REVIEW - DEAR DAVID

18 komentar

Kita semua punya fantasi seksual. Entah yang cuma sekilas melintas di kepala, atau yang rutin dikunjungi. Bisa berupa tulisan seperti fanfiction atau imajinasi "aneh" yang dibiarkan mengendap dalam otak. Apakah salah? Tentu tidak. Seliar dan seekstrim apa pun fantasi tersebut, selama tidak diterapkan di realita (bila merugikan orang lain dan/atau tergolong tindak kriminal), merupakan hak personal. Sebuah privasi yang tak semestinya diinvasi. 

Tentunya fantasi seksual sukar dibicarakan, apalagi di negeri kita yang memuja moralitas. Bahkan bagi si pemilik fantasi, mengakui ke diri sendiri bahwa ia menyimpan fantasi pun terkadang sulit. "Apakah aku orang aneh?", mungkin tanya itu yang kerap menyelimuti. Dear David menjadi suguhan penting karena memfasilitasi itu. Membuka ruang obrolan tentang sesuatu yang takut kita obrolkan. 

Protagonisnya bernama Laras (Shenina Cinnamon), siswi SMA dengan segudang prestasi termasuk di bidang penulisan. Setumpuk piala lomba menulis terpajang di kamarnya. Di sekolah, selaku ketua OSIS, Laras dicap sebagai "penjilat guru" oleh teman-temannya. Citra itu berlawanan dengan Dilla (Caitlin North Lewis) yang dipanggil "pecun" karena kerap mengunggah foto seksi, dan gosipnya pernah berhubungan seks di ruang olahraga. Laras dan Dilla dahulu bersahabat, sebelum hubungan keduanya merenggang akibat alasan yang baru kita tahu di pertengahan durasi. 

Laras pun rutin ke gereja, sehingga tak ada yang menduga kalau ia menghabiskan waktu menulis "cerita panas" berjudul Dear David. Isinya adalah fantasi Laras ke David (Emir Mahira), teman sekolahnya sekaligus putera pendeta di gereja yang ia datangi. David sebagai budak, David sebagai bajak laut, hingga fantasi-fantasi seksual liar lain dituangkan ke sana. Seluruh cerita tersebut tidak ia publikasikan, sebatas tersimpan sebagai draft di platform tempatnya menulis. 

Di situ poinnya. Sewaktu tulisan itu bocor dan menciptakan kehebohan di sekolah, fakta itulah yang mesti penonton pegang. Cerita Laras tidak dipublikasikan. Dear David bukan bentuk pembenaran atas objektifikasi seksual karena semuanya adalah konsumsi pribadi. 

Karena filmnya telah membuka ruang diskusi, jadi mari bicara blak-blakan. Saat masturbasi, siapa yang kalian bayangkan? Orang yang dikenal? Selebritis? Sosok asing yang kebetulan foto atau videonya memunculkan rangsangan? Kalau tulisan Laras dianggap objektifitasi, apa bedanya dengan contoh fantasi di atas? 

Sewaktu tulisan Laras bocor, berbagai "kopian" mulai muncul. Tulisan lain mengenai David dirilis, para siswa pun berlomba mengunggah foto dan video editan tentang David. Itu baru objektifikasi. Batasannya tipis, cuma dipisahkan oleh satu tombol "publish", namun perbedaannya luar biasa besar. 

Selain invasi privasi, Dear David turut menyentil tentang stigma serta buruknya metode edukasi seks di sekolah. Akibat citranya, Dilla jadi yang paling dicurigai. Pihak sekolah memaksanya mengaku tanpa bukti, sedangkan para siswa merespon dengan ujaran, "Kelihatan muka lo muka nggak bener". Laras? Tidak satu pun menaruh kecurigaan pada siswi teladan sepertinya. Laras memilih diam, dan di situlah letak kesalahan sang protagonis sesungguhnya. 

Pihak sekolah pun merasa perlu mengedukasi para murid perihal moral dan seksualitas. Diadakanlah penyuluhan, di mana seorang guru berkelakar bahwa Arya (Michael James) sang siswa populer "pasti sudah mengerti", menyiratkan kedangkalan edukasi seks yang diberikan. Metode lainnya adalah dengan mengatur panjang rok siswi. Sekali lagi, langkah dangkal yang luput menyoroti hal-hal esensial. 

Naskah buatan Winnie Benjamin, Daud Sumolang, dan Muhammad Zaidy tampil tajam melempar kritik, namun menolak terlalu serius. Beberapa kalimat menggelitik diselipkan secara kreatif, senada dengan pengarahan sang sutradara, Lucky Kuswandi, yang mendesain filmnya sebagai komedi romantis ringan di antara deretan isu berat miliknya. 

Di jajaran pemain, Shenina Cinnamon kembali cakap menghidupkan kegamangan karakternya, sedangkan Caitlin North Lewis "naik kelas' setelah cuma disuruh berlarian di pantai dan membuat konten TikTok di Paranoia (2021). Tapi bagi saya Emir Mahira merupakan pelakon terbaik di sini. 

