REVIEW - SKINAMARINK

13 komentar

Bayangkan kalian sendirian di rumah pada malam hari. Kesendirian itu pelan-pelan berubah jadi ketakutan. Apalagi saat mulai muncul suara, yang sesungguhnya terdengar normal di waktu lain, namun kesendirian ditambah kegelapan malam memancing keliaran imajinasi. "Ada apa di balik lemari? Apakah ada seseorang di ruang sebelah?". Setumpuk tanya pun menghantui pikiran. 

Demikian kira-kira sensasi yang dihasilkan Skinamarink. Horor karya Kyle Edward Ball yang pertama viral akhir tahun lalu, setelah salah satu festival mengizinkan penonton mengunduh filmnya akibat kesalahan teknis, yang berujung pembajakan. Jangan harapkan horor konvensional. Di hadapan Skinamarink, judul-judul alternatif ala A24 bakal terasa bersahabat. 

Ball kembali menerapkan gaya eksperimental yang kerap ia publikasikan di saluran YouTube miliknya, termasuk horor pendek berjudul Heck (2020) yang berstatus "uji coba" sebelum membuat debut layar lebarnya ini. Mengambil latar tahun 1995, Skinamarink tetap mempunyai plot, yakni soal dua bocah, Kevin (Lucas Paul) dan Kaylee (Dali Rose Tetreault), yang terbangun di malam hari, mendapati ayahnya menghilang, begitu juga seluruh jendela dan pintu di rumah mereka. Hanya saja, bagaimana cara plot itu divisualisasikan yang menjadikannya berbeda.

Dibantu sinematografi arahan Jamie McRae, Ball mendominasi filmnya dengan static shot yang menyorot suasana. Televisi, kursi, hingga mainan, lebih sering mengisi layar ketimbang para manusia. Serupa situasi yang saya gambarkan di awal tulisan, Skinamarink adalah soal kekhawatiran akan adanya ketidakberesan di salah satu sudut rumah. 

Bedanya, jika di kehidupan nyata kita bakal memilih tetap berlindung di "zona aman", kali ini Ball memaksa kita mengecek sumber ketidakberesan dan menghadapi ketakutan tersebut. "Apakah yang nampak di layar itu cuma area gelap biasa, atau ada sesuatu sedang bersembunyi di balik kegelapan?". Kecemasan semacam itu kerap menghantui. 

Skinamarink sulit dideskripsikan dan mesti dialami sendiri. Bukan sebuah pengalaman yang mudah. Meski sinematografi berhiaskan efek grainy dan iringan tata suara statiknya ampuh membangun atmosfer, bohong kalau saya bilang sama sekali tidak merasa lelah sepanjang 100 menit durasi. Konsep Skinamarink rasanya lebih efektif dijadikan film pendek.

Ball menyadari risiko tersebut, sehingga dibanding Heck, Skinamarink menawarkan lebih banyak trik. Kursi yang mendadak hinggap di langit-langit, kamar yang secara misterius berubah ukuran, dan lain-lain. Tidak semua triknya berhasil. Bagaimana Ball menampilkan hilangnya berbagai perabotan secara gamblang malah sering terasa konyol, berlawanan dengan bentuk filmnya. Padahal cara lain, misal trik kamera, pencahayaan, atau penyuntingan dasar yang lebih natural bisa digunakan.

Kuantitas jump scare turut bertambah, walau tentu tak sebanyak horor arus utama. Terkait jump scare, perasaan saya agak terbelah. Contohnya teror mengejutkan kala Kevin menyusuri ruang bawah tanah. Di satu sisi momen itu efektif menggedor jantung, tapi di sisi lain terkesan murahan sekaligus  "curang", yang lagi-lagi berlawanan dengan niatan eksperimen filmnya.

Pencapaian terbesar sang sutradara terletak pada kejelian membangun intensitas. Selama perhatian terus tertuju ke layar, tanpa sadar kita akan mendapati intensitasnya meningkat secara berkala, natural, terutama memasuki 30 menit terakhir. Perasaan menyesakkan sebagai hasil dari antisipasi berkepanjangan pun semakin mencengkeram. Di titik itu saya mulai menaydari, karena terbiasa menyaksikan latar kosong, kemunculan sesosok "manusia" jadi terasa begitu mengerikan. Sekali lagi, ibarat kita sendirian di rumah, bukankah lebih mengerikan jika tiba-tiba ada orang lain? 

Skinamarink tidak diperuntukkan bagi semua orang. Bukan soal tinggi atau rendahnya selera penonton, karena tujuannya adalah bereksperimen, dan suatu eksperimen bertujuan menguji sesuatu. Ball ingin menguji bentuk alternatif suguhan horor. Masih adakah cara tutur berbeda untuk medium yang telah amat sering diperas? Jawabannya "ada". Skinamarink merupakan pondasi. Sebuah awal. Bisa jadi kelak hasil eksperimen ini bakal disempurnakan, kemudian melahirkan bentuk horor baru yang lebih matang. 

(Shudder)

13 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Film yg membosankan daripada menakutkan...
Skinamarink hilariously dull and stupid...!

Anonim mengatakan...

junkfood movie lebih bagus film horror indonesia

Anonim mengatakan...

masih mending nonton KKN Desa Penari daripada film ini apaan dah

Anonim mengatakan...

KKN??? Oooh film sampah yang ditonton 10 juta orang dungu yang nonton cuma karena ikut hype ya 😂👎

Anonim mengatakan...

Yg penting 10 juta & setidaknya masih ada yg enak dipandang. Lah daripada film ini udh ga jelas membosankan pula. Film ga terkenal. Ekekekekke.

Anonim mengatakan...

film absurd banget blas jelek banget, lebih baik nonton film horror karya anak bangsa Indonesia

Anonim mengatakan...

Konsepnya menarik, bener sih better dijadikan short movie aja. Btw Bang Rasyid, kolom komentarnya kok banyak sampah gini sih skrg. .

Anonim mengatakan...

saya sudah nonton film sampah ini yang bener benar ini film khusus bagi penonton khusus aja yang sudah nonton....atap platfon atas rumah di muncrati darah berulang ulang : ada...hilang...ada..di iringi musik, scene : whats your name, the end dah

Soang 2023 mengatakan...

Iya bang sekarang mulai banyak hattersnya haha. Tapi lucu aja sih baca komen2nya.

Anonim mengatakan...

belum nonton film ini ?...silahkan nonton film ini agar kita bisa berkomentar dari sudut pandang positif dan juga negatif karena namanya film sesuai selera masing-masing nggak bisa di paksa, film bagus banget sekelas oscar pun namun anjlok penontonnya nggak mau datang nonton bahkan film sejelek apapun malah penontonnya membludak berdatangan ke bioskop untuk nonton...

Gudegmerconpincuk mengatakan...

Smoga yang bahas titanic imax 3d di cinecrib bang Rasyid

Anonim mengatakan...

Banyak yg komentar di kolom komentar tapi sepertinya orangnya cuma itu-itu aja, kayak bersahut2an dg diri sendiri gitu. Nyampah.

Anonim mengatakan...

terimakasih mas rasyid atas review nya