibu sekaligus seorang pengacara, hingga Javier (Joaquim de Almeida) sang gig worker asal Kolombia, June menghadapi rintangan dengan skala yang membuat Searching nampak kerdil.

Hasilnya tidak selalu lebih baik. Memasuki separuh kedua, Missing mulai terasa terlalu penuh, terlalu besar, juga dilengkapi berbagai twist yang mendorong suspension of disbelief penonton sampai ke titik ekstrim. Jika paruh pertamanya piawai mengatur dinamika sembari membolak-balik persepsi penonton akan kasusnya, paruh kedua bak dibebani kewajiban untuk tampil lebih liar, lebih mengejutkan, dan sekali lagi, lebih besar sebagai sebuah sekuel. 

Tapi kelemahan di atas hanya bakal menonjol bila kita menyandingkan Missing dengan pendahulunya. Apabila dipandang sebagai thriller yang berdiri sendiri, ia tetap suguhan luar biasa intens sekaligus emosional. Fenomena era media sosial, misalnya ketiadaan empati para pembuat konten dalam menyikapi kasus sempat disinggung, namun secara lebih mendasar, Missing membicarakan satu nilai kekeluargaan penting: kecerewetan ibu adalah wujud kasih sayang tiada banding.

12 komentar :

Comment Page:

REVIEW - UNLOCKED

3 komentar

Subgenre home invasion thriller dibangun berdasarkan ketakutan kita akan serangan terhadap rumah. Ketika zona aman tempat berlindung disusupi, apakah kita masih punya daya upaya? Tapi zaman sudah berubah. Ruang personal tak lagi cuma berbentuk dinding-dinding kamar, melainkan selalu kita bawa dalam bentuk smartphone. Segala rahasia tersimpan di sana. Bagi beberapa orang kehilangan segepok uang tak seberapa mengerikan ketimbang "ditelanjangi" di dunia maya.

Unlocked, selaku adaptasi layar lebar kedua bagi novel Jepang berjudul sama karya Akira Teshigawara (lima tahun versi Jepang pernah dibuat dengan judul Stolen Identity), mengetengahkan fenomena di atas. Lee Na-mi (Chun Woo-hee) tanpa sadar kehilangan smartphone miliknya saat mabuk. Malangnya, dari sekian banyak kemungkinan, yang memungutnya adalah Oh Jun-yeong (Im Si-wan). 

Naskah buatan sang sutradara, Kim Tae-joon, tidak menunggu lama untuk menyuguhkan menu utama kepada penonton. Jun-yeong rupanya kerap melakukan tindak kejahatan memakai informasi yang dia curi dari smartphone para korban. Setelah mengacaukan hidup si korban, Jun-yeong membunuh mereka. Kita langsung diperlihatkan modus operandi si antagonis. Bagaimana ia bisa mengunduh data, membuka kode pengaman, dan lain-lain. Modusnya cerdik, pula mengerikan karena dapat diterapkan di realita oleh mereka yang telah berpengalaman. 

Menyoroti proses berpikir Jun-yeong memberi dinamika bagi jalannya alur Unlocked. Apalagi ditambah pengarahan sang sutradara, yang dibantu tata kamera stylish serta penyuntingan cekatan, melahirkan gelaran visual bertenaga yang senada dengan tema dunia modern filmnya. 

Na-mi punya beberapa orang terdekat. Ayahnya (Park Ho-san) yang mengelola kafe, Eun-joo (Kim Ye-won) si sahabat, dan CEO Oh (Oh Hyun-kyung) selaku atasan di tempatnya bekerja. Target utama Jun-yeong adalah membuat Na-mi kehilangan orang-orang yang selalu jadi tempatnya bersandar. Membuat dunia berpaling dari kita, seolah menekankan betapa rapuhnya hubungan manusia di dunia modern. Mudah terhubung, tapi juga mudah runtuh. 

Sayang, selepas meletakkan pondasi sedemikian solid, Unlocked bak menahan diri untuk tancap gas. Babak kedua yang mestinya penuh ketegangan justru lalai menghadirkan cengkeraman. Selipan tentang penyelidikan Woo Ji-man (Kim Hee-won), detektif yang curiga bahwa orang terdekatnya merupakan pelaku pembunuhan berantai tampil tidak menggigit. Tempo penceritaannya draggy, kerap berlama-lama di satu titik, di mana ada kalanya titik itu tidak perlu eksis. 

Satu hal yang terus menjaga kestabilan Unlocked adalah penampilan dua pemain utamanya, yang menciptakan kutub berlawanan. Chun Woo-hee menghidupkan protagonis yang gampang penonton sukai, sedangkan Im Si-wan (yang belakangan sering memerankan figur psikopat) memberi kita antagonis yang mudah dibenci.  

Sebuah twist jelang transisi menuju klimaks mampu menghadirkan kejutan, namun Unlocked tak pernah bisa mencapai level intensitas di paruh awalnya. Babak ketiganya sekali lagi kurang bertaring. Minimal konklusinya mampu memberi penekanan pada fakta mengerikan di terornya. Lingkaran teror dunia modern yang tak kenal putus, berupa invasi privasi yang bakal terus berlangsung, dengan atau tanpa sosok psikopat berdarah dingin.

(Netflix)

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BERBALAS KEJAM

12 komentar

Berbalas Kejam berupaya memberi perbedaan pada genre revenge thriller, sehingga ia pun tampak semakin menonjol mengingat minimnya kuantitas genre tersebut di Indonesia (jika pembalasan arwah arwah penasaran tak dihitung). Filmnya lebih menekankan proses menghadapi duka, dilema moralitas, serta nilai kemanusiaan, ketimbang glorifikasi kekerasan dalam aksi balas dendam. 

Tidak mengherankan, sebab ia lahir dari buah pikir Teddy Soeriaatmadja yang dikenal atas karya-karya alternatif seperti Lovely Man (2011), Something in the Way (2013), dan About a Woman (2014). Tapi ini bukan kali pertama Teddy menerapkan kekhasannya di "film genre". Dua tahun lalu ia melakukannya di Affliction dengan hasil mengecewakan. 

Berbalas Kejam punya hasil lebih baik. Minimal, apa pun kekurangan yang menghalangi, jajaran cast-nya selalu muncul sebagai penyelamat. Reza Rahadian memerankan Adam, arsitek yang dalam dua tahun terakhir hidup tanpa arah sejak peristiwa tragis yang merenggut keluarganya. Anak dan istri Adam dibunuh tepat di depan matanya oleh tiga perampok: Karni (Baim Wong), Gyat (Kiki Narendra), dan Franky (Haydar Salishz). 

Atas saran temannya, Adam mengunjungi psikolog guna mendapat perawatan. Amanda (Laura Basuki) namanya, seorang psikolog yang dipanggil "dokter". Walau tak punya dampak substansial pada alur, kealpaan naskah buatan Teddy perihal definisi "psikolog" dan "psikiater' merupakan satu lagi bentuk minimnya riset keilmuan para penulis film kita. 

Tapi naskahnya juga punya kekurangan yang berpengaruh besar pada kenikmatan mengikuti alurnya, yakni banyaknya kebetulan. Peristiwa yang memberi Adam ide untuk melancarkan balas dendam bisa terjadi karena unsur kebetulan luar biasa. Begitu pula sebuah twist yang sesungguhnya sudah bisa ditebak sejak salah satu karakternya mulai membuka diri. Semua serba kebetulan. 

Terkait proses balas dendamnya, Berbalas Kejam tampil memadai di segala lini. Tidak spesial, cenderung familiar, namun sudah cukup untuk membuat filmnya disebut "layak". Misal dentuman musik klise buatan Ricky Lionardi, tata kamera Vera Lestafa, hingga permainan tempo cepat dalam pengadeganan Teddy Soeriaatmadja. 

Konklusinya mungkin melucuti kepuasan ala revenge thriller, tapi menilik perspektif Berbalas Kejam, kesan itu dapat dimaklumi. Walau terkadang pesan anti-kekerasan miliknya agak kebablasan, semisal bagaimana ia sepenuhnya menyalahkan kekerasan yang dipakai untuk melawan penjahat di jalanan, tanpa menyisakan ruang bagi ambiguitas moral. 

Perjalanan Berbalas Kejam masih sangat jauh dari mulus, tapi seperti telah disebutkan, jika membahas kualitas akting, tidak ada keluhan yang tertinggal. Reza mumpuni dalam mengolah perasaan menyesakkan yang diakibatkan trauma, sementara Laura Basuki berjasa menghidupkan momen favorit saya di film ini. Momen humanis yang mengerti bahwa manusia, walau berstatus makhluk sosial, tetap perlu waktu menyendiri, dan orang-orang terdekatnya harus bersedia sejenak memberi ruang bagi kesendiriannya. 

Oh, dan jangan lupakan Baim Wong. Selain menduduki kursi produser, Baim turut menghadirkan performa solid, yang kembali mengingatkan bahwa "Baim Wong si youtuber" dan "Baim Wong si aktor" adalah dua entitas berbeda.

(Prime Video)

12 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PARA BETINA PENGIKUT IBLIS

20 komentar

Semua pernak-pernik tentang film ini terkesan sensasional. Baik kata "betina" di judul yang memancing perdebatan, maupun rating usia 21+ yang alih-alih coba dihindari justru jadi materi promosi. Seluruhnya sensasional, kecuali satu hal: filmnya sendiri. 

Para Betina Pengikut Iblis ingin tampil gila. Darah ditumpahkan, isi perut bertebaran, tapi Rako Prijanto, yang baru bulan lalu mengawali debutnya menyutradarai horor lewat Bayi Ajaib, melupakan hal penting. Keseruan film gore (entah slasher, torture porn, atau subgenre eksploitasi lain) berasal dari proses penjagalannya, bukan sebatas jeroan yang dipamerkan bak di etalase toko daging. 

Belum apa-apa filmnya langsung ngebut saat memperlihatkan Sumi (Mawar de Jongh) yang meminta dokter Freedman (Hans de Kraker) memeriksa luka di kaki Karto (Derry Oktami), ayahnya. Belum sampai lima menit durasi berjalan, Para Betina Pengikut Iblis sudah berusaha menepati janji yang dibawa rating usianya, dengan mengamputasi kaki Karto. 

Kemudian ada Sari (Hanggini), mantan dukun santet yang ingin mencari dalang di balik kematian tragis adiknya. Siapa Sumi? Kenapa kaki ayahnya terluka sedemikian parah? Apa alasan Sari berhenti menjadi dukun? Film ini seolah memotong banyak porsi first act yang umumnya jadi sarana penonton mengenali tokoh-tokohnya. 

Perlu waktu agar terbiasa dengan cara tuturnya, sebagaimana kita perlu waktu untuk membiasakan diri pada gaya akting jajaran pemainnya. Mawar sebagai Sumi yang canggung, juga Hanggini sebagai Sari yang penuh amarah, tampil over-the-top. Serba berlebih, tanpa menyisakan ruang bagi kesubtilan. Bukan berarti buruk, karena memang suatu kesengajaan.

Para Betina Pengikut Iblis didesain sebagai tontonan yang mereplikasi estetika horor lokal lawas, termasuk di pemilihan latar dan departemen akting. Mawar dan Hanggini cocok dengan tujuan itu. Terutama Hanggini yang mengingatkan ke barisan karakter dukun antagonis dari era 80-an. 

Jika kedua aktrisnya berakting over-the-top namun tetap sesuai dengan nuansa serius filmnya, lain cerita dengan Adipati Dolken selaku pemeran sosok iblis. Dia konyol. Seperti mahasiswa tahun pertama yang iseng-iseng menjajal kegiatan teater di kampusnya. Ketimbang tawa maniak ala antagonis b-movie, Adipati membawa interpretasi lain yang terdengar seperti pengidap asma akut. Tawa yang juga membuat seisi studio ikut tertawa. Penampilannya semakin menonjol (in a bad way) sebab tiap kemunculannya diiringi tempo yang berlarut-larut. Baik tempo Adipati melafalkan kalimat, atau pengadeganan Rako. 

Kembali soal replikasi estetika masa lalu, filmnya banyak dihiasi oleh pemandangan ganjil. Sebutlah keberadaan mesin pendingin di area tanpa listrik. Tentu bahasa filmis beda dengan realita. Sineas bebas bereksplorasi khususnya di film tanpa kepastian latar tempat dan waktu seperti Para Betina Pengikut Iblis. Ketidaksesuaian era maupun logika bisa dijustifikasi asalkan mengatrol sebuah elemen, misal mempercantik visual. Tapi keganjilan film ini tak memberi dampak apa pun. Bahkan semakin ganjil bila menilik niatan filmnya mereplikasi era 80-an. 

Bagaimana dengan gore yang jadi jualan utamanya? Seperti telah saya sebutkan, barisan kekerasannya seperti etalase belaka. Walau darah bisa kita lihat, aksi kekerasan (sayatan parang, tusukan pisau, dll.) yang menumpahkannya lebih banyak terjadi secara off-screen. Pengadeganan Rako pun terlampau datar untuk bisa memunculkan keseruan. Dia bagai asal merekam darah mengalir dan tumpukan organ. Sekali lagi, seperti video etalase toko daging. 

Naskah yang ditulis Rako bersama Anggoro Saronto punya satu poin positif. Film ini nihil pijakan moral. Semua karakternya, entah menjadi pengikut iblis atau tidak, sama-sama buruk. Mereka melakukan bentuk kekejaman yang berbeda-beda. Sayangnya secercah harapan itu seketika musnah saat di paruh akhir, naskahnya menjelaskan twist yang sejatinya sederhana dengan sangat semrawut, sebelum tiba-tiba menutup film dengan kalimat sakti "TO BE CONTINUED". 

Penderitaan masih akan berlanjut. 

20 komentar :

Comment Page:

REVIEW - ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

33 komentar

Ketika Eternals mendapat ulasan buruk, saya memujinya habis-habisan. Bahkan saat Thor: Love and Thunder banyak dihujani olok-olok, saya tetap menganggapnya hiburan menyenangkan, meski sebuah penurunan drastis dibanding judul sebelumnya. Judul-judul MCU selalu tahu ingin menjadi apa. Entah suguhan superhero epik, fan service banjir cameo, atau sebatas tontonan ringan. Ant-Man and the Wasp: Quantumania sayangnya tidak demikian, dan setelah 31 film, dengan berat hati saya mesti berkata, "Marvel Studios melahirkan film buruk". 

Di bawah komando Kevin Feige, franchise tiap jagoan di bawah bendera MCU memiliki desain masing-masing. Kalian suka karakter eksentrik? Silahkan berpetualang bersama Guardians of the Galaxy. Ingin sesuatu yang lebih serius? Ada Captain America. Jenuh dengan realita monoton? Doctor Strange siap melenyapkan batasan ruang dan waktu. Sesekali muncul eksplorasi, namun tak pernah melenceng dari desain. Tapi jika sebuah desain dianggap gagal, pintu untuk perubahan selalu terbuka. Thor misalnya. 

Sejak film perdananya sewindu lalu, Ant-Man identik dengan gaya ringan berskala kecil. Ketimbang keselamatan dunia, ikatan keluarga lebih diutamakan. Feige paham betul bahwa "kekuatan semut" sang jagoan takkan cocok dibawakan secara serius. Dia pun sadar Ant-Man bukan tandingan para penjahat penguasa semesta. Makanya bertebaran meme tentang "Ant-Man vs Thanos". Quantumania berusaha merombak desain paten tersebut, dan itulah penyebab keruntuhannya.

Gagasan utamanya adalah mengeksplorasi Quantum Realm, di mana Scott (Paul Rudd), Hope (Evangeline Lilly), Cassie (Kathryn Newton), Hank (Michael Douglas), dan Janet (Michelle Pfeiffer), terjebak di sana, lalu terlibat konflik dengan Kang the Conqueror (Jonathan Majors). Kang akan meneruskan tongkat estafet dari Thanos sebagai musuh besar MCU. 

Di situlah pangkal masalahnya. Bisakah membuat Kang si penjelajah waktu dari abad 31, sekaligus penebar ancaman bagi multiverse dengan citra intimidatifnya, sesuai dalam kisah Ant-Man yang biasanya berskala kecil? Jawabannya tidak, namun Quantumania memaksakan dirinya, itu pun secara setengah-setengah.

Naskah buatan Jeff Loveness mempertahankan humor yang cukup menggelitik di beberapa titik, meski belum seefektif komedi ala MCU sebelum fase 4 yang selalu bisa membuat seisi studio bergemuruh oleh tawa penonton. Bahkan Bill Murray seperti setengah hati mengisi kemunculan singkatnya yang gagal meninggalkan kesan. 

Kemudian, seolah sadar bahwa Kang bukan karakter komedik, tone-nya mendadak banting setir tiap sang supervillain mengisi layar. Peleburan dua tone berbeda sejatinya dapat dilakukan. Tapi yang Quantumania lakukan bukan peleburan, melainkan menempelkan paksa. 

Secara konsep, sejatinya Kang punya penokohan menarik. Kemampuan menjelajah waktu membuat persepsinya akan hidup berbeda. Dia adalah sosok kesepian. Tidak satu orang pun bisa melihat apa yang ia lihat. Jonathan Majors sanggup menghidupkan kesedihan tersebut. Daripada murni jahat, Kang lebih dekat ke arah figur tragis sebagaimana karakter Shakespeare, dan Majors membawa intepretasi shakesperean ke dalam aktingnya. 

Sekali lagi, apakah itu cocok dengan cerita seorang Ant-Man? Tidak. Majors bermain baik, hanya saja tidak pada tempanya. Apalagi ditambah ketidakmampuan Peyton Reed mengolah intensitas di situasi serius yang tak melibatkan aksi warna-warni, Quantumania selalu jadi pengantar tidur setiap obrolan sarat eksposisi mengenai latar belakang si antagonis mengambil alih. Situasi tersebut sangat sering terjadi. 

Quantumania merampas apa yang jadi kekuatan terbesar seri Ant-Man, yakni drama keluarga. Padahal kisahnya menyimpan banyak potensi. Scott mendapati Cassie telah tumbuh sebagai remaja dengan kepekaan sosial tinggi (sosoknya mewakili tendensi aktivisme generasi sekarang), sedangkan Janet, dipaksa kembali ke Quantum Realm yang masih meninggalkan kenangan buruk baginya. Persatuan keluarga si tokoh utama mendapat ujian terberatnya. 

Setiap keluarga jadi sorotan, Quantumania mencapai level terbaiknya. Momen menyentuh tatkala kerumunan variant Scott dipersatukan oleh motivasi tunggal (anak), serta performa solid Pfeiffer, yang menilik kuantitas porsinya patut disebut "peran utama", mengingatkan akan bagaimana semestinya film Ant-Man disajikan. Semua itu tenggelam dalam keharusan menjembatani rencana-rencana masa depan MCU. 

Sebenarnya penyakit tersebut sudah berulang kali menjangkiti MCU, tapi selalu ada "obat penawar". Entah karena filmnya sendiri punya daya hibur tinggi, atau bangunan masa depan yang di-tease memancing antusiasme. Quantumania tidak memiliki keduanya. 

Aksinya generik. Tidak buruk, namun kehilangan energi yang senantiasa menyokong film-film sebelumnya. Visualisasi Quantum Realm dengan segala pernak-pernik aneh dan makhluk uniknya yang mengingatkan ke dunia Star Wars memang memanjakan mata, tapi sebatas itu saja tidak cukup. Sebatas menumpuk visual nyentrik sudah kehilangan kekuatannya, setelah MCU dipenuhi judul-judul seperti Doctor Strange, Thor: Ragnarok, Guardians of the Galaxy, dan tentunya Ant-Man sendiri, yang menampilkan pemandangan serupa. 

Menjadi bertambah fatal sewaktu tease perihal masa depannya justru berisiko mengurangi ketertarikan alih-alih menguatkan. Pembaca komik tentu familiar dengan apa yang Kang dapat lakukan. Bagaimana dengan penonton kasual? 

Konon Kang pernah berkali-kali membunuh Avengers di perjalanannya melintasi waktu dan multiverse, tapi kita tak pernah melihatnya secara langsung. Penonton harus percaya bahwa Kang lebih berbahaya dari Thanos, dan Quantumania gagal membangun kepercayaan tersebut. Dia adalah ilmuwan jenius dari abad 31, pemilik berbagai teknologi super canggih yang membuat Tony Stark nampak primitif, tapi di sini, ia bisa dikalahkan dengan cara sederhana yang cenderung konyol. Kang ibarat orang besar mulut yang tak mampu membuktikan kehebatan kata-katanya. 

Quantumania memiliki dua credits-scene. Adegan pertama berfungsi menyiratkan ancaman seperti apa yang bakal Kang hadirkan, tapi selepas apa yang kita saksikan sepanjang film, sulit untuk menghapus praduga, "Oh dia cuma bisa main keroyok". Adegan kedua menampilkan karakter favorit penonton. Satu studio bertepuk tangan melihatnya, namun sama sekali tak bereaksi pada kalimat "Kang will return". Kesan yang muncul bukan "menyongsong masa depan" melainkan "mengejar masa lalu". Untuk pertama kalinya prses menantikan masa depan MCU terasa hambar. 

33 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DITTO

1 komentar

Jujur saya sudah melupakan banyak detail Ditto (2000). Memori terkuat justru soal bagaimana Hanya Untukmu (2008) garapan Rizal Mantovani sempat menjiplak posternya, sebelum berganti judul menjadi Ada Kamu, Aku Ada lengkap dengan poster baru. Tapi generasi sekarang pun pasti hanya segelintir yang mengenalnya (kata "Ditto" cenderung mereka asosiasikan dengan lagu NewJeans), sehingga remake buatan sutradara Seo Eun-young ini merupakan bentuk perkenalan ulang yang pas.

Kisahnya mengambil dua latar. Di tahun 2022, Kim Mu-nee (Choi Yi-hyun), seorang mahasiswi sosiologi yang tengah mengerjakan tugas untuk mewawancarai orang asing. Mu-nee mencari narasumber melalui radio amatir miliknya, dan malah terhubung dengan Kim Yong (Yeo Jin-goo), mahasiswa teknik dari tahun 1999 yang sedang mempelajari radio amatir demi mendapatkan hati juniornya, Seo Han-sol (Kim Hye-yoon). 

Memindahkan latar masa lalu dari tahun 1979 ke 1999 turut mengubah dinamika kehidupan karakternya. Dampak pasca konflik DMZ berganti menjadi hantaman krisis IMF. Para mahasiswa termasuk Kim Yong, kebingungan menentukan arah masa depan, sedangkan Han-sol, serupa banyak orang saat itu, terhimpit kesulitan ekonomi setelah pabrik sang ayah bangkrut. Bagi keduanya, cinta ibarat suaka, bentuk eskapisme dari pahitnya realita.

Yeo Jin-goo dan Kim Hye-yoon membuat kita ikut merasakan indah dan hangatnya romansa masa muda itu, lewat interaksi manis sekaligus menggemaskan. Kim Hye-yoon patut mendapat pujian khusus, sebab peran sebagai Han-sol membuktikan jangkauan luas aktingnya, yang berlawanan dibanding wanita tangguh di The Girl on a Bulldozer (2022) dan sosok menyebalkan di serial Snowdrop (2021-2022). 

Di latar kontemporer, Choi Yi-hyun kembali unjuk gigi sebagai salah satu aktris muda Korea paling menjanjikan, di mana kali ini dia berduet dengan Na In-woo yang memerankan Oh Young-ji, sahabat sekaligus love interest Mu-nee. Walau harus diakui, latar 2022 menyimpan lebih banyak lubang penceritaan. Kebingungan Mu-nee mencari narasumber di era media sosial terasa kurang masuk akal. Naskahnya juga luput menampilkan tahapan berpikir Mu-nee sebelum ia menyimpulkan bahwa radio miliknya bekerja bak mesin waktu. Penerimaan Mu-nee terkesan tiba-tiba dan terlalu mudah untuk suatu perkara di luar nalar. 

Setidaknya melalui naskahnya, Seo Eun-young mampu memaksimalkan gagasan utama mengenai "komunikasi beda zaman". Keunikan Ditto, baik versi asli maupun remake, terletak pada dua karakter utamanya yang bukan berstatus pasangan romantis (wajar, mengingat selisih 20 tahun bakal membuatnya canggung, berbeda dengan Il Mare misal, dengan linimasa yang cuma berjarak dua tahun). Kim Yong dan Mu-nee justru saling membantu, bertukar saran demi melancarkan kehidupan asmara masing-masing. 

Kecuali kejutan di epilog yang sesungguhnya tidak perlu dan malah memancing beberapa pertanyaan tambahan, Ditto memperlakukan elemen perjalanan waktunya dengan sederhana. Seo Eun-young mengolah kesederhanaan tersebut dengan tepat, untuk melahirkan momen-momen lintas waktu yang efektif memancing senyum, misal ketika Mu-nee membaca pesan yang Kim Yong tuliskan di bilik telepon 20 tahun sebelumnya. Beberapa ha seperti kenangan akan cinta pertama serta gejolak masa muda memang takkan lekang oleh waktu.

(Viu)

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PHANTOM

2 komentar

Phantom tampil layaknya saudara jauh The Handmaiden (2016). Sama-sama penuh intrik spionase berupa penyamaran karakter wanita pada masa pendudukan Jepang di Korea, sama-sama "melokalkan" novel asing (Phantom mengadaptasi Sound of the Wind karya Mai Jia), pula sama-sama memancarkan aura queer, meski untuk yang satu ini, Phantom jauh lebih subtil. 

Semakin jauh cerita bergulir, komparasinya semakin kentara. Lee Hae-young seperti merujuk pada textbook pembuatan film seorang Park Chan-wook dalam mengarahkan Phantom. Kisahnya dibuka melalui perkenalan terhadap organisasi anti-Jepang bernama Phantom. Misi utama mereka adalah berniat residen-jenderal yang baru. Berbagai info didapat lewat peran Park Cha-kyung (Lee Hanee), mata-mata yang ditanam dalam departemen komunikasi. 

Sebagaimana suguhan spionase kebanyakan, butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan gaya tutur Phantom di paruh awal. Kompleks, penuh karakter yang tak dijelaskan identitasnya, pula informasi yang dibagikan secara setengah-setengah. Ada kalanya, Lee Hae-young yang turut menulis naskah, terlampau pelit membagi eksposisi sehingga menambah kebingungan yang tak diperlukan. 

Memasuki second act, barulah Phantom menemukan pijakannya, kala ia beralih menjadi whodunit. Selepas gagalnya percobaan pembunuhan, Kaito (Park Hae-soo) selaku perwakilan militer Jepang, mengumpulkan lima orang yang dicurigai merupakan anggota Phantom, mengurung kelimanya di hotel terpencil, dan memberi mereka waktu 24 jam guna menemukan identitas si mata-mata.

Kelima orang itu adalah: Park Cha-kyung; Junji Murayama (Sol Kyung-gu), mantan anggota kepolisian Jepang berdarah Korea yang terlibat konflik dengan Kaito; Yuriko (Park So-dam), sekretaris residen-jenderal; Cheong Gye-jang (Seo Hyun-woo) si ahli pemecah kode; dan Baek-Ho (Kim Dong-hee), karyawan muda di departemen komunikasi. 

Tapi bukankah kita sudah tahu bahwa Cha-kyung merupakan mata-mata? Di situ letak keunikan filmnya. Formula kisah whodunit dibalik. Karakternya berkumpul setelah kasus terjadi, bukan secara kebetulan,  identitas pelaku pun sudah diungkap ke penonton. Secara cerdik, naskahnya menyulut pertanyaan-pertanyaan lain di kepala penonton. Salah satunya, "Apakah hanya Cha-kyung seorang mata-mata di tubuh pemerintahan?". 

Alhasil, interaksi yang dibangun pun menjauh dari pola whodunit. Tidak ada aksi saling tuduh, tidak ada upaya mengumpulkan petunjuk, dan terpenting, tidak ada figur detektif yang memimpin penyelidikan. Tiap karakter membawa kepentingan masing-masing, sampai satu demi satu rahasia terungkap dengan sendirinya. 

Pada paruh inilah DNA Park Chan-wook mulai terasa lewat permainan tempo yang penuh kesabaran, serta bagaimana di pengarahannya, Lee Hae-young mengedepankan penceritaan visual. Di tangannya, Phantom jadi whodunit elegan nan berkelas. Ada kalanya terasa puitis, apalagi karena hampir tiap shot didesain agar menampilkan kesan "kemegahan misterius". Pemilihan warna juga diperhatikan betul, baik di tata artistik, kostum, hingga pencahayaan yang didominasi kombinasi merah dan hijau. 

Pencapaian visual itu terus dipertahankan, bahkan setelah filmnya kembali berubah bentuk, kali ini menjadi aksi spionase bertempo tinggi. Aksinya memang masih dijangkiti penyakit soal buruknya kemampuan membidik para penjahat (konflik utama filmnya sendiri dipicu kegagalan menembak, meski bukan oleh antagonis), tapi itu tidak mengurangi fakta bahwa sang sutradara begitu piawai "berganti wajah". Entah aliran pelan whodunit maupun baku tembak seru sama-sama berhasil ditangani. 

Visi estetika Lee Hae-young pun tidak tenggelam di tengah selongsong peluru yang terus menumpuk. Tengok pertarungan puncaknya yang secara cerdik dan cantik, mengambil tempat di antara tirai panggung, yang sekali lagi mengawinkan warna hijau dan merah, seolah ingin menciptakan komparasi antara kebaikan dengan keburukan (sebelum Piala Dunia 2002, merah punya konotasi negatif bagi warga Korea Selatan). 

Hae-young juga paham, komposisi shot seperti apa yang diperlukan agar protagonisnya terlihat keren. Lee Hanee dan Park So-dam merasakan dampak terbesar dari kelihaian sang sutradara tersebut. Mereka adalah duet maut yang penuh karisma kala mengangkat senjata, pula nampak tangguh saat beradu fisik. 

Jajaran penampil lain tak kalah apik. Park Hae-soo senantiasa sempurna menghidupkan figur otoriter, Sol Kyung-gyu terus memancing rasa penasaran mengenai keberpihakan karakternya, sedangkan kehadiran dua cameo (satu aktris yang sudah sangat familiar dan satu musisi yang sedang naik daun) juga mencuri perhatian. Bersama-sama, ensemble cast ini membawa Phantom menjadi "the first great South Korean movie in 2023". 

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE WANDERING EARTH 2

1 komentar

Jika The Wandering Earth (2019) tampil dengan durasi yang wajar bagi sebuah blockbuster (125 menit), maka The Wandering Earth 2 yang berstatus prekuel bergulir hampir tiga jam (173 menit), dengan tujuan menambah porsi drama kemanusiaan serta politik. Kuantitas ceritanya memang meningkat. Sangat meningkat, sampai naskahnya sendiri kesulitan memadatkannya mestki telah diberi durasi begitu panjang. 

Kisahnya mundur ke masa sebelum proyek Wandering Earth berjalan (masih bernama Moving Mountain), yang bertujuan membawa bumi berpindah ke sistem bintang Alpha Centauri karena ancaman matahari yang semakin mendekat. Liu Peiqiang (Wu Jing), protagonis dari film pertama, bergabung di proyek itu bersama para teknisi lain, termasuk Han Duoduo (Wang Zhi) yang kelak menjadi istrinya. 

Protes membanjiri pelaksanaan Moving Mountain, khususnya dari para pendukung Digital Life Project, yang alih-alih memindahkan bumi, memilih mengunggah kesadaran mereka agar dapat hidup abadi dalam wujud digital. Tu Hengyu (Andy Lau), ilmuwan yang dahulu bekerja di proyek tersebut sebelum ditutup pemerintah, kini bertugas membangun komputer kuantum bernama 550W untuk Moving Mountain. Di waktu luangnya, Tu secara berkala mengembangkan simulasi canggih untuk menghidupkan kembali puterinya secara digital. 

Rumit? Percayalah, beberapa deskripsi di atas baru segelintir dari segala intrik yang dipaparkan The Wandering Earth 2. Saya belum membahas soal serangan teroris, gesekan politis berbagai negara di mana Cina muncul sebagai "simbol kebenaran", hingga berbagai permasalahan bersifat teknis yang mempersulit jalannya proyek. 

Naskah yang dibuat sang sutradara, Frant Gwo, bersama Gong Ge'er, sesungguhnya sadar kalau ada begitu banyak konflik yang takkan cukup dituturkan dalam waktu tiga jam. Tapi alih-alih berusaha merampingkan, mereka justru memaksakan diri memadatkannya. Tempo dipercepat, eksposisi terus dilemparkan tanpa jeda, transisi antar kisah ditiadakan sehingga memunculkan lompatan kasar. Hasilnya membingungkan. Apa tujuan suatu misi? Dampak apa yang dibawa sebuah masalah? Apa peran si karakter? Jangan harap bisa memahami poin-poin penting itu secara menyeluruh. Pasti akan ada yang terlewatkan. 

Penyuntingannya pun buruk. Terasa betul didesain supaya menyingkat waktu. The Wandering Earth 2 tak ubahnya rekap. Ditambah beberapa teks plus hitung mundur mengenai peristiwa yang segera hadir, filmnya bak kaleidoskop yang mungkin ditonton oleh tokoh-tokohnya tiap tahun di televisi sebagai peringatan langkah bersejarah mereka. 

Padahal ada banyak kisah kemanusiaan potensial tersimpan di sana. Romansa Liu Peiqiang dan Han Duoduo yang kita tahu bakal berujung bittersweet, duka menyakitkan Tu Hengyu yang berhasil dihidupkan oleh penampilan kuat Andy Lau, juga elemen pengorbanan yang melanjutkan "tradisi" film pertamanya. Sewaktu berpusat di hal-hal tersebut, film ini menemukan hatinya. Saya tersentuh menyaksikan pengorbanan para generasi tua bagi generasi muda penerus masa depan dunia dalam klimaksnya. 

Tapi kalau kalian datang bukan demi cerita, melainkan parade efek spesial megah, The Wandering Earth 2 yang menampilkan beragam teknologi canggih (lift luar angkasa sepanjang 90 ribu km jadi contoh kreativitas naskahnya mengolah teknologi) bakal memuaskan. Visualnya luar biasa. Bukan semata karena kualitas CGI yang meningkat dibanding pendahulunya, tapi selaku sutradara, Frant Gwo juga memiliki insting visual kuat. Gwo adalah jagonya menciptakan panorama epik, baik yang memperlihatkan keindahan maupun kehancuran. Lihat bagaimana ia "menangani" bulan di babak ketiga, atau sekuen serbuan drone penuh kekacauan masif di paruh awal, yang bahkan bisa membuat seorang Michael Bay sekalipun merasa iri.  

Tentu The Wandering Earth bakal terus berlanjut. Pendapatannya masih menghasilkan untung besar, dan dari sisi penceritaan pun rasanya tanggung jika kita tak berkesempatan melihat umat manusia mencapai Alpha Centauri. Tinggal bagaimana Gwo dan tim menyeimbangkan spektakel epik dengan penceritaan intim mengenai kemanusiaan dan kehidupan. Biarpun kalau menilik pilihan konklusi film ini, kelak narasinya cenderung mengarah pada keabsurdan kompleks fiksi ilmiah, yang bahkan sulit ditangani oleh kapasitas penulisan mereka.

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DEAR DAVID

18 komentar

Kita semua punya fantasi seksual. Entah yang cuma sekilas melintas di kepala, atau yang rutin dikunjungi. Bisa berupa tulisan seperti fanfiction atau imajinasi "aneh" yang dibiarkan mengendap dalam otak. Apakah salah? Tentu tidak. Seliar dan seekstrim apa pun fantasi tersebut, selama tidak diterapkan di realita (bila merugikan orang lain dan/atau tergolong tindak kriminal), merupakan hak personal. Sebuah privasi yang tak semestinya diinvasi. 

Tentunya fantasi seksual sukar dibicarakan, apalagi di negeri kita yang memuja moralitas. Bahkan bagi si pemilik fantasi, mengakui ke diri sendiri bahwa ia menyimpan fantasi pun terkadang sulit. "Apakah aku orang aneh?", mungkin tanya itu yang kerap menyelimuti. Dear David menjadi suguhan penting karena memfasilitasi itu. Membuka ruang obrolan tentang sesuatu yang takut kita obrolkan. 

Protagonisnya bernama Laras (Shenina Cinnamon), siswi SMA dengan segudang prestasi termasuk di bidang penulisan. Setumpuk piala lomba menulis terpajang di kamarnya. Di sekolah, selaku ketua OSIS, Laras dicap sebagai "penjilat guru" oleh teman-temannya. Citra itu berlawanan dengan Dilla (Caitlin North Lewis) yang dipanggil "pecun" karena kerap mengunggah foto seksi, dan gosipnya pernah berhubungan seks di ruang olahraga. Laras dan Dilla dahulu bersahabat, sebelum hubungan keduanya merenggang akibat alasan yang baru kita tahu di pertengahan durasi. 

Laras pun rutin ke gereja, sehingga tak ada yang menduga kalau ia menghabiskan waktu menulis "cerita panas" berjudul Dear David. Isinya adalah fantasi Laras ke David (Emir Mahira), teman sekolahnya sekaligus putera pendeta di gereja yang ia datangi. David sebagai budak, David sebagai bajak laut, hingga fantasi-fantasi seksual liar lain dituangkan ke sana. Seluruh cerita tersebut tidak ia publikasikan, sebatas tersimpan sebagai draft di platform tempatnya menulis. 

Di situ poinnya. Sewaktu tulisan itu bocor dan menciptakan kehebohan di sekolah, fakta itulah yang mesti penonton pegang. Cerita Laras tidak dipublikasikan. Dear David bukan bentuk pembenaran atas objektifikasi seksual karena semuanya adalah konsumsi pribadi. 

Karena filmnya telah membuka ruang diskusi, jadi mari bicara blak-blakan. Saat masturbasi, siapa yang kalian bayangkan? Orang yang dikenal? Selebritis? Sosok asing yang kebetulan foto atau videonya memunculkan rangsangan? Kalau tulisan Laras dianggap objektifitasi, apa bedanya dengan contoh fantasi di atas? 

Sewaktu tulisan Laras bocor, berbagai "kopian" mulai muncul. Tulisan lain mengenai David dirilis, para siswa pun berlomba mengunggah foto dan video editan tentang David. Itu baru objektifikasi. Batasannya tipis, cuma dipisahkan oleh satu tombol "publish", namun perbedaannya luar biasa besar. 

Selain invasi privasi, Dear David turut menyentil tentang stigma serta buruknya metode edukasi seks di sekolah. Akibat citranya, Dilla jadi yang paling dicurigai. Pihak sekolah memaksanya mengaku tanpa bukti, sedangkan para siswa merespon dengan ujaran, "Kelihatan muka lo muka nggak bener". Laras? Tidak satu pun menaruh kecurigaan pada siswi teladan sepertinya. Laras memilih diam, dan di situlah letak kesalahan sang protagonis sesungguhnya. 

Pihak sekolah pun merasa perlu mengedukasi para murid perihal moral dan seksualitas. Diadakanlah penyuluhan, di mana seorang guru berkelakar bahwa Arya (Michael James) sang siswa populer "pasti sudah mengerti", menyiratkan kedangkalan edukasi seks yang diberikan. Metode lainnya adalah dengan mengatur panjang rok siswi. Sekali lagi, langkah dangkal yang luput menyoroti hal-hal esensial. 

Naskah buatan Winnie Benjamin, Daud Sumolang, dan Muhammad Zaidy tampil tajam melempar kritik, namun menolak terlalu serius. Beberapa kalimat menggelitik diselipkan secara kreatif, senada dengan pengarahan sang sutradara, Lucky Kuswandi, yang mendesain filmnya sebagai komedi romantis ringan di antara deretan isu berat miliknya. 

Di jajaran pemain, Shenina Cinnamon kembali cakap menghidupkan kegamangan karakternya, sedangkan Caitlin North Lewis "naik kelas' setelah cuma disuruh berlarian di pantai dan membuat konten TikTok di Paranoia (2021). Tapi bagi saya Emir Mahira merupakan pelakon terbaik di sini. 

Sejak kembali lewat Kalian Pantas Mati tahun lalu, Emir seolah ingin membuktikan pendewasaannya berakting. Dear David jadi panggung sempurna bagi tujuan itu. Emir membawa kepekaan tinggi dalam memerankan David, karakter yang merombak stereotip atlet tampan berbadan kekar. Dia juga bisa mengalami guncangan mental. Dia tidak harus selalu kokoh. 

Satu lagi elemen menarik ada di penokohan para orang tua. Seolah begitu menyayangi karakternya, Dear David menyediakan ruang aman dalam bentuk orang tua mereka. Baik ibu Laras (Maya Hasan) atau ayah David (Restu Sinaga kembali setelah enam tahun) sama-sama memberi tempat berlindung untuk sang buah hati. Momen anak-orang tua di film ini selalu bisa menyentuh perasaan. 