Sejak kembali lewat Kalian Pantas Mati tahun lalu, Emir seolah ingin membuktikan pendewasaannya berakting. Dear David jadi panggung sempurna bagi tujuan itu. Emir membawa kepekaan tinggi dalam memerankan David, karakter yang merombak stereotip atlet tampan berbadan kekar. Dia juga bisa mengalami guncangan mental. Dia tidak harus selalu kokoh. 

Satu lagi elemen menarik ada di penokohan para orang tua. Seolah begitu menyayangi karakternya, Dear David menyediakan ruang aman dalam bentuk orang tua mereka. Baik ibu Laras (Maya Hasan) atau ayah David (Restu Sinaga kembali setelah enam tahun) sama-sama memberi tempat berlindung untuk sang buah hati. Momen anak-orang tua di film ini selalu bisa menyentuh perasaan. 

Dear David bisa saja lebih menggugah kalau bukan karena caranya merangkai momen puncak saat upacara yang tampil dengan dramatisasi tidak masuk akal. Setelah segala kebencian dan stigma yang mengakar di kepala mereka, apakah mungkin para murid bisa mendadak tergugah untuk secara lantang membela kebenaran? Persoalan "transisi" seperti ini tak hanya terjadi sekali. Bagaimana David begitu cepat memaklumi Laras yang menulis cerita tentangnya juga memunculkan kejanggalan serupa. 

Ya, film ini masih jauh dari sempurna. Tapi ia punya kelebihan yang lebih dari cukup guna menutup kekurangan-kekurangannya. Dear David mau membicarakan hal yang walaupun jamak terjadi masih jarang kita bicarakan (dan akui), akibat ketakutan akan penghakiman moral oleh masyarakat.

(Netflix)

18 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Kalo gw jadi david,, gak terima dong,, gw sentil lak lakannya si laras,,
Film ini emang bnyk banget isu yg mau dibawa,, dari hasrat seksual remaja, cinta/persahabatan, bullying, medsos yg kejam, agama sampe lesbian, capek sendiri nontonnya

Anonim mengatakan...

ini hubungan dila sama lutesa yg di aquarium apa yah, apakah mereka lesbi?

Anonim mengatakan...

Salah satu film netflix terbaik awal/tahun ini !!!

Anonim mengatakan...

Ya kan emang David sebenernya nggak terima, dia kan marah juga waktu di gereja, dia mau kerjasama sama Laras ya hanya karena dia bucin sama Dilla dan Laras bisa buat dia pdkt.

Anonim mengatakan...

film terbaik sekaligus buruk bagi generasi muda, tidak perlu di gugu di tiru

Anonim mengatakan...

Komentator lagi ngobrol dg alter egonya

Kus Edi mengatakan...

Betul.. ending-nya terasa kurang epic.
Jauh beda dgn Photocopier.
Konflik antar individunya juga terasa kurang tebal.
Tetapi, sy sangat menikmati dialog² dlm filmnya.
Dan itu yg membuat film ini buat sy luar biasa.
Sekali tekan tombol Play, gak akan berhenti.. keterusan hingga akhir.😄
Congrats Netflix!👏

Kus Edi mengatakan...

Terlewat..
Sy menikmati sekali lagu² soundtracknya.
Oslo Ibrahim sudah pernah dengar duluan..
Yg sulit sy lupa.. punya Azel RM & Danilla.
Di Spotify rupanya ada yg sudah rajin bikin Playlist,
buka yg disusun R* K*
Bisa utk mengisi waktu & mengingat filmnya kembali.😚👍

Cublak cublik mengatakan...

Yg terasa janggal saat David dengan tanpa emosi "memaklumi" Laras adalah penulis Dear David.. setidaknya marah dan emosi krna tulisan itu berakibat pda kehidupan nya..

Panca mengatakan...

Saya suka Dear David tapi untk film ini masih di kategori lumayan, ya karena kejanggalan yang buat saya besar yaitu si David yg cepat memaklumi kelakuan laras. Harusnya ga semudah itu sih.

Anonim mengatakan...

film absurd total parah

Anonim mengatakan...

keren banget ini film pelecehan seksual laki laki harusnya di larang putar ini film wow banget ajaib

Anonim mengatakan...

film tidak bermutu tidak layak tayang

Ashbar mengatakan...

Film Bagus menurutku

Anonim mengatakan...

film fantasy sex, lgbt dan pelakor, hmmmmm yaqin nih film bagus.....hmmmmm

Anonim mengatakan...

buruk sekali ini film, wajib di larang edar luas

Anonim mengatakan...

tidak patut di tonton film ini, khusus adult triple xxx 21 tahun ke atas

Anonim mengatakan...

ada film lain nggak sih selain film ini, kurang heboh kurang vulgar, masih malu malu...