Dear David bisa saja lebih menggugah kalau bukan karena caranya merangkai momen puncak saat upacara yang tampil dengan dramatisasi tidak masuk akal. Setelah segala kebencian dan stigma yang mengakar di kepala mereka, apakah mungkin para murid bisa mendadak tergugah untuk secara lantang membela kebenaran? Persoalan "transisi" seperti ini tak hanya terjadi sekali. Bagaimana David begitu cepat memaklumi Laras yang menulis cerita tentangnya juga memunculkan kejanggalan serupa. 

Ya, film ini masih jauh dari sempurna. Tapi ia punya kelebihan yang lebih dari cukup guna menutup kekurangan-kekurangannya. Dear David mau membicarakan hal yang walaupun jamak terjadi masih jarang kita bicarakan (dan akui), akibat ketakutan akan penghakiman moral oleh masyarakat.

(Netflix)

18 komentar :

Comment Page:

REVIEW - WAKTU MAGHRIB

5 komentar

Waktu Maghrib adalah suguhan horor solid. Berisikan trik formulaik, tapi sentuhan Sidharta Tata (Quarantine Tales) di kursi sutradara mampu menawarkan intensitas di berbagai titik. Soal cara "menangani" tokoh anak pun, dibanding mayoritas horor kita, ia bersedia mendorong batas ke tingkat yang cukup ekstrim. 

Ya, sekali lagi, filmnya solid. Masalahnya, Waktu Maghrib menyimpan potensi jauh lebih banyak lagi. Sebagai horor lokal, ia bisa menjadi produk langka yang tak mengesampingkan penceritaan. Sayang, serupa karakter-karakternya, potensi cerita tersebut ikut tersesat di tengah kegelapan maghrib. 

Latarnya mengambil tahun 2002. Mungkin demi mengesampingkan elemen teknologi, walau menilik lokasi (desa terpencil), karakter (anak kecil), serta arah kisahnya bergulir, latar kontemporer pun takkan jadi masalah. Protagonisnya adalah dua siswa SD, Adi (Ali Fikry) dan Saman (Bima Sena). Saman kerap dianggap bocah bermasalah. Sang kakak, Samiun (Kevin Abani) memukulinya jika lupa mengantarkan madu dagangan, sedangkan Bu Woro (Aulia Sarah) selaku wali kelas berkali-kali menghukum Saman karena sering terlambat. 

Teror mistis mulai hadir sejak Saman dan Adi nekat melanggar anjuran untuk tidak keluar rumah kala maghrib. Mayat berjatuhan, yang kemungkinan punya kaitan dengan peristiwa tragis puluhan tahun lalu yang menimpa Karta (Andri Mashadi), pria misterius yang hidup terasing di pinggiran hutan. 

Satu elemen yang langsung terasa menonjol adalah penggunaan Bahasa Jawa. Bukan seperti deretan film Jakarta-sentris yang karakternya cuma sekelebat memakai Bahasa Jawa lalu sepenuhnya berpindah ke Bahasa Indonesia. Di sini, Bahasa Jawa dominan, pun dengan pelafalan yang memadai dari para pemain. Tidak terkecuali dua aktor ciliknya. Semakin teror menyelimuti desa, semakin luas pula jangakauan akting Bima Sena dan Ali Fikry. 

Seperti telah saya singgung, Waktu Maghrib tidak ragu menempatkan karakter anaknya dalam situasi brutal. Entah mereka membunuh atau terbunuh, bermandikan darah, kehilangan jari, dan lain-lain. Bukan pemandangan yang nyaman bagi sebagian orang, namun urusan mencapai tujuan untuk tampil shocking dengan mendobrak norma, filmnya telah berhasil. 

Terkait teror yang lebih "jinak" alias tanpa darah, Sidharta cukup kompeten membangun antisipasi. Buildup-nya intens. Misal sewaktu Saman berusaha memahami ekspresi ketakutan neneknya. Penonton pun ikut dibuat bertanya-tanya, "Apa arti ketakutan itu? Dari mana sumber terornya? Seperti apa wujudnya?". 

Sayang, hampir semua buildup berakhir mentah akibat payoff lemah berupa jumpscare generik. Ketika darah tak ditumpahkan, para hantu sebatas "setor muka", pula dengan cara minim kreativitas. Mungkin penyutradaraan Sidharta bakal lebih efektif di horor atmosferik bertempo lambat yang tak mengedepankan penampakan. 

Persoalan "buildup kuat, payoff lemah" turut terjadi dalam naskah. Di paruh awal, Waktu Maghrib bakal memenuhi kepala kita dengan ragam pertanyaan. Teori-teori pun bisa jadi berseliweran. Siapa si hantu penebar teror sebenarnya? Sebatas setan yang mengganggu manusia? Arwah penasaran? Apakah si hantu bergerak sendiri, atau dikontrol oleh salah seorang karakternya? Beberapa kejutan, ditambah kehadiran guru baru bernama Ningsih (Taskya Namya) yang memancing kecurigaan, makin menambah rasa penasaran.

Sampai film akhirnya tiba di fase konklusi, kemudian menawarkan jawaban seklise mungkin. Alurnya ibarat politikus yang menawarkan segudang terobosan serta janji-janji inovatif di masa kampanye, hanya untuk bermain aman setelah terpilih. Paruh awal dan akhir bak ditulis oleh orang berbeda. Mungkin saja kenyataannya demikian, mengingat film ini punya empat penulis: Sidharta Tata, duet Agasyah Karim-Khalid Kashogi (Madame X, Badoet, Sunyi), dan Bayu Kurnia. 

Tapi tiada yang lebih mengecewakan dibanding bagaimana Waktu Maghrib luput mengeksplorasi mitos maghrib itu sendiri, yang sebatas berhenti di "jangan keluar saat maghrib, nanti diculik setan". Padahal Jawa menyimpan setumpuk mitos menarik seputar maghrib yang bisa dijamah. Bukannya tidak ada ruang, sebab di banyak titik, alurnya kerap mengalami kekosongan, membosankan, cuma bergerak dari jumpscare satu ke lainnya. Sekali lagi, Waktu Maghrib adalah horor yang solid. Tapi ia seharusnya bisa melangkah lebih jauh dari sekadar "solid".

5 komentar :

Comment Page